9. Setelah Badai Berlalu
Hanin dan Sekar terbangun. Dengan kepala pusing, segera saja keduanya mencari satu sama lain.
"Mbak Sekar! Mbak Sekar!"
"Hanin!"
Sekar melompat turun dari ranjang, menghambur memeluk adiknya. Dia tak percaya mereka selamat. “Syukurlah kamu tidak apa-apa. Ada yang sakit.”
Hanin menggeleng. “Mbak juga baik-baik saja?” tanya Hanin. Sekar mengangguk. Lalu dia menyadari ada yang aneh. Mereka tampaknya berada di sebuah kamar. Keduanya mengendap-endap, melihat melalu jendela yang terbuka lebar dengan kain gorden bercorak bunga. Di mana mereka sekarang? Bukankah mereka seharusnya berada di balon udara milik Pak Niaga yang terhempas badai. Ah iya, di mana Pak Niaga?
“Mbak Sekar….”
Sekar memberi isyarat agar Hanin memelankan suara. Dari jendela terlihat di mana-mana banyak rumput hijau. Tapi ini berbeda dari Negeri Padang Gandum. Rumputnya hijau cerah. “Lihat!” Hanin menunjuk pada beberapa orang yang berlalu-lalang. Sekar mengangguk. Dia melihat pula apa yang dilihat Hanin. Ibu-ibu dan anak perempuan menjunjung pot kendi besi di atas kepala mereka dengan seimbang tanpa takut jatuh, bahkan tidak dipegang sama sekali.
“Hebat! Apa mereka pemain sirkus?” tanya Hanin. Dia pernah melihat para pemain sirkus yang bisa berjalan seimbang di atas tali tinggi sambil membawa beberapa benda bahkan melempar bola-bola berwarna-warni.
Tapi bukan! Ibu-ibu dan anak perempuan tersebut tak tampak seperti pemain sirkus. Mereka hanya terus berjalan sambil membawa kendi tanpa terjatuh atau goyah sedikit pun. Mereka berjalan sambil bersenda gurau.
“Lihat!” Kembali Hanin menunjuk. Sekar melirik adiknya dan menyuruhnya jangan terus-menerus berteriak di samping telinganya.
“Iya, mbak juga lagi lihat.”
Jika ibu-ibu dan anak perempuan membawa kendi. Bapak-bapak dan anak lelaki tampak menggiring sapi-sapi masuk ke kandang. Sekar menarik Hanin mendekat. Mereka tidak pernah tahu sedang berada di negeri apa. Yang jelas keduanya hanya memiliki satu sama lain sekarang. Keduanya memiliki misi penting yang harus diselesaikan agar dapat pulang kembali ke rumah mereka.
“Kita harus mencari tahu, di mana kita berada sekarang,” ucap Sekar yang segera diiyakan adiknya. “Ah iya, kita harus mencari Pak Niaga.”
Hanin bingung, "Pak Niaga? Di mana ya?"
Sibuk melihat pada pemandangan di jendela serta mencoba menyusun rencana membuat Sekar dan Hanin tak menyadari kehadiran orang lain di ruangan. "Kalian sudah bangun?" Seorang wanita tinggi berkulit kuning langsat tersenyum.
Sekar dan Hanin kembali mundur. Mereka ketakutan. Siapa wanita ini? Tubuhnya tidak terlaalu tinggi, kurus dengan mata sipit serta rambut hitam dan memakai baju dengan kerah tinggi bercorak bunga berwarna kuning dan celana hitam panjang. “Maaf, Ibu siapa ya?” tanya Sekar memberanikan diri.
“Aku sangat senang kalian sudah siuman. Kalian bisa memanggilku Ibu Mei.” Ibu itu tersenyum. Dia merapikan ranjang yang dipakai tidur oleh Sekar dan Hanin tadi. Lalu ucapnya, "Pak Niaga sudah melanjutkan perjalanan. Katanya ada barang penting yang harus diantarkan." Ibu Mei meletakkan sebuah kendi lalu menuang pada cangkir besi pula. Cairan putih dengan aroma yang segar mengisi cangkir tersebut.