4. Gelembung Mantra
Paginya Hanin dan Sekar ikut dengan Om Benjo ke kebun. Meski dikatakan kebun tapi di sana hanya ada beberapa tanaman berwujud jelek. Hanin masih bisa menyenandungkan lagu yang sering dinyanyikannya saat ikut pergi ke sawah bersama mbah.
"Hanin lihat ini! Pare!" Sekar menunjuk pada buah hijau panjang menggantung dengan kulit seperti berkeriput.
"Ini pahit!" Hanin mengernyit. "Tidak enak."
"Tapi kata Utet, pare bagus untuk kesehatan." Sekar menimpali.
Hanin hanya manyun. “Tapi tidak enak.” Hanin mencebik, “weks.”
“Iya sih,” sahut Sekar. Lalu keduanya bertukar pandang dengan cemas. “Semoga saja Om Benjo tidak akan memasak dan mnyuruh kita makan pare.” Keduanya mengatupkan kedua telapak tangan sambil komat-kamit berdoa. “Makan daun yang lain saja. Jangan pare.”
“Mbak Sekar itu ada papaya,” tunjuk Hanin.
“Om Benjo buah pepayanya mana?” tanya Sekar.
“Tidak ada, hanya daun saja yang tersisa.” Om Benjo menurunkan karung yang dibawanya lalu mengeluarkan cangkul dan beberapa alat lainnya.
“Yah tidak asyik, masa ndak berbuah,” gerutu Hanin.
“Aku nggak suka kalau Utet masak tumis daun papaya. Pahit,” ujar Sekar sambil mengelus daun papaya.
“Bahkan lebih pahit lagi,” sambung Hanin lalu menjulurkan lidah seakan dia mengecap rasa pahit di ujung lidahnya.
Mereka lalu kembali mengitari kebun sementara Om Benjo sibuk mencari umbi yang bisa dipanen. Tangan Om Benjo sesekali menggerakkan cangkul sekuat tenaga pada tanah kering. Dia menarik batang tanaman.
“Singkong!” teriak Hanin ketika tanaman itu terangkat akarnya.
“Singkong goreng buatan bunda sangat enaaaak!” Keduanya lalu bertepuk tangan sambil membayangkan sepiring singkong goreng dan segelas teh manis hangat di sore hari.
“Hanin rindu bunda dan mama.”
“Sekar juga.”
“Utet dan Om Aji bakal nyariin kita ndak ya Mbak?” tanya Hanin.
“Mungkin, tapi mereka bakal nyari ke mana?”
“Semoga saja kita bisa segera pulang,” ucap keduanya.