2. Negeri Abu-Abu
Sekar dan Hanin berlari dengan langkah kecil mereka. Napas mereka terengah dengan keringat mengucur. Keduanya bingung, ke mana mereka harus pergi. Sedangkan derap langkah pada papan berdecit semakin terdengar, mendekat dan kian mendekat. Keduanya ketakutan. Hanin menyapukan telapak tangannya pada deretan barang di rak kayu. Mendorong jatuh semua barang yang berada di dekatnya. “Lihat ada pintu,” ucap Sekar. “Semoga itu pintu keluar. Ayo Hanin, lebih cepat!”
Hanin mengangguk. Mereka membuka pintu, pintu keluar! Tapi keadaan di luar rumah juga begitu aneh. Tidak ada sawah milik Pak Mus yang seharusnya berada tepat di depan toko Pak Amin. Juga tidak ada pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Di sekeliling tak terlihat rumah ataupun bangunan yang mereka kenali. Yang terpenting, langit saat ini berwarna jingga kemerahan. Padahal tadi mereka saat keluar dari rumah langit masih terang. Awan menghiasi langit biru, ayam jago Pak Lik Haryo berkokok dengan gagah. Sedangkan sekarang, sudah sore menjelang malam.
“Mbak Sekaaar.” Hanin menarik lengan kakaknya.
Langkah kaki semakin dekat. Sekar menarik pintu kayu hingga tertutup. “Ayo Hanin.” Digenggamnya jari adiknya. “Tenang ada Mbak Sekar.” Mereka berlari dan terus berlari. Takut tertangkap.
Setelah pelarian panjang kedua gadis kecil mencoba beristirahat. Mereka menemukan sebuah pondok kecil. Mirip seperti pondok di tengah sawah atau ladang milik Mbah[1]. Keduanya duduk, merapat sambil mengamati sekitar. Ada sebuah kursi kursi tua berderik di samping pondok. Sedangkan tanah di sekitarnya kering, ada beberapa pohon yang tumbuh, dengan buah-buah berwarna cokelat kotor.
“Ayo,” ucap Sekar mengulurkan tangan pada Hanin.
“Kakiku capek, Mbak.” Hanin menangis.
Sekar juga ingin menangis tapi dia tidak boleh. “Sini mbak gendong.” Sekar berjongkok membiarkan adiknya naik ke punggungnya. Untungnya badan Hanin cukup mungil meski usianya sudah delapan tahu.
Mereka kembali berjalan. Tapi ketika mereka mengamati setiap sudut, tak terlihat ada siapapun. Setiap tempat terlihat lusuh. Kelabu. Debu terlalu tebal. Lumpur mengeras. Tanah kering. Tanaman layu, dedaunan cokelat berbintik-bintik hitam.
"Mbak Sekar, ini di mana?" Hanin menatap kakaknya penuh tanya.
"Aku juga nggak tahu," sahut Sekar.
"Rumah utet kok hilang?" Hanin terisak lagi. Sekar menepuk lengan Hanin yang melingkar di bahunya.
“Kita akan menemukan rumah Utet, tenang saja Hanin,” ucap Sekar yang sebetulnya juga sedih.
”Kita bisa pulang nggak Mbak Sekar?” Hanin mengusap air matanya.
”Pasti bisa. Lagipula, kalau kita telat pulang, utet, om Aji, bunda dan mamah akan mencari.” Sekar mengeratkan pelukan.
”Benarkah?” Hanin mulai sedikit tersenyum.
”Pasti! Bukankah bunda dan mamah paling sering ngomel kalau kita pulang telat.” keduanya tertawa.
Mereka berdua melanjutkan berjalan, mencari jalan pulang. Namun semua sia-sia. Tiap jengkal tanah sama bentuknya, kering dan tidak memiliki kehidupan. Tidak ada penduduk di kota ini. Rumahnya sudah usang, tua dan hampir rubuh bangunannya.
"Hanin, aku lapar." Sekar mulai lelah.
"Hanin juga," ucap Hanin.
Keduanya tersandar pada dinding rumah yang mulai lepas kayunya. Perut mereka bernyanyi sangat nyaring. ”Hanin pengen makan nasi goreng buatan utet.”
Sekar juga mengangguk. ”Benar katanya mamah. Tidak mempunyai makanan itu nggak asyik.”
”Iya.” Hanin juga mengangguk. ”Hanin janji, lain kali akan menghabiskan semua makanan. Tidak akan membuang-buang makanan lagi.”
”Sekar juga.” Ternyata kelaparan, lelah dan ketakutan membuat Sekar dan Hanin sadar bahwa kelaparan tanpa memiliki makanan untuk di makan itu sangat tidak enak. Dan kata-kata peringatan dari orangtua mereka itu benar. Menghargai setiap makanan yang disajikan serta bersyukur dapat makan makanan yang ada, sangat penting.
"Hei, kalian berdua," suara bapak itu terdengar lagi. Suaranya semakin jelas terdengar. Dan membuat Sekar dan Hanin terkejut. Bapak itu berhasil menemukan Hanin dan Sekar yang tidak mampu berlari kencang. Mereka terlalu capek dan lapar.