Aku masih ingat betul ekspresi Ayas seusai ujian lisan waktu itu. Bayangkan saja, ketiga penguji di depanku ini sama-sama menggelengkan kepala, jika murid di depan mereka justru meminta tidak lulus ujian lisan.
“Kenapa saya diluluskan, Nyai? Saya malah berharap nggak lolos. Jadi, saya bisa pulang ke rumah sore ini, dan saya gak bakal diusir. Kan, saya gak lolos. Bukan kabur dari pondok.”
Ya, Tuhan. Nyai yang bertindak selaku penguji utama terus-menerus mengucapkan istighfar. Belum lagi kedua ustazah yang sama-sama mengucap takbir. Anehnya, Ayas tidak tersenyum. Kedua alisnya mengerut dan berharap Nyai menyetujui.
“Keputusan saya sudah final. Anti lulus ujian lisan dengan masa percobaan 6 bulan,” kata Nyai Aira yang belakangan aku tahu namanya setelah belajar ngaji tiap sore.
Ayas merengut. Raut wajahnya bermuka masam saat kita berdua diminta keluar ruangan. Sayangnya, anak ini tak putus asa. Saat bersalaman dengan Nyai, Ayas merajuk supaya tidak diluluskan.
“Nyai tidak keberatan, tah, punya santri seperti saya? Benar kata ustazah ini, lho kalau saya ini bahaya. Saya seperti virus yang mematikan. Saya tidak mau, santri di sini terpapar virus premanisme.”
“Sudah saya siapkan vaksin untuk mereka, Yas. Insya Allah gak bakal tertular,” kata Nyai senyum-senyum.
“Tapi, tingkat penularan saya ini parah. Semua santri bisa terinfeksi. Nanti Nyai pusing. Saya ini baik. Saya gak mau pengasuh pondok di sini sakit. Jadi, tolonglah, Nyai. Beri saya surat keterangan tidak lulus, ya.”
Aku yang berdiri di samping Ayas garuk-garuk kepala. Sementara Nyai Aira tak kuat menahan tawa. Barangkali di benak beliau bertanya-tanya, kenapa ada santri seperti Ayas begini? Saat yang lain berusaha mati-matian agar lulus ujian, malah Ayas yang tak mau lolos sendiri.
“Sudah! Sudah!” kata Nyai Aira senyum-senyum. “Kalian ke kamar, ya. Mulai besok sore, kalian harus ke rumah. Saya tunggu.”
Akhirnya, Ayas meninggalkan ruangan dengan raut wajah bermuram durja. Anehnya, tak sampai dua puluh detik kemudian di mana kami masih berdiri di dekat pintu depan, raut wajah Ayas mendadak ceria.
Dia tiba-tiba menatap spanduk besar yang dipajang di depan aula. Di sana ada 7 pasal peraturan dasar yang wajib ditaati semua santri. Aku yang penasaran akan gelagat ini makin bingung saat Ayas melirikku.
“Boleh minta selembar kertas?” katanya saat melirik buku tulisku.
“Buat apa?”
“Mau nyalin.”
“Nyalin apa?”
“Itu,” tunjuk Ayas ke spanduk besar.
Seusai menyobek halaman tengah, dan menyodorkannya ke Ayas, anak itu berlari ke depan aula. Tapi, belum sampai ke depan sana, ia kembali lagi.