Aku masih ingat betul soal pertanyaan takdir yang dilontarkan Ayas di kelas. Tapi, bukan sudut pandangnya yang membuatku tercengang, melainkan seusai dipanggil Nyai Aira di Diwan Aliyah, Ayas pergi ke markas sembari mencak-mencak tak keruan.
“Akan kubalas perbuatan si Hindun itu. Dasar perempuan pemakan jantung,” katanya dengan sorot mata menyala.
“Hindun? Hindun siapa?”
Seingatku, sebelum Ustazah Robi mengajar ‘Ulumul Qur’an, ada Ustazah Rani mengajar siroh Nabawiyah yang berkisah soal Hindun binti Utbah yang membunuh Hamzah, paman Nabi Muhammad. Bahkan tidak cukup sampai di situ, Hindun juga merobek dan memakan jantung Hamzah karena Hamzah-lah yang membunuh ayah dan saudara Hindun saat perang Badar.
“Ya, siapa lagi kalau bukan Hindun si perempuan Quraisy yang paling keji seantero bumi,” ucap Ayas masih dengan nada lantang.
“Maksudku, siapa yang kamu juluki Hindun.”
“Itu, Ustazah Robi yang nuduh aku kafir. Akan kubalas perbuatannya dengan jurus api neraka.”
“Oh,” jawabku tanpa tahu apa yang tengah direncanakan Ayas.
Aku baru sadar saat malam harinya, sepulang muwajjah alias belajar bersama wali kelas, saat semua santri berebut ke kamar mandi dan bersiap tidur, Ayas justru berjalan gontai sembari menoleh ke arah gerbang. Bahkan saat Bakam selesai kontroling di mana semua santri wajib tidur pukul 9 malam dan wajib bangun pukul 3 pagi, Ayas izin ke Kak Dini yang menjadi pengawas kamar. Anehnya, saat Ayas berujar sakit perut dan diperkenankan ke kamar mandi, dia mengedipkan mata ke arahku saat keluar kamar. Dari sini aku melihat ada ketidakberesan.
Dugaanku terbukti saat keesokan harinya, saat jaros berdentang tiga kali pertanda waktunya tahajjud di mana semua santri terhuyung-huyung ke kamar mandi dalam keadaan ngantuk, tapi takut dihukum karena telat ke masjid, Ayas justru menarik selimut.
“Yas, bangun!”
Aku berusaha membuka selimut yang menutupi mukanya. Kebetulan Ayas tidur di sampingku. Tapi, Ayas tak mau bangun.
“Nanti kamu telat, Yas.”