'Ain Sin Qaf

Nurillah Achmad
Chapter #12

SUARA AYAS: Hal Gaib Kedua

Hukumanku menggelar sajadah dan menyiapkan kitab masih berlangsung walaupun aku naik ke kelas 3. Pada tahun ini, sebagian teman-temanku semakin berkurang. Seingatku, saat awal menyantri, jumlah teman seangkatanku berkisar 200 orang. Tak ayal, saat kelas 1 Aliyah, kami dibagi menjadi 8 kelas. Terdiri dari kelas A sampai H. Mulai dari kelasnya anak-anak pintar, sampai kelasnya anak-anak yang suka tidur.

Tapi, selama perjalanan menuju kelas 3 Aliyah, tak sedikit yang berhenti. Jumlah kami berkurang satu per satu sampai akhirnya tersisa 157 orang. Alasannya beragam. Ada yang tidak kerasan karena memilih SMA di luar, pindah pondok, tidak naik kelas atau kendala ekonomi. Termasuk Isla. Ya, Isla. Sahabatku.

  Cerita ini bermula pada suatu malam, seusai makan, Isla mengajakku ke markas. Walaupun kelas kami di lantai 1, markas itu tetap kami yang menguasai. Awalnya aku biasa-biasa saja. Mengajaknya beli jajan di kantin demi menikmati langit malam dari atas gedung. Tapi, saat aku tawari Isla gorengan, dia hanya geleng-geleng. Matanya amat sayu. Aku tahu, ada sesuatu yang terjadi.

 “Aku mau berhenti, Yas,” katanya. Suaranya amat parau serupa keringnya danau saat kemarau. Tapi, cepat-cepat dia menatap bebintang demi menahan kedua matanya tak menurunkan anak sungai.

  “Ibuku sakit. Gak ada biaya lagi buat aku di sini.”

  Aku tak menyahut. Aku hanya berpikir, 5 bulan lagi kita lulus. 5 bulan lagi setelah hampir 3 tahun lamanya bersama. Aku masih ingat betul, bagaimana dia yang selalu menyemangati aku saat belajar mengaji. Dia yang selalu bangun lebih awal saat aku dihukum menyiapkan sajadah Nyai Aira. Dia yang sengaja menyiram mukaku dengan segelas air bila aku tak bangun-bangun. Tapi, sekarang, saat kelulusan di depan mata, Isla justru berhenti.

  “Kamu sudah yakin, Is, mau berhenti? 5 bulan lagi kita lulus.”

  Isla mengangguk. “Jangankan biaya SPP dan makan selama 5 bulan, Yas. Buat ongkos pulang saja, orangtua masih mau cari pinjaman sekarang. Rumahku sudah dijual, Yas.”

 Pada detik dia menyebut rumahnya dijual, Isla tak lagi kuat menahan tangis. Kubiarkan dia tersedu-sedu seraya merangkulnya. Aku betul-betul kehilangan. Malam itu, aku dan Isla tak banyak bicara. Di antara kami berdua, yang berbicara hanya bahasa air mata.

  Tapi, aku tak kehilangan akal. Keesokan hari, seusai makan di dapur, kubiarkan Isla berangkat sekolah lebih dulu. Aku sendiri ke wartel dan menemui Mbak Sari padahal bel masuk sudah berbunyi.

“Mbak, minta tolong ambilkan semua uang saya di ATM, ya. Nanti Mbak Sari jangan cerita ke siapa-siapa soal ini.”

 “Semuanya, Yas?”

  “Iya, Mbak.”

“Buat apa? Kamu mau jajan apa, Yas?”

  “Ada aja,” kataku seraya tertawa.

 Saat bel istirahat, aku ke wartel lagi. Isla ada di kelas. Aku sengaja tidak mengajaknya, dan bilang mau ke kamar mandi di rayon. Setibanya di sana, banyak anak nelfon. Barulah setelah semua selesai, aku masuk ke dalam.

  “Kamu mau buat apa sih, Yas, uang sebanyak ini?”

  “Pokoknya Mbak Sari jangan cerita-cerita, ya, kalau aku pegang uang banyak. Pondok, kan, melarang santrinya megang uang di atas 100 ribu di lemari.”

  Mbak Sari mengangguk lalu menyodorkan uang Rp. 2.650.000. Seusai mengambil 50 ribu dan memberikannya ke Mbak Sari, aku lekas-lekas ke kamar. Kebetulan gerbang rayon dibuka karena ada renovasi kamar ustazah. Sesampainya di kamar, ada kawanku, S dan M. Keduanya tak enak badan dan tidak masuk kelas. Seusai memastikan keduanya tidur, diam-diam aku mengambil amplop kusam yang berisi surat dari Fio lalu duduk di depan lemari Reni. Iya, Fio ngasih aku surat saat liburan mondok. Katanya, aku boleh baca saat di pesantren. Setelah aku masukkan semua uang ke dalam amplop lalu menyembunyikannya ke dalam buku, aku bergegas keluar kamar. Bel berbunyi tepat saat aku tiba di kelas.

“Is, bangun, Is.”

Isla masih menggeliat.

“Barusan ada saudaramu ke sini.”

  Isla langsung bangun. Keningnya mengerut.

 “Saudaramu ada di gerbang depan. Kebetulan aku lagi ambil mangga di samping wartel. Saudaramu kebingungan. Aku samperin deh, terus tanya mau ketemu siapa. Dia bilang mau ketemu Isla dari Makassar kelas 3 Aliyah. Nah, aku mau ke kelas nih. Mau manggil kamu. Tapi, ibu-ibu itu gak mau. Katanya, buru-buru soalnya dia bareng rombongan. Apalagi saat itu, busnya sudah klakson-klakson terus. Kondekturnya juga marah-marah. Jadi, dia nitipin ini buat kamu.”

 Isla masih diam saat menerima amplop. Barulah saat melihat isinya, kedua matanya tercengang.

 “Kamu bohong, kan, Yas?”

 “Nggak. Ngapain aku bohong masalah beginian.”

Lihat selengkapnya