Percayakah kau pada keajaiban?
~¤•¤~
Klakson kereta terdengar begitu mengusik di kala malam. Kereta yang terlihat cukup modern itu membelah luasnya hutan dengan penerangan minim.
Suara hiruk-pikuk penumpang semakin tidak terdengar. Mereka satu per satu turun di kota sebelumnya, meninggalkan seorang gadis kecil di dalam gerbong yang sunyi.
Sepi. Satu kata itu mewakili suasana perjalanan malam ini. Ainsley, gadis yang menjadi penumpang terakhir— menyibukkan dirinya dengan termenung—memandang sang rembulan dari dalam kereta.
Dia merapatkan punggungnya ke senderan kursi. Lalu menghela napas gusar, menyudahi menikmati pemandangan malam di luar jendela. Mata indahnya terpejam sebentar— memikirkan libur panjangnya setelah ini.
"Pergi menjenguk kakek? Apakah itu alasan yang sangat tepat untuk aku katakan kepada Bibi Rani?" ragunya, mengingat dirinya saat ini tengah kabur dari rumah.
Untungnya, Ainsley telah meninggalkan surat kepada Bibi Rani dan memberitahu kakeknya lebih awal akan kedatangannya melalui telepon rumah. Untuk sementara waktu ia akan menghindari ayahnya.
Ainsley sengaja mengunjungi sang kakek, Tuan Felton. Karena dia tahu, hubungan ayahnya dengan Keluarga Felton—keluarga ibunya Ainsley—tidak begitu baik.
Perseteruan itu, membuat hubungan Ainsley dengan keluarga sang ibu menjadi jauh. Walau bagaimanapun juga, Tuan dan Nyonya Felton terkadang menyempatkan diri untuk mengunjungi cucu tersayang ini.
Hanya saja, Ainsley tidak pernah bertemu dengan anggota keluarga Felton selain kakek dan neneknya.
Ini kali pertamanya, Ainsley mengunjungi kota sang kakek. Yakni Kota Shea yang dirumorkan tidak pernah ada.
Kota ini memang nyaris tidak pernah terdengar. Hanya manusia tertentu yang bisa memasukinya, termasuk Ainsley.
Kota kakek sangat dirahasiakan. Membuatnya sangat sulit untuk dijangkau. Maka dari itu, demi mempermudah penduduk yang memiliki keluarga di kota tersebut, pemerintah mempercayakan kereta ini sebagai alat transportasi rahasia.
Kota Shea dijadikan tujuan terakhir dan namanya sama sekali tidak pernah dicantumkan di dalam pengumuman. Mungkin itu sebabnya penumpang lain turun di kota sebelumnya. Mereka mengira kereta telah berhenti di tujuan terakhir.
Ainsley sejak kecil hidup di Surakarta. Ibunya telah meninggal dunia ketika ia berusia 1 tahun akibat sakit yang dideritanya.
Sejak kematian ibunya, sang ayah pergi ke luar negeri dan tidak pernah kembali. Bahkan, untuk sekedar menjenguk putri satu-satunya.
Mungkin karena alasan itu, Bibi Rani menjadi sangat menyayangi Ainsley dan mengijinkannya untuk tinggal di rumahnya. Bahkan biaya sekolah Ainsley, beliau dan sekeluarga yang menanggungnya.
Bibi Rani adalah adik dari ayahnya. Sejak kecil, Ainsley selalu bertanya kepada wanita itu tentang sang ayah. Namun, beliau selalu saja mengatakan hal yang sama, bahwa ayah Ainsley sedang bekerja di luar negeri.
Bibi Rani bahkan tidak mengatakan alasan yang logis kemana ayahnya pergi. Jika ditanya, beliau selalu saja mengganti topik lain yang berhubungan dengan sekolah Ainsley.
Semua itu membuatnya muak. Ainsley menjadi sangat benci pada ayahnya. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang ayah tidak memperdulikan anak perempuannya sama sekali?
Bahkan—mungkin saja—ayahnya itu tidak akan pernah tahu; makanan kesukaan, cita-cita dan prestasi anak perempuannya atau yang lebih parahnya lagi, ia tidak akan pernah mengingat hari ulang tahunnya.
"Dan sekarang di usia 13 tahun ini, Ayah ingin menjengukku?" gumam Ainsley kesal. "Lucu sekali, Jangan berharap aku akan senang bertemu dengannya. Aku sudah meminta izin kepada Bibi Rani untuk berlibur ke kota Kakek, walaupun dalam bentuk surat. Untuk sementara waktu aku akan menyingkir darinya. Toh, untuk apa Ayah baru mengunjungiku sekarang?"
CKIITT!
Suara derit kereta membuyarkan semua lamunan Ainsley yang merambat lebat di atas kepalanya. Tak terasa kereta itu telah berhenti di sebuah stasiun yang sangat teramat gelap.
Dia bahkan tidak mendengar pengumuman yang biasa diumumkan oleh masinis. Semua terjadi dengan begitu tiba-tiba. Apakah sesibuk itu pikirannya hingga membuat Ainsley menjadi tuli sesaat?
Pintu kereta telah dibuka, memperlihatkan seorang pria paruh baya beserta dengan seragam kondekturnya datang menuju ke tempat Ainsley.
"Permisi, Nona," ucap tuan kondektur sembari tersenyum ramah.
"Iya, ada apa ya, Pak?" tanya Ainsley berusaha sesopan mungkin.
"Kereta ini sebentar lagi akan kembali ke Surakarta. Kota Shea adalah tujuan terakhir kami. Anda akan turun di sini atau kelewatan kota?" tanya si kondektur memastikan.
Ainsley sedikit tersentak mendengar perkataan yang diucapkan oleh kondektur. Saking terkejutnya, gadis bersurai brunette itu secara reflek beranjak berdiri dari tempat duduknya.
Iris mata Ainsley tidak sengaja tertuju pada papan nama kota yang berada di luar jendela. Seperti yang baru saja dijelaskan oleh kondektur, kereta ini telah tiba di Kota Shea.
"Sudah sampai? Kenapa cepat sekali?" gumamnya terkejut. "Aku yakin, kereta ini baru saja berangkat lima belas menit yang lalu dari stasiun sebelumnya. Ataukah mungkin, jarak kota Shea memang cukup dekat?"
Tuan kondektur mengerutkan dahinya. "Apakah ada masalah, Nona?"
"Ah, tidak ada. Saya memang akan turun di kota ini." Ainsley dengan segera mengambil ransel hitam yang sengaja diletakannya pada kursi penumpang. Terpampang jelas tulisan 'pembenci sihir' di bagian depan tas-nya.
Gadis itu segera turun dari kereta sembari mengucapkan terima kasih beserta permintaan maafnya kepada kondektur.
"Apakah anda yakin ingin turun di kota ini?" tanya pria paruh baya itu dari atas kereta. Nada suaranya menyiratkan perasaan khawatir kepada Ainsley.
"Iya, tentu saja," jawab Ainsley yakin.
"Jaga dirimu ya, nak," kata si kondektur tiba-tiba.
Mesin kereta kembali dinyalakan. Bersamaan dengan derap langkah kaki Ainsley, memasuki stasiun Kota Shea yang sepi dan hanya dihiasi lampu redup.
Asap mulai mengepul dari cerobong kereta, kemudian pergi meninggalkan Ainsley seorang diri di peron stasiun seram berkesan kuno.
"Jaga dirimu untuk apa?" pikir Ainsley mencoba mengingat apa yang diucapkan bapak itu baru saja. "Kondektur yang aneh."
Ainsley memandang bangunan tua di hadapannya dengan sedikit tertegun. Stasiun sepi nan gelap terlihat sedang menantang adrenalinnya.
"Jadi, ini yang dinamakan stasiun Kota Shea?" gumamnya seraya tersenyum. "Cukup menyeramkan."
Ainsley mengambil ponsel miliknya dari dalam ransel. Ditataplah benda berteknologi canggih itu dengan saksama.
Seperti dugaannya selama ini, GPS di ponselnya mendadak tidak berfungsi semenjak turun dari atas kereta.
"Sudah kuduga, jaringan GPS-nya tidak ada," kesal Ainsley. "Bagaimana bisa kakek dan nenek begitu betah tinggal di kawasan tanpa jaringan GPS?"
"Ainsley!"
Suara berat namun terdengar cukup tegas itu bergema—memecah keheningan malam—membuat Ainsley tersentak kaget untuk yang kedua kalinya.
Dia menoleh ke asal suara. Mendapati pria tua berkumis putih berbusana adat Jawa berjalan cepat ke arahnya dengan ditemani oleh seorang gadis kecil ber-dress merah muda.
"Kakek?" gumam Ainsley berusaha mengatur fokus matanya sekali lagi, ketika mendapati sosok sang kakek di kejauhan.
Awalnya Ainsley sempat takut, bahwa yang tengah dilihatnya itu merupakan sosok hantu penunggu stasiun. Namun, sepertinya dia salah menduga.
Tuan Felton tanpa berpikir panjang lagi segera memeluk Ainsley. Gadis itu pun menyambut pelukan hangat sang kakek dengan tangan terbuka.
"Jangan terlalu erat, Kek! Ainsley nanti bisa-bisa mati berdiri karena kehabisan nafas alam!" kata gadis itu berusaha mencairkan suasana.
"Hus!" ujar Tuan Felton disertai gelak tawa oleh kedua manusia kecil yang berada dihadapannya. "Astaga, kakek terlalu bersemangat. Bagaimana kabarmu, nak?" lanjut Tuan Felton sembari melepaskan pelukannya.