Keputusanku untuk bertahan di pondok sudah bulat. Bahkan aku tidak mengira, bakal ujian mengaji lebih cepat. Hasilnya sudah bisa dibayangkan. Aku dan Isla lulus dan diperbolehkan melanjutkan studi di pesantren.
“Sesuai janji saya, Yas,” ucap Nyai Aira suatu petang yang sengaja memanggilku seorang diri ke kediaman beliau. “Sekarang, Anti boleh tanya apa saja. Nanti kita diskusi bersama.”
Nah, ini dia saat-saat yang paling aku tunggu. Saat semua pertanyaan yang membingungkan menyeruak di kepala, dan akan kutanyakan ke pengasuh pondok ini. Tapi, kenapa beliau menyiapkan gulungan peta, biji kacang ijo, jagung, bola kasti dan bola sepak, ya? Ah, biarlah. Itu urusan Nyai. Urusanku adalah bertanya.
“Saya mau bertanya soal takdir. Menurut Antum, apakah benar jawaban Ustazah Robi yang menyebut takdir adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah untuk kita.”
“Iya, benar, Yas.”
“Berarti orang membunuh dan memperkosa, itu takdir Allah untuk mereka? Atau Fir’aun, Dajjal, Iblis, dan Qabil. Apakah takdir Allah juga menjadikan mereka sebagai makhluk terkutuk? Kalau begini, Allah tidak adil dong karena saya yakin, mereka juga tidak mau jadi makhluk begitu.”
“Ayas—” ucap Nyai Aira seraya menggengam tanganku. “Ada 2 hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Apa itu? Akal dan hati. Fir’aun, misalnya. Bukankah dia ditelan laut lantaran kesombongannya selama hidup dan menganggap dirinya sebagai Tuhan? Jadi, akal dan hati inilah yang harus kita gunakan saat bersikap. Entah kita mau melakukan kebaikan atau keburukan.”
“Tapi, Nyai,” kataku yang masih kebingungan. “Bukankah Tuhan tidak adil karena menciptakan makhluk baik seperti nabi dan malaikat, sementara sisi lain menciptakan makhluk laknat layaknya dajjal. Belum lagi yang katanya Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kalau Dia memang begitu, kenapa Dia membiarkan peperangan terus terjadi di Palestina? Membiarkan anak-anak dan ibu terbunuh begitu saja. Kalau Dia memang Pengasih dan Penyayang, bukankah mudah bagiNya untuk menjadikan manusia bersifat baik semua tanpa adanya permusuhan apalagi pembunuhan?”
Aku kira, Nyai akan marah mendapati pertanyaanku. Aku kira, Nyai bakal memelotot tajam layaknya para pengajar yang aku tanyakan di kelas. Nyatanya, Nyai Aira tidak begitu. Beliau justru memegangi wajahku lantas mengusap ubun-ubun.
“Nak,” katanya yang membuatku seakan berbicara dengan ibu sendiri. “Pertanyaan yang kamu ajukan ini, mirip dengan pemikiran Epicurus. Dia seorang filsuf Yunani Kuno yang hidup sekitar tahun 270 sebelum Masehi. Kalau tidak salah, Epicurus berujar begini, “Jika Tuhan itu baik, kenapa ada kejahatan di dunia ini? Jika Tuhan sanggup menghentikan kejahatan, tapi tidak ingin melakukannya, berarti Dia jahat. Atau jika Tuhan sebetulnya ingin menghentikan kejahatan, tapi Dia sendiri tidak sanggup melakukannya. Itu artinya, Dia Tidak Maha Kuasa. Sebaliknya, jika Tuhan tidak ingin menghentikan peperangan karena ingin membiarkan pembunuhan atau Dia tidak sanggup menghentikan semua pertikaian, terus buat apa Dia disebut Tuhan?’”
Oh, aku baru tahu kalau ada filsuf Yunani Kuno yang melontarkan ungkapan begini.
“Kamu tahu, Yas,” sambung Nyai Aira. “Ada ribuan diskusi terkait pernyataan Epicurus ini. Bagaimana jawabannya? Sampai sekarang masih menjadi pertanyaan menarik dan terus didiskusikan tanpa jawaban final. Kenapa bisa terjadi? Karena akal kita terbatas, Nak, sementara ilmu Allah itu seluas lautan, tapi yang diketahui manusia hanya setetes dari lautan itu sendiri. Inilah musabab mengapa pernyataan Epicurus tidak pernah menemui kata akhir. Bayangkan, Yas. Hanya setetes untuk seluruh manusia. Sekarang saya tanya. Berhubung kamu suka astronomi, Insya Allah kamu bisa jawab pertanyaan saya.”
Wah, ini yang aku suka. Astronomi.
“Sekarang Anti ada di mana, Yas?”
“Di rumahnya Antum.”
“Di pulau apa?’
“Jawa.”
“Di negara apa?”
“Indonesia.”
Sejenak Nyai mengambil gulungan peta yang tergeletak di atas meja sejak tadi.
“Kamu masih bisa melihat posisi Indonesia di atas peta ini kah?” kata beliau seusai membentangkan gulungan kertas.
Sontak aku mengangguk. Walaupun kalah luas dibandingkan Rusia dan China, setidaknya aku masih bisa menebak kalau rangkaian pulau dari Sabang sampai Merauke menunjukkan kalau itu adalah Indonesia.
“Kalau Jawa, masih bisa terlihat?”
Agak ragu aku sebelum akhirnya mengangguk.
“Sekarang saya tanya, ada berapa planet yang sering dipelajari di kelas?’
“Dulunya 9. Tapi, sekarang tinggal 8 karena Pluto sudah tidak diakui.”
Nyai Aira mengangguk-angguk lalu memungut kacang ijo.
“Kita tahu, ukuran planet yang satu dengan yang lain tidak sama. Tapi, dalam konteks diskusi kita sekarang, anggap-lah 8 planet itu memiliki ukuran yang sama seperti kacang ijo.”
Aku manggut-manggut seraya memperhatikan Nyai menaruh sebiji jagung di tengah-tengah, sementara 8 biji kacang ijo mengitari biji jagung tadi.
“Anggaplah jagung ini sebagai matahari, sementara 8 kacang ijo yang berjejer mengelilingi jagung ini sebagai 8 planet termasuk bumi. Nah, Ini semua disebut apa, Yas?”