Kalau bukan lewat novel ini, aku tak bakal tahu perihal percakapan Ayas dengan Nyai Aira soal takdir. Aku hanya tahu, kalau selama di kelas, Ayas kerap melontarkan pertanyaan nyeleneh di mana pengajar mengecapnya kafir, liberal bahkan atheis. Selaku teman dekatnya, aku tahu betul kalau Ayas adalah santri yang nalar berpikirnya ada yang konslet. Sungguh.
Aku menyimpulkan begini lantaran tingkah laku Ayas sama persis seperti Pluto yang sudah tidak memenuhi kriteria disebut planet. Bukankah salah satu sebab dikeluarkannya nama Pluto karena tidak berorbit pada garis edarnya? Nah, Ayas begitu. Salah satu saraf di otaknya telanjur salah jalur.
Bayangkan saja, suatu petang, sepulang dari kegiatan ekstrakurikuler, dia memintaku menyerahkan surat ke Nyai Aira padahal dia bisa kasih sendiri. Entah ke rumah beliau atau saat kontroling di Diwan Aliyah. Nyatanya, Ayas tetap memintaku ke kediaman beliau.
“Anggaplah aku ini berada di tempat yang berjauhan dengan Nyai. Jadi, butuh tukang pos buat mengantarkan surat.”
“Masalahnya, Yas. Rumah beliau ada di timurnya masjid. Hanya beberapa ratus meter dari kita berdiri sekarang. Kamu bisa ke sana sendiri.”
“Masalahnya, Isla, yang baru mualaf,” jawab Ayas seraya merangkul dan aku tahu, kalau sudah begini dia bakal merayu habis-habisan.
“Dalam suatu hubungan, apa pun itu, kadang kita perlu menciptakan jarak agar benar-benar bisa saling menghargai. Buktinya, saat kamu berjauhan dengan orang rumah. Terasa betul, kan, rindunya? Beda cerita kalau kamu tidak menyantri. Pasti biasa-biasa saja karena tiap hari bertemu dengan orangtua. Nah, begitupula dengan aku sekarang. Aku harus menciptakan jarak dengan Nyai. Gimana? Kamu, kan, sahabat aku. Please… ”
Aku tidak tahu, kenapa waktu itu aku hanya manggut-manggut saja. Tak ayal, Ayas loncat-loncat kegirangan sementara aku mati kutu saat ke rumah Nyai.
“Kenapa, Nak? Apa yang terjadi?” kata Nyai mendapatiku diam cukup lama lantaran bingung bagaimana mau menyodorkan surat dari Ayas.
“Anu, Nyai,” ucapku seraya merunduk lalu garuk-garuk kepala. “Saya diminta Ayas buat mengantarkan surat ke Antum.”
“Surat? Surat apa, Is? Kenapa Ayas pakai surat-surat segala? Bukankah dia bisa bertanya ke saya kapan saja dan bisa ke rumah ini, ya?”
Aduh. Aku makin keras garuk-garuk kepala padahal tidak punya kutu. Akhirnya, aku jawab sebagaimana ucapan Ayas sebelumnya. Bahkan aku juga menyampaikan pendapat Ayas soal suratnya itu.
“Kata Ayas, yang menjadikan hubungan Kahlil Gibran dan May Ziadah spesial adalah suratnya. Karena May Ziadah sendiri di Kairo, sementara Kahlil Gibran di New York. Mereka menjalin hubungan tanpa pernah bertatap muka selama 20 tahun sampai akhirnya Gibran wafat. Dan itulah hakikat cinta dalam suatu hubungan. Kata Ayas begitu, Nyai. Jadi, dia ingin merasakan apa yang dirasakan Kahlil Gibran dan May Ziadah dalam konteks hubungan murid dan guru.”
Lama Nyai tak menyahut. Sungguh lama. Berulangkali aku hanya mendapati beliau menghela napas berat.
“Bukankah semua santri makan di dapur yang sama di mana lauk dan nasinya sama. Kenapa Ayas sendiri yang begini, ya, Is?”
Nah, kan? Sekelas pengasuh pondok saja tidak habis pikir akan tingkah laku Ayas. Apalagi aku, sahabatnya, yang sehari-hari melihat tindak tanduk Ayas si santri majnun itu.
“Tapi, ya, sudahlah. Asal anak itu bertanya ke saya, bukan ke pengajar lain, saya tidak apa-apa. Terus nanti ini gimana saya kasih balasannya, Is?”
“Seminggu lagi saya izin ke rumahnya Antum. Semisal Antum belum selesai jawab, tidak apa-apa. Antum jawab se-senggangnya saja. Lagipula, kata Ayas, jarak antara New York dan Kairo itu jauh. Apalagi zaman dulu memakai kapal laut. Jadi, tidak perlu buru-buru.”
Seusai jawab begitu, aku pamit pulang. Tapi, ada satu pertanyaan yang betul-betul mengganggu di kepala dan ingin sekali kutanyakan ke Nyai Aira.
“Kenapa, Nak? Kamu ada masalah, tah?” entah mendapatiku tak segera beranjak, akhirnya Nyai bertanya begitu.
Sontak aku menggeleng. Aku tidak punya masalah. Satu-satunya masalahku adalah menjadi tukang pos si Ayas.
“Nyai,” ujarku setelah mengumpulkan keberanian. “Saya boleh bertanya?”
“Ya, tentu boleh, Is.”
“Kenapa Antum tidak mengkafir-kafirkan Ayas seperti pengajar yang lain?”
Nyai Aira tersenyum.
“Oh, soal itu. Saya memang pengasuh pondok di sini. Tapi, saya kan ibu kalian semua. Dan saya sadar kalau masing-masing anak memiliki karakter berbeda. Soal Ayas, misalnya. Saya tidak menyalahkan Ayas yang memiliki pandangan seperti itu. Kalian berada di fase pencarian jati diri. Wajar bertanya begitu. Begitupula Ustazah Robi atau pengajar yang lain. Wajar mereka merespon keras karena belum pernah menemukan santri seperti Ayas. Di mana saat ujian jadi santri baru, dia cerita sejujur-jujurnya soal aktivitas sehari-hari di sekolahnya. Ditambah saat masuk pondok malah menyebut Tuhan tidak adil dan sebagainya.”
Aku masih terus mendengarkan penjelasan Nyai dan tak berani menyela.