3. Negeri Gula
Setelah Om Benjo tidak kedengaran lagi langkah kakinya, Sekar mengintip dari lubang kunci. Sedangkan Hanin menempelkan telinga ke daun pintu. Keadaan sunyi. Perlahan mereka membuka pintu. Berjingkat keluar. Selangkah demi selangkah. Mereka berhenti lalu merapat pada dinding saat melihat pintu kamar Om Benjo terbuka lebar. Om Benjo sedang menulis. Matanya sendu seakan hendak menangis. Keduanya merangkak perlahan, berharap tidak akan ketahuan. Baru saja mencapai sisi kiri, Om Benjo berhenti menulis lalu menatap langit dari jendela di samping meja. Hanin dan Sekar merapat pada dinding, napas tertahan, gigi mengatup dengan degup jantung berpacu cepat. Melihat kesempatan datang lagi, keduanya lalu berjingkat kecil.
Ada suara guntur yang terdengar menggelegar. Sekar menahan teriakan Hanin dengan telapak tangannya. Mereka panik. Om Benjo berdiri dan berjalan terburu-buru hingga tidak melihat ada dua gadis kecil yang bersembunyi di balik meja kayu. Setelah cukup jauh Hanin dan Sekar yang seharusnya kabur malah masuk ke kamar. Rasa penasaran mengalahkan ketakutan. Mereka melihat kertas-kertas serta sebuah foto. Sekar membalik buku yang nampak seperti agenda. Di rak samping bersusun begitu banyak buku bersampul hitam juga. Sekar mulai membaca baris demi baris. Dia menarik Hanin mendekat. Hanin belum begitu lancar membaca, usianya baru 8 tahun. Sedangkan Sekar sudah bersekolah kelas 6.
"Ini kerajaan," bisik Sekar.
"Nggak mungkin. Di dongeng, kerajaan itu indah," sahut Hanin.
"Kerajaan ini dikutuk," suara Sekar bergidik.
“Dikutuk? Sama penyihir jahat gitu?” Hanin membayangkan wajah penyihir yang menyeramkan seperti di film-film yang sering ditontonnya. Dan tepat saat itu juga Om Benjo muncul. “Kalian!” teriaknya. Lalu keduanya memekik ketakutan.
Setelah menenangkan dua bocah yang berteriak sambil menangis itu, Om Benjo mulai bercerita mengenai tempat tinggalnya.
”Benar ini kerajaan?”
Om Benjo mengangguk. Kerajaan ini bernama Negeri Gula.
“Kenapa namanya Negeri Gula?” tanya Hanin setelah airmatanya tidak lagi mengalir.
Negeri Gula adalah negeri yang menghasilkan gula dari air mancur yang mengalir sepanjang waktu. Lagipula Raja dan semua penduduk di negeri ini sangat gemar makanan manis. Mereka membuat kue untuk sarapan, makan siang, makan malam juga cemilan. Mereka dapat menukarkan gula yang melimpah dengan gandum, juga berbagai kebutuhan untuk membuat kue dengan mudah. Semua selalu tersedia dan melimpah ruah.
“Wah asyik sekali….” Hanin membayangkan begitu banyak kue terhampar setiap hari. “Ada cake?” Om Benjo mengangguk. “Bolu? Cup cake? Tart?” Semua dijawab dengan anggukan. “Pasti menyenangkan tinggal di Negeri Gula….” Hanin berandai-andai dia tinggal di negeri ini. Setiap hari dia pasti bisa makan begitu banyak kue. Tidak perlu harus makan sayur dan buah juga seperti kata mama.
“Lalu bagaimana bisa sampai negeri ini menjadi begitu… gersang?” tanya Sekar.
Om Benjo menggeleng sambil menghela napas panjang. Sumber daya yang berlimpah ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik. Malah, hal tersebut membuat semua orang menjadi berlebihan. Mereka membuat kue begitu banyak hingga tidak termakan, terbuang sia-sia. Menggunung di sudut hutan, membusuk dan menjadi sampah. Lalat dan semua ulat berkumpul. Mereka mengerumuni makanan yang sudah jelek itu. Lama kelamaan, lalat dan ulat merusak tanaman serta bunga di hutan.
“Utet bilang tidak boleh buang-buang makanan,” ucap Hanin.
Om Benjo sejak kemarin bingung, siapa yang mereka sebut dengan Utet.
“Itu, dulu Mbak Sekar ndak bisa nyebut Uti dengan Uti Retno. Malah manggilnya jadi Utet.” Hanin menjelaskan, kedua alisnya bergerak meledek Sekar yang selalu manyun kalau mengingat itu.