6. Satu tempat Tujuan
Mereka sedari pagi hingga sore terus berbisik, berpikir apakah mereka harus memberitahu Om benjo atau tidak. Tapi sepertinya Om Benjo akan melarang lagi. Dan Om Benjo sejak kemarin terus membongkar kotak-kotak di lemari, berharap menemukan cara mengembalikan kedua bocah kecil yang terdampar ke rumahnya.
“Mungkin aku dapat mengirimkan surat ke Hutan Peri,” gumam Om Benjo.
Sekar dan Hanin berjalan perlahan, melewati Om Benjo yang terus termenung. “Jadi?” bisik Hanin. Sekar memberi mengangguk.
Mereka menunggu hingga malam tiba. Dan memastikan Om Benjo sudah tertidur lelap. Keduanya berjingkat pelan. Sekar membawa sebuah tas kain bergambar kucing kecil berwarna hitam. Di dalamnya mereka memasukkan pakaian ganti yang dipinjamnya dari lemari Madu dan Markisa. Mereka juga membawa sedikit makanan, buah pepaya dan ubi rebus. Tak lupa Sekar menulis surat untuk Om Benjo agar tidak perlu merasa khawatir.
Keduanya berhasil keluar dari rumah dengan tidak membuat suara apapun. Kemudian mereka mulai melangkah. “Ke arah mana Mbak Sekar?” tanya Hanin. Sekar menunjuk pada pita-pita kecil yang telah diikatkannya pada ranting ataupun dahan pohon tadi pagi saat berkeliling mencari makanan bersama Om Benjo. Ini agar saat malam mereka dapat menemukan jalan untuk keluar dari Negeri Gula. Keduanya tiba di batas negeri. Gelembung besar membungkus negeri gula. Hanin menggenggam jemari kakaknya. Keduanya saling bertukar pandang lalu melompat bersamaan. Hanin masih berdiri dengan mata terpejam sementara di sisinya Sekar menatapnya sambil tertawa pelan. “Kenapa kamu harus menutup mata Hanin?” tanya Sekar.
“Tidak, aku hanya ingin saja,” sahut Hanin.
“Kamu pasti takut ya?” ledek kakaknya.
“Nggak kok!” Hanin memalingkan wajah, menyembunyikan mulut manyunnya.
“Dulu kalau main petak umpet kamu suka tutup mata sendiri, lalu mengira kami tidak bisa menemukanmu kalau kamu juga tidak dapat melihat kami,” ingat Sekar.
“Mana ada seperti itu!” Hanin sewot. Dia lalu melihat sekeliling. “Mbak Sekar, lalu sekarang kita akan ke mana?” tanyanya.
“Bagaimana kalau kita ikuti saja jalan setapan ini,” usul Sekar kemudian dikeluarkannya dua buah senter yang mereka bawa tadi. Sepertinya senter ini sangat berguna meski bulan mala mini bersinar dengan sangat terang. Bulan purnama. Keduanya berjalan melewati jalan setapak. Kiri kanan hanya terlihat pohon-pohon yang menjulang tinggi.
"Kita harus ke arah mana lagi?" tanya Hanin.
"Entah," sahut Sekar.
Hanin memutar kepala, melihat sekeliling. "Kalau tersesat bagaimana?"
"Kita tinggal bertanya," jawab Sekar.
“Tanya sama rumput yang bergoyang? Kayak lagu yang sering Om Aji nyanyikan?” gerutu Hanin.
“Astaga Hanin, kalau ngomel terus emangnya bisa ketemu jalan keluarnya?” Sekar menepuk pundak Hanin.
“Maaf,” ucap gadis berusia delapan tahun itu sambil menunduk. Tiba-tiba saja wajahnya terlihat cerah. "Sebaiknya kita berdoa dulu ya Mbak Sekar. Minta tolong sama Tuhan. Biar dikasih petunjuk."
“Benar. Kata Utet setiap melakukan segala sesuatu harus dimulai dengan doa kepada Tuhan,” sahut Sekar. Keduanya lalu berdoa. Berharap mereka dapat membantu Om Benjo dan bisa pulang ke rumah secepatnya.