Di sepanjang perjalanan pulang, Bapak tak bicara. Aku sendiri memikirkan memikirkan di mana aku akan tinggal setelah ini. Apakah aku benar-benar diusir? Segala pertanyaan itu tak berani aku tanyakan ke Bapak. Bahkan sesampainya di rumah, lelaki itu hanya menjawab singkat saat Ibuk terkejut melihatku pulang mengenakan ransel.
“Dia diusir dari pondok karena mencuri uang temannya.”
“Astaghfirullah, benar, Yas kamu mencuri?”
Aku tak menjawab pertanyaan Ibuk. Apalagi Ibuk meraung-raung.
“Ayas, kamu beneran mencuri? Kita kurang apa, Nak, sampai-sampai kamu ambil uang?”
Ingin sekali aku cerita semuanya. Ingin sekali aku bilang ke Ibuk kalau anaknya bukan pencuri. Tapi, pasti nanti Bapak balik ke pondok dan menyampaikan semuanya dan Mbak Sari yang bakal kena getahnya.
“Masih kurang kiriman tiap bulan buatmu, Yas? Masih kurang kami penuhi permintaanmu selama ini, Yas?”
Ibuk makin menjadi-jadi. Bahkan yang membuatku tak menduga adalah Ibuk berteriak-teriak, lalu memegangi dadanya, dan tak lama kemudian tak sadarkan diri. Bapak gelagapan. Berdua aku membopong tubuh Ibuk ke mobil dan membawanya ke rumah sakit. Tapi, apa yang terjadi? Dokter menyebut kalau Ibuk telah meninggal karena serangan jantung.
Bisa dibayangkan bagaimana keadaanku saat itu? Baru saja diusir dari pondok akibat kesalahan yang tidak aku perbuat, tapi sesampainya di rumah, malah Ibuk wafat. Aku betul-betul marah ke diri sendiri. Kecewa. Mengeluarkan sumpah serapah. Apalagi Bapak mengusir aku dari rumah.
“Pergi dari sini, Yas. Pergi!”
Aku tak pergi. Aku sengaja di sana menunggu Ibuk dimakamkan. Tapi, Bapak terus menghardik walau banyak orang.
“Aku tak mau punya anak pencuri. Kau tak lihat Ibumu mati gara-gara kamu? PERGI!”
Semua yang takziyah menatapku. Aku tak tahu mau pergi ke mana. Bapak mengambil ransel yang belum sempat aku bongkar isinya, lalu membuangnya ke teras depan. Ibuk belum dimakamkan. Aku sendiri tak tahu mau pergi ke mana. Sampai akhirnya, dalam isak tangis yang tak berkesudahan, adik Ibuk meraih tanganku.
“Ikut Buk Lik setelah ini, Yas,” katanya. Aku makin menangis mendengar ajakan Buk Lik. Bahkan ia mengajakku ke pemakaman, dan melihat tubuh Ibuk ditutupi tanah tanpa peduli sumpah serapah yang diucapkan Bapak.
Sejak itu, aku tinggal bersama Buk Lik di Gresik. Kalau ditanya, apakah aku membenci Bapak, maka jawabannya sama sekali tidak. Aku tidak membenci Bapak. Aku hanya membenci keadaan. Aku mulai menyalahkan diri, kenapa bersikap sok pahlawan membantu Isla segala. Aku juga menyalahkan Tuhan yang tidak adil. Bukankah aku berniat baik, tapi kenapa aku menerima akibat buruk? Bahkan ibuku mati, dan aku terusir dari rumah.
Segala perasaan itu aku simpan dalam amuk marah. Bahkan untuk sekadar salat saja, aku dirikan karena tak nyaman ke Buk Lik. Kami tinggal di dekat pelabuhan Bale Keling. Tiap hari, aku ikut Buk Lik dan suaminya mencari ikan. Keduanya bekerja sebagai nelayan yang sering menyambung hidup lewat utang saat musim hujan.
Keduanya pula yang membiayai aku ikut kejar paket C. Dan setelah menerima ijazah, di situlah apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi.
“Bukan aku tak mau menampung ponakanmu,” kata Pak Lik pada istrinya. Aku kebetulan baru pulang dari pelabuhan dan tak sengaja mengintip keduanya berbincang.
“Masalahnya, 3 anak kita butuh biaya.”
“Nanti aku bicara sama Ayas. Barangkali bisa kerja di pabrik sini.”
Aku sendiri memang berniat kerja di pabrik. Gresik tempatnya pabrik industri. Mulai dari Petrokimia, Wilmar yang memproduksi beragam barang, entah minyak goreng dan yang lain, pabrik Mi Sedaap, sampai terbaru yakni JIIPE. Entah berapa puluh ribu pekerja perempuan di tanah wali ini.
Sialnya, dua bulan dari kejadian itu, semua pabrik yang kusebut tadi sama sekali tidak membuka lowongan. Yang dibuka justru posisi yang mensyaratkan lulusan sarjana. Aku sendiri tak nyaman di rumah ini. Apalagi Pak Lik lebih banyak berwajah masam. Akhirnya, aku memberanikan diri menghadap Buk Lik buat pamit ke Surabaya.