Sejak ujian lisan itu, aku bersahabat dengan Isla. Tiap sore, kami ke rumah Nyai Aira yang kediaman beliau berada di sebelah timur masjid. Bilamana santri lain berjibaku dengan kegiatan ekstrakurikuler, kami berdua justru mengaji qur’an Iqro’.
“Nanti kalian ikut ekstrakurikuler yang dilakukan malam hari dan berlangsung seminggu tiga kali,” kata beliau suatu hari. “Dengan begitu, kalian masih bisa mengaji tiap sore.”
Aku sendiri tak peduli ekstrakurikuler, muwajjah, hafalan atau apalah yang ada di pondok. Aku hanya ingin 6 bulan cepat berlalu di mana aku tidak lulus ujian ngaji. Jadi, aku bakal sekolah di kota dan mengejar mimpi. Sialnya, saat aku tak mau ngaji dan meminta Isla sendirian ke rumah Nyai Aira, anak itu justru balik lagi ke markas.
“Nyai gak mau ngajarin aku ngaji kalau kamu gak ikut, Yas,” kata Isla. “Kamu gak mau bantu temanmu yang mualaf ini, kah?”
“Gak usah bawa-bawa mualaf!” aku mulai kesal lantaran keinginanku buat tidur-tiduran di markas terganggu.
“Ayolah, Yas. Ngaji, yuk. Please …” rengeknya.
Sontak aku menatap Isla yang berwajah memelas.
“Kenapa kamu gak protes ke Nyai, sih? Mestinya kamu bilang, kalau ada santri mau belajar ngaji, ya, jangan ditolak.”
“Aku gak berani, lha, Yas. Masak aku mau bilang gitu ke pengasuh pondok? Ayolah, Yas. Ngaji, yaaa.”
Akhirnya, karena tak tega melihat muka Isla yang memanyunkan bibir, aku turun tangga dan mengambil wudu’ di kamar mandi.
“Kamu gak mau bawa Qur’an?”
“Gak usah! Pakai punyamu, kan, bisa.”
Isla menahan napas saat melihatku jalan lebih dulu. Kami berdua berjalan melewati masjid. Suasana pondok amat sepi lantaran semua aktivitas ekstrakurikuler berlangsung di kelas-kelas dan aula.
Setibanya di rumah Nyai dan tiba giliranku mengaji, Nyai Aira tidak memintaku melanjutkan bacaan terakhir. Beliau justru menatapku lekat yang membuatku salah tingkah ditatap begitu.
“Nak,” katanya dengan suara lembut. “Kenapa kamu tadi tidak mau berangkat ngaji?”
“Takdir,” jawabku sekenanya di mana beliau menghela napas dalam-dalam.
“Kalau kamu menyantri di sini, dan ada di depan saya sekarang ini, apa disebut takdir juga?”
Tentu saja aku mengangguk.
“Kalau orang membunuh, mencuri dan memperkosa, apa itu takdir juga?”
Kali ini, aku tidak tahu mesti jawab apa. Bisaku terdiam sementara Nyai senyum-senyum. Sialnya, pertanyaan seputar takdir itu terus menerus menghantui kepala. Apa sebetulnya takdir itu? Betulkah aku menyantri karena takdir? Betulkah orang membunuh itu takdir juga? Seluruh pertanyaan ini bergaung sampai aku selesai belajar mengaji dan balik ke asrama.
Bahkan saat keesokan harinya, saat Ustazah Robi—yang dulu berbaju ungu dan ingin aku tak lulus saat ujian lisan—mengajar ‘ulumul Qur’an, aku makin penasaran akan definisi takdir.
“Coba perhatikan ayat ini,” kata beliau menunjuk ayat 40 surat Yaasin yang ditulis di papan. “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. Apa maknanya? Salah satu maknanya adalah terjadinya siang dan malam.”
Beliau lalu beralih ke alat peraga yang terdapat miniatur tata surya di atas meja.
“Ini apa namanya?” sekilas aku melihat gerakan Ustazah Robi memutar bola planet bumi dan masih di sumbunya.
“Rotasi,” kataku saat teman-teman tak mau jawab.
“Berapa lama bumi berotasi?”