Aku tak menyangka kalau berada di pondok tak seseram yang kubayangkan. Dulu, aku mengira kalau hidup di pesantren layaknya hidupnya para tahanan di penjara. Tak bisa ke mana-mana dan membosankan. Nyatanya, aku sudah kelas 2 Aliyah. Bapak ibuku senang melihat anaknya bertahan di pondok. Mereka tahunya kalau aku menjadi santri yang baik. Padahal di asrama, aku masih bisa bermain-main. Misalnya, memelihara ikan di kamar mandi.
Cerita ini terjadi saat Bagian Lingkungan Hidup (Balhi) punya program memelihara ikan di kolam taman aula. Aku tak tahu berapa jumlahnya. Yang aku pastikan, saat semua santri berkegiatan ekstrakurikuler, aku mengajak Isla ke kamar mandi.
“Kamu gak bakal buang besi jaros lagi, kan?” selidik Isla.
“Nggak.”
“Gak mau motong kabel di rayon lagi, kan?”
“Nggak, Is. Serius. Aku beneran mau ke kamar mandi.”
Akhirnya, Isla setuju. Ia ikut. Seusai izin ke kakak Pembina ekskul, aku dan Isla berjalan melewati aula. Nah, sesampainya di dekat kolam, aku minta Isla perhatikan apakah ada orang atau tidak.
“Ayas, kamu mau cari mati, ya?” katanya saat melihat aku masuk ke dalam kolam yang dangkal ini, dan berhasil mengambil 3 ekor ikan mujair dan dimasukkan ke dalam plastik bungkus makanan yang aku pungut di tempat sampah.
Aku hanya cengar-cengir dan mengajak Isla buru-buru ke kamar mandi. Kebetulan, kamar mandi di pondok itu berbentuk bilik-bilik. Hanya saja, bak kamar mandi memanjang tanpa sekat. Di sanalah 3 ekor ikan ini aku lepas. Ketiganya berenang dari ujung ke ujung. Aku amat senang lantaran bisa bermain ikan dan berusaha menangkapnya dengan gayung bila melewati bilikku. Teman-teman juga girang. Mereka lebih lama mandi sebab masih bermain-main menangkap ikan yang gesit ke barat ke timur menghindari perangkap. Tapi, mereka tahu waktu. Tak seperti aku.
Pernah suatu petang, Isla gedor-gedor pintu lantaran jaros berbunyi tiga kali, pertanda semua santri bersiap-siap ke masjid, tapi aku masih di kamar mandi dan bermain-main.
“Aku gak mau dihukum sampai Isya, Yas,” kata Isla. “Kalau kamu gak mau berangkat, aku duluan ke masjid.”
“Kamu, kan, sahabatku, Is,” ucapku memelas. “Jangan ditinggal-tinggal, dong.”
“Masalahnya buruan mandinya. Jangan main ikan terus.”
“Iya! Iya,” jawabku.
Nyatanya, kita berdua tetap terlambat. Isla uring-uringan saat sampai di depan masjid karena Bagian Peribadatan telah berdiri di serambi depan.
“Tenang, Is. Kita gak bakal pakai pita.”
Sengaja aku mengajak Isla masuk ke masjid dan bersikap seolah-olah tidak bersalah. Dan memang aku gak bersalah.
“Kalian tidak melihat kami? Tidak tahu kalau kalian berdua terlambat?” kata Ketua Baperdat yang terkenal galak.
Aku terpaksa menuju kakak pengurus itu sementara Isla terus menunduk.
“Silakan berdiri di depan aula. Kalian salat di shaf belakang. Setelah salat, berdiri di depan.”
“Saya tidak mau.”
Kakak pengurus itu tercengang. Barangkali dia tak menyangka kalau aku berani membalas.
“Anti tidak mau berdiri?”
Aku mengangguk.
“Anti ini tidak sadar kalau terlambat? Kalau tidak mau berdiri, ya, jangan telat.”
“Saya mau berdiri asalkan para ustazah yang terlambat ke masjid juga dihukum.”
“Astaghfirullah! Anti ini siapa berani mengatur para guru?” katanya meninggi.
Aku tak jawab. Aku sengaja mengajak Isla masuk, tapi ditahan.
“AYAS! BERDIRI SEKARANG!”
Aku tetap tidak menghiraukannya. Sialnya, ketua Baperdat itu malah meraih tanganku.
“BERDIRI!” bentaknya.
“Saya mau berdiri kalau ustazah yang terlambat ke masjid juga berdiri.”
“AYAS, BERDIRI!”
Aku dan ketua itu saling menatap. Dari tatapan matanya, aku melihat betul garis amarahnya di sana.
“Ada apa?”
Ustazah Robi yang baru tiba di masjid menghampiri kami. Lekas-lekas ketua Baperdat cerita soal apa yang terjadi.
“Padahal Ayas terlambat, Ustazah. Tapi, dia gak mau dihukum.”