'Ain Sin Qaf

Nurillah Achmad
Chapter #15

SUARA AYAS: Hal Gaib Ketiga

Aku kuliah di Fakultas FISIP. Ada satu mata pelajaran yang berhubungan dengan praktik kerja sosial dan dibagi per kelompok. Berhubung kami dari mahasiswa yang hanya bisa meluangkan waktu saat weekend, jadi, tugas kuliah itu kami lakukan saat akhir pekan.

Saat itu, aku mengusulkan untuk membuat Ruang Singgah khusus anak-anak PSK di sekitaran lokalisasi terkenal di Surabaya. Teman-temanku setuju. Mereka menyambut baik bahkan ada yang usul kalau memakai uang pribadi. Aku menolak. Bukan apa-apa. Untuk biaya hidup saja, aku masih megap-megap.

“Memangnya kita mau dapat dana darimana, Yas? Kalau kamu bisa urus, ya, silakan. Aku gak mau dapat nilai E gara-gara kelompok kita gak kerja.”

Aku menghargai pendapat itu, namun aku meminta waktu seminggu untuk mencari cara. Mereka setuju dengan raut wajah terpaksa. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Pada Ratih aku bertanya, bagaimana caranya mendapatkan sponsor kegiatan mahasiswa. Ratih menjelaskan secara terperinci sekaligus membantu aku membuatkan proposal.

“Anggaplah kita ini mengemis professional, Yas. Tiap bulan, perusahaan itu bisa menerima ratusan proposal. Jadi, kudu ada trik sendiri,” kata Ratih.

Aku hanya manggut-manggut mendengarnya. Ratih amat baik orangnya. Katanya, ia bukan orang berpunya. Tapi, tekad menuntut ilmu setinggi mungkin, tak lagi bisa diragukan.

“Kita coba perusahaan ini. Besok kamu izin kerja, ya. Nanti aku temani ke HRD.”

Sejenak aku membaca perusahaan M yang amat terkenal di bidang industri. Aku tak begitu yakin bakal dapat sponsor.

“Sebentar lagi perusahaan mereka ulang tahun. Ini momentum. Biasanya, perusahaan agak royal kalau lagi anniversary. Jadi, programmu harus bisa meyakinkan mereka kalau dana yang mereka kucurkan benar-benar bermanfaat.”

Keesokan harinya, Ratih benar-benar menepati janji. Bahkan ia membantuku membuat sejumlah pertanyaan yang sekiranya ditanyakan oleh HRD nanti. Ia menunggu di ruang depan saat giliran aku masuk.

“Jangan lupa doa dulu, Yas. Ini paling penting,” katanya mengingatkan.

Aku mengiakan. Sungguh, ini baru kali pertama aku meminta bantuan proposal. Gemetar pasti ada. Banyak pertanyaan yang dibuat Ratih ternyata ditanyakan Bu Yusfi. Termasuk pertanyaan dasar, mengapa aku membuat Ruang Singgah yang menyasar anak-anak PSK. Tapi, ada satu pertanyaan yang tidak ada di daftar kertas Ratih, dan aku berpikir keras saat Bu Yusfi bertanya lantaran aku takut jawabanku justru menjadi bumerang.

“Tadi kamu menyebut kalau alasan didirikannya Ruang Singgah karena anak-anak PSK juga manusia. Jadi, berhak untuk menjalani hidup yang lebih baik. Nah, pertanyaan saya, apa arti dari hidup itu sendiri, Yas?”

Aku tidak langsung jawab. Aku sangat yakin, pertanyaan ini adalah trik bagaimana Bu Yusfi menilaiku. Tapi, entah mengapa, aku teringat ucapan Nyai Aira di pondok. Saat itu, aku tengah menyimak Nyai saat mengaji kitab seusai salat Subuh, dan aku tengah dihukum harus meneteni beliau selama pengajian guna memberi tanda di kitab.

“Hidup itu, Anak-anakku,” kata beliau seraya memandang kami satu-satu. “Menjalani takdir dengan sebaik mungkin. Masing-masing dari kita sudah diberi potensi dan jalan takdirnya oleh Tuhan. Ini yang disebut fadhilah. Ada yang fadhilahnya di bidang bisnis, ada di bidang da’i, ada di bidang desain grafis, menulis, atau yang lain. Tugas kalian selama di pondok adalah mencari fadhilah dan potensi yang diberikan Tuhan kepada kalian, lalu asah dan jadilah ahli. Jangan lupa. Niatkan mencari ridho Allah dan jadilah orang yang bermanfaat.”

Entah mengapa, kalimat ini yang aku jawab dan serta merta aku sampaikan ke Bu Yusfi.

“Bagi saya, Bu Yusfi, hidup itu adalah menjalani takdir yang diberikan Tuhan kepada kita dengan sebaik mungkin. Kita memang tidak bisa memilih lahir dari orangtua yang bagaimana dan berprofesi apa. Jika mereka lahir dari seorang Ibu PSK dan tumbuh kasih sayang tanpa seorang ayah, barangkali itulah takdir mereka. Tapi, mereka harus menjalani takdir itu dengan sebaik-baiknya. Bukan dengan mengikuti kehidupan ibu mereka.”

Sejenak aku menatap Bu Yusfi yang tersenyum kecut. Barangkali ia menganggap jawabanku terlalu idealisme. Tak mengapa. Aku sudah pasrah andai aku tak dapat kucuran dana, dan aku akan pasrah andai nantinya kelompokku sepakat memakai dana pribadi. Kekhawatiranku ini terbukti saat sepekan lamanya aku tak berhasil

Kami sepakat memakai dana pribadi. Meski keberatan karena program ini akan berlangsung selama satu semester, dan bakal ada iuran kelompok yang pastinya menguras tabungan, aku kira tak ada salahnya. Aku bakal lebih hemat lagi demi mewujudkan kerja sosial.

Tapi, keesokan hari sebelum turun ke lokalisasi dan mengajukan program ke ketua keamanan di sana, aku justru mendapat kabar tak terduga. Bu Yusfi mengabari kalau proposal yang aku ajukan disetujui. Sontak aku melonjak girang. Akhirnya, Ruang Singgah yang aku cetuskan itu benar-benar terwujud. Pada awalnya, orientasi kami seputar pendidikan kreatif dan kepemimpinan. Baik lewat buku, alat permainan dan sebagainya. Tapi, saat dua kali terjun, aku merasa ada sesuatu yang jauh dibutuhkan, yakni belajar mengaji. Saat aku bercengkrama dengan anak-anak seusia TK sampai SMP, mereka belum bisa mengaji.

“Nggak ada seorang ibu pelacur yang ingin anaknya kerja seperti ibunya, Yas. Aku ingin mereka lebih baik. Biar bagaimanapun, saat aku mati nanti, setidaknya ada yang kirim Fatihah dan Yaasin buat aku di alam kubur.”

Alasan Mbak S inilah yang membuatku terenyuh. Persinggunganku dengan area lokalisasi membuatku lebih menghargai soal kemanusiaan. Aku sudah merasakan bagaimana hidup tanpa keluarga, dan itu sangat menyakitkan.

“Progres kegiatan kita harus bisa dilihat empat bulan lagi, Yas. Itu batas akhir proyek dan anniversary perusahaan. Sementara kita mengajar dua kali dalam seminggu. Aku yakin, anak-anak ini tidak akan bisa mengaji dalam waktu sesingkat ini.”

Aku setuju dengan ucapan Dana. Belajar mengaji memang butuh proses panjang. Aku buktinya. Tapi, pengalamanku selama di pondok membuatku yakin kalau aku bisa.

“Aku yang akan tanggung jawab. Nanti aku ke sana di luar weekend.”

Keenam kawanku menghela napas. Mereka tidak setuju program mengaji diberlakukan, tapi aku bersikeras.

“Kalau tidak mau dimasukkan program, nggak apa-apa. Anggap-lah ini kegiatanku pribadi.”

Tak ada jawaban dari mereka. Aku pasrah. Aku menghargai pendapat mereka dan dengan segala kesibukan kita masing-masing. Tapi, aku bertekad mewujudkannya. Biarlah aku mengeluarkan ongkos transportasi tiap malam demi mengajari mereka mengaji.

Di sepanjang pembelajaran bersama adik-adik di kawasan ini, di mana mereka tinggal di pinggiran rel kereta api dengan bangunan rumah sederhana yang terbuat dari papan, aku sadar kalau adik-adik di sini memiliki karakter berbeda dengan teman sebaya pada umumnya. Mereka cenderung berkata kasar, sering memukul, tidak mau bergaul atau suka mencari perhatian.

Aku sangat yakin kalau lingkungan mempengaruhi terbentuknya karakter semacam ini. Apalagi tak sedikit dari mereka yang cerita ke aku, katanya, tiap malam sering melihat ibunya gonta-ganti lelaki masuk kamar. Bisa dibayangkan kenangan apa saja yang terekam dalam benaknya dan itu terbawa sampai masa depan? Ah, sungguh mengerikan.

Yang membuatku terharu adalah saat ujian akhir dan pertanda selesainya program. Saat itu, kami berpamitan sekaligus menerangkan pencapaian selama 6 bulan. Dosen pembimbing dan Bu Yusfi yang ikut hadir amat mengapresiasi. Bahkan dosenku ingin kalau program ini tetap lanjut. Jangan hanya karena tugas kuliah. Tapi, teman-teman hanya tertawa. Aku tahu, berat kerja sosial di antara deretan kebutuhan hidup pribadi, dan tanpa mendapatkan keuntungan secara profit.

“Kalau Kak Ayas pergi, terus nanti siapa yang ngajari aku ngaji?” kata Tiwi, anak yang paling antusias belajar mengaji, dan sering memberiku permen karet. Usianya 9 tahun.

Aku hanya tersenyum. Aku tak tahu mesti jawab apa sebab sebentar lagi aku bakal lulus kuliah, dan aku tak mau jaga warnet terus-menerus, terlepas nantinya menetap di Surabaya atau pergi ke kota lain.

“Siapa yang ngajarin ngaji, Nak?”

Bu Yusfi menuju ke Tiwi dan memangkunya.

“Kak Ayas. Kan, tiap malam ke sini. Ngajarin kita ngaji.”

“Iyaaa,” sambut yang lain.

“Kita diajarin salat juga. Sayangnya, kita gak punya mukenah, sarung dan qur’an iqra yang banyak. Jadi gantian. Kasihan Kak Ayas kalau beli banyak,” sahut Dewi yang usianya masuk SMP.

Lihat selengkapnya