Kereta sebentar lagi sudah tiba. Beberapa penumpang sudah ada yang berdiri mengambil barang bawaan di atas kabin. Tapi, penumpang di sebelahku justru masih nyaman menyandarkan kepalanya di bahu.
“Mbak! Mbak!”
Orang ini tetap tak bangun.
“MBAK! SAYA MAU TURUN!” kataku dengan suara tinggi, dan menggoyang-goyangkan lengannya.
Akhirnya, ia terbangun. Sejenak ia memicingkan mata dan memandang orang-orang yang mulai berdiri.
“Maaf,” katanya. Singkat dan terdengar tidak merasa bersalah padahal sejam lebih dia bersandar begitu.
Aku tak menimpali ucapannya. Aku memilih berujar permisi, dan mengambil ransel di atas kabin. Hape dan novel Ayas masih aku pegang. Kereta sudah berhenti. Penumpang berdesakan berebut keluar gerbong. Aroma roti ‘O menguar di jalan samping musholla. Tukang ojek pangkalan berhambur menawarkan tumpangan.
Aku tak melihat ada ojek online di sini. Tak apalah. Yang terpenting, aku duduk dulu di kursi, menurunkan ransel dan membuka aplikasi hijau. Semoga ada yang mau mengantar ke Cumedak yang kata Hani berada di dekat kaki Gunung Raung.
“Kalau mau pesan Gojek, mbaknya jalan ke depan. Kearah Indomaret di jalan raya utama. Mereka gak bisa ambil penumpang di sini,” kata seseorang di belakangku.
Saat aku menoleh, ternyata perempuan yang tidur di bahuku sejam lebih. Meski pakai masker, aku gak bakal melupakan orang yang tak tahu diri ini.