Aku masih di gerbong restorasi yang didesain menyerupai kafe saat membaca novel Ayas. Sembari menikmati nasi Train Chicken Komersil, aku senyum-senyum sendiri mengingat kejadian masa lalu. Aku tidak tahu, apakah kenangan memang terasa lebih indah saat dikenang atau tidak. Tapi, aku masih hafal betul apa yang terjadi saat Ayas tiba-tiba menarik Hani yang baru selesai mandi menuju tempat jemuran baju.
“Pokoknya mulai sekarang, kamu harus ngajarin aku ngaji.”
“Ha? Serius, Yas?” teriakku.
Sontak aku jingkrak-jingkrak melihat Ayas memutuskan tetap bertahan. Aku tahu, beberapa hari terakhir, Ayas tengah bimbang apakah terus lanjut atau tidak. Apalagi selama di kelas, dia sering melontarkan pertanyaan yang membuatnya galau bahkan sampai dituduh kafir. Sementara Hani yang tak memahami maksud Ayas hanya garuk-garuk kepala.
“Pokoknya kamu harus ngajarin aku ngaji,” kata Ayas lagi.
Hani manggut-manggut. Agaknya, ia tak bakal menyangka bakal masuk ke dalam perangkap kesintingan Ayas. Bagaimana mungkin aku tidak menyebutnya perangkap. Hani sendiri kelas A. Kelasnya anak yang rajin, pintar, dan takut melanggar. Beda jauh dengan kita berdua.
Saat waktunya tidur malam, Ayas akan menarik Hani ke tangga. Aku juga diajak. Saat Bagian Keamanan keliling kamar dan menyuruh kami tidur, dengan santainya Ayas berujar kepada Bakam.
“Nyai Aira meminta Hani ngajari kira ngaji, Kak. Kami diperbolehkan tidur jam 10 malam. Ya, kan, Is?”
Eh, mau tak mau, aku mengangguk. Akhirnya, Bakam percaya. Hani sendiri terdiam. Barulah saat Bakam pergi, Hani bertanya.
“Kalian beneran disuruh Nyai Aira?”
Ayas mengangguk.
“Kapan Nyai minta?”
“Saat aku belajar ngaji sore sama Isla. Ya, kan, Is?” Ayas menoleh ke arahku lagi.
Mau tak mau, aku mengangguk lagi. Padahal Nyai tidak pernah berujar begitu. Tak pernah.
“Jadi, kamu jangan takut melanggar karena ini perintah langsung dari pengasuh pondok putri. Oke?” kata Ayas. Sejak itu, Hani tak lagi takut tiap malam mengajari Ayas mengaji di anak tangga.
Kadangkala saat Hani merasa kantuk, dengan sigap Ayas memintaku mengumpulkan hanger teman-teman yang patah dan mengambil kaleng wafer kosong.
“Buat apa?” tanya Hani kebingungan.
“Udah, santai. Kamu tenang saja, Han. Kamu tunggu di sini, ya,” jawab Ayas meyakinkan.
Saat aku mengumpulkan hanger plastik patah yang dibuang teman-teman, Ayas sendiri mengambil beberapa potongan bata yang kebetulan ada di dekat kamar mandi. Seusai itu, Ayas menyusun bata-bata ini menyerupai tungku dan meletakkan kaleng wafer yang telah diisi air di atasnya. Setelah menyulut patahan hanger plastik dan menunggu air mendidih, Ayas ke kamar mengambil dua bungkus mi dan dua bungkus kopi sachet.
“Kalau kita ketahuan Bakam, gimana?” raut wajah Hani sangat ketakutan melihat Ayas tengah memasak memakai alat seadanya.
“Udah, tenang, Han. Kamu gak usah takut.”
“Tapi, Yas. Nanti kita dijemur depan aula. Belum lagi pakai pita.”