Aku mencoba tidak menghiraukan tawaran Nyai Aira. Aku mau SMA di luar. Bukan jadi santri berkerudung begini. Jadi, tiap kali pertanyaan seputar takdir itu berkelindan di kepala, aku selalu berusaha menepisnya. Kalau aku sampai lulus ujian ngaji di mana surat pemberitahuan dikirim ke rumah, bisa-bisa misiku buat sekolah di kota tak bakalan terwujud.
“Coba ulang kaidah fiqh yang saya terangkan barusan.”
Seluruh murid kelas 1 Aliyah D serempak mengulang perintah Ustazah Farhah selaku pengajar Qawaid Al-Fiqh.
“Adh Dharurat Tubihu Al Mahzhurat.”
“Sekali lagi.”
“Adh Dharurat Tubihu Al Mahzhurat.”
“Lebih keras.”
“Adh Dharurat Tubihu Al Mahzhurat.”
“Para santri sekalian,” terang Ustazah Farhah sembari mengitari kelas. “Bagaimana hukum memakan daging babi bagi orang Islam?”
“Haraaaam,” teriak teman-teman, sementara aku memilih diam.
“Betul. Daging babi itu hukumnya haram apabila kita memakannya,” timpal Ustazah Farhah. “Akan tetapi, daging babi bisa menjadi halal jika memenuhi kaidah fiqh ini. Adh Dharurat Tubihu Al Mahzhurat. Artinya, dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang diperbolehkan. Misalnya, saat kalian tersesat di tengah hutan selama berhari-hari. Kondisi kalian mengenaskan dan hanya menemukan babi untuk dimakan. Kalau tidak makan babi ini, kalian akan mati. Nah, saat itulah status babi yang semula haram menjadi halal.”
Semua teman-temanku manggut-manggut mendengar penjelasan Ustazah Farhah.
Wah, seru nih.
“Tapi, meskipun menjadi halal, harus memenuhi kriteria, yakni dalam keadaan darurat. Bukan disengaja. Dan ingat, meski kondisinya mendesak, jangan sampai kalian makan secara berlebihan. Makanlah secukupnya yang sekiranya cukup membuat kalian tidak mati. Sampai di sini ada yang belum paham?”
Lekas-lekas aku angkat tangan.
“Ya, silakan Ayas kalau ada pertanyaan.”
“Ustazah, saya tidak mau bertanya soal kaidah fiqh yang Antum terangkan barusan. Tapi, saya mau bertanya soal status babi yang Antum contohkan.”
“Ya, tidak apa-apa.”
“Ustazah, kalau semisal babi yang awalnya berstatus haram, lalu berubah jadi halal dalam keadaan darurat, kenapa tidak dihukumi halal saja dari awal penciptaan? Kalau begini, kan, ibarat pepatah habis manis sepah dibuang. Kalau untuk singa atau harimau, saya masih bisa memahami sebagai penjaga kestabilan ekosistem. Tapi, babi? Sudah dihukumi haram, eh, malah jadi halal saat dibutuhkan saja. Saya kira, selain tidak adil menciptakan makhlukNya, Tuhan juga melakukan banyak perbuatan yang sifatnya sia-sia.”
“Astaghfirullahal ‘adzim, Ayas. Bagaimana bisa kamu berpikiran seperti ini? Ya Allah. Tidak ada yang sia-sia dari ciptaan Allah. Ingat itu.”
“Buktinya babi. Kalau memang haram, buat apa dia diciptakan? Sekalian saja tidak usah diciptakan. Kenapa Tuhan tidak mengambil jalan yang simpel dan terkesan sia-sia seperti ini?”
“Allahurabbi, Ayas. Saya tidak tahu lagi harus berbicara apa. Saya kira, Anti sudah insaf setelah dipanggil Nyai Aira ketika bertanya ke Ustazah Robi. Nyatanya, Anti makin kafir. Ya, Allah. Ya, Allah. Maafkanlah murid hamba ini.”
Astaga. Aku dituduh kafir lagi? Ustazah Farhah lekas-lekas merapikan kitab di atas meja lalu bergegas keluar kelas padahal pelajaran belum usai. Dan saat istirahat kedua, lagi-lagi aku dipanggil ke Diwan Aliyah di mana ada Nyai Aira di sana. Kali ini, beliau tidak lagi senyum-senyum seperti dulu. Aku sendiri bersikap acuh.
“Saya sudah mendengar cerita Anti di kelas dari Ustazah Farhah. Sekarang, bolehkah saya bertanya dari sudut pandang Anti. Benarkah Anti menyebut kalau Tuhan melakukan banyak hal yang sifatnya sia-sia?”