7. Padang Gandum
“Aku akan mengantarkan kalian ke tempat tujuan yang kalian inginkan.”
Angin berhembus menerbangkan lembar rambut mereka. Keduanya kaget, saling berpegangan sambil mencengkeram tepian delman yang dapat mereka raih. Ini bukan delman biasa. Karena perlahan delman berwarna-warni ini semakin tinggi dan tinggi. Hanin menutup mata, sedangkan Sekar mengintip sedikit dari ekor matanya. Daratan semakin jauh, pohon tinggi yang awalnya terlihat batang pohon besarnya. Kini makin lama yang terlihat hanya puncak pohonnya. Sekar semakin takut, dia akhirnya menutup matanya rapat-rapat. Delman itu terus melaju. Melayang ke udara, menembus awan dan berputar bersama angin mengelilingi pijar cahaya. Belum hilang rasa terkejut, delman kembali menukik. Lalu turun perlahan pada sebuah padang luas.
Angin berhenti berhembus. Delman tidak lagi bergoyang. Lonceng yang terpasang pada kuda ajaib itu tak lagi berdenting kencang. Bisa jadi delman telah tiba di tempat tujuan. Sekar perlahan membuka kelopak mata. Hamparan rumput hijau dengan padang gandum di sisi kiri kanan berkilau keemasan membuat Sekar takjub. Dia masih merasakan badannya bergoyang dengan kepala sedikit pusing dan mata berkunang-kunang. Sepertinya naik delmannya Mbah atau saat mereka di Malioboro tidak seperti ini rasanya. Tunggu, dia mana dirinya sekarang. Dan Hanin….
"Waaah!" Hanin yang juga membuka mata segera bersandar pada sisi tiang delman.
Sekar menatap kaget pada adik sepupunya. "Kok kamu masih di sini?"
Hanin melirik dengan alis naik seakan bertanya ‘kok Mbak Sekar sekaget itu?’.
“Bukannya tadi bilangnya….”
"Kudanya nanti capek ah, Mbak Sekar, kalau harus anterin bolak-balik," jawab Hanin cuek, "ayo turun! Delmannya sudah berhenti."
Keduanya turun ke padang rumput. Lalu mendekati kuda baik hati itu. "Delina, terima kasih sudah mau anterin kami yah." Hanin bingun bagaimana harus membalas budi baik Delina, si Kuda Putih.
"Tapi kami tidak punya uang untuk membayar," ucap Sekar.
"Tidak perlu. Semoga lain kali kita bisa bertemu lagi." Kuda itu menunduk sedikit seakan memberi salam. Hanin dan Sekar segera ikut membungkuk. Dan sesaat angin kembali bertiup kencang. Rambut Sekar dan Hanin berterbangan. Mereka menutup mata dengan telapak tangan sambil sedikit mengintip dari celah jari. Delina dan delmannya kini sudah berada di udara, terbang di langit lalu melesat cepat.
“Wuih…,” ucap Hanin, “kalau kita ke sekolah pake delman itu ndak bakal telat ke sekolah pasti.” Hanin menggeleng-geleng pelan masih takjub.
“Ya, tapi setiap hari pasti diomelin Pak Guru, karena bikin semuanya tertiup angin.” Keduanya tertawa cekikikan, membicarakan apakah tiang bendera akan terbang kalau Delina dan delmannya mendarat. Atau apakah sebaiknya mereka naik delman itu pula kalau mau pergi ke mall. Sambil keduanya kembali melanjutkan perjalanan. "Argh!" Sekar mundur beberapa langkah padahal mereka baru saja meninggalkan delman tak begitu jauh.
"Ada apa?" Hanin melihat pada arah yang ditunjuk Sekar. Seketika dia berteriak juga, "Karung! Karungnya kok begitu?!" Keduanya terdiam, terpaku.
"Itu karung?" Sekar panik.
"Karung punya mata?" Hanin mundur saat karung yang mengejutkan mereka semakin mendekat. Tidak mereka berdua yakin tidak sedang berhalusinasi, bermimpi atau sedang berkhayal. Dan karung itu bukan menggelinding seperti seharusnya karung kalau terjatuh pada area rendah. Yang teraneh mereka yakin kalau melihat ada dua mata….
"Mulut, kaki, dan...," ucap Sekar. Tangan yang melambai pada mereka.
Karung ajaib itu semakin mendekat. Hanin dan Sekar malah semakin mundur.
"Hai gadis-gadis kecil, aku Tuan Goni, " sapa Karung pertama yang mendekati.
"Aaaa! Bi...sa ngomong!" teriak Sekar.
"Iya. Bi... bi... sa ngomong," ujar Hanin.
Tuan Goni tertawa melihat wajah kedua bocah yang matanya terus membelalak persis seperti tokoh di film kartun yang sedang melotot. Tuan Goni membungkuk memberi salam dengan sopan. Melihat lawan bicara yang tidak tampak jahat walau memiliki bentuk berbeda, Sekar dan Hanin menjadi malu karena ketakutannya tidak benar.
“Maafkan kami, sudah tidak sopan…,” ucap Sekar membungkuk pula.
“Maaf juga sudah berteriak,” tambah Hanin.
“Ah tidak apa-apa,” sahut Tuan Goni. Dia melihat sekeliling lalu bertanya, "Kalian berdua diantar oleh delman?" tanya Tuan Goni.
Sekar dan Hanin mengangguk. Keduanya lalu memperkenalkan diri kepada Tuan Goni. Dan sedikit bertanya mengenai di mana mereka berada saat ini. Negeri Tepung, di tanah Padang Gandum! Keduanya awalnya memang cukup terkejut namun setelah mendengar penjelasan dari Tuan Goni mereka baru mengerti. Keduanya gembira ketika mengetahui ternyata penduduk Padang Gandum semuanya memang berbentuk karung, aneka macam dan bahan. Ada karung berwarna cokelat, berwarna kuning, abu-abu, pink, hijau dan putih seperti karung tepung yang disulap Utet menjadi sarung bantal setelah isinya habis.
Penduduk Padang Gandum sangat ramah dan ceria. Bahkan menyambut kedua bersaudara sepupu ini dengan gembira. Mereka diajak berkeliling dari satu rumah ke rumah lain, menyapa penduduk padang yang penuh senyum ini.
"Tuan Goni, padang ini sangat luaaaas." Sekar melompat riang. Dia bahkan membuka sepatunya. Menginjakkan kaki pada rumput hijau halus dan rapi. tapi tak jauh dari padang itu ada hamparan rumput yang kuning keemasan.
"Benar." Tuan Goni ikut senang melihat anak-anak berlari.
"Waaah, itu apa?" tanya Hanin menunjuk pada hamparan tanaman seperti padi namun bulirnya lebih besar.
"Itu adalah gandum siap panen." Tuan Goni menjelaskan.
"Tuan Goni bertani gandum?" Kembali Hanin bertanya.
"Kami semua adalah petani gandum terbaik yang ada di seluruh penjuru dunia," sahut Tuan Goni dengan bangga pada semua warganya.
Sekar dan Hanin melihat, bulir-bulir gandum begitu besar, berwarna kuning keemasan apalagi saat tertimpa sinar matahari pagi ini. Bukankah mereka sering makan sereal dengan segelas susu yang disediakan Bunda dan Mamah. Mereka membayangkan semangkuk sereal dan susu, apalagi kalau ditambah buah-buah dan caramel. Pasti lezat. Lalu perut Sekar dan Hanin mengeluarkan bunyi, kriuk-kriuk yang sangat keras. Keduanya menutup perut mereka dengan kedua telapak tangan dengan malu. “Maaf.”
“Ah, kalian pasti lapar dan belum makan.” Tuan Goni segera tanggap. “Ayo kita ke rumahku. Kalian suka sereal?” tanyanya yang langung disambut dengan anggukan kepala seperti boneka kecil di atas dashboard mobil Bunda.
Sambil berjalan menuju rumah Tuan Goni mereka melewati ladang gandum tadi. Keduanya masih sangat takjub akan banyaknya jumlah tanaman di sana. "Gandum-gandum sebanyak ini setelah dipanen, ditaruh di mana?" tanya Sekar.
"Sebagian disimpan di gudang. Sebagian lagi dijual. Agar semua orang bisa menikmati gandum terbaik kami." Tuan Goni membawa Sekar dan Hanin melewati deretan gudang kayu besar. “Itu gudang-gudang kami.”
“Dijual juga? Kenapa? Kan sayang…,” Hanin mengerutkan alis.