10. Rahasia Lian dan Niu-Niu
Untungnya hari itu Ibu Mei menemukan mereka. Keduanya diantar kembali ke kamar. Hari ini kembali lagi Sekar dan Hanin dititipkan pada Lian oleh Ibu Mei setelah sarapan pagi dengan keluarga besar mereka. Yang Sekar dan Hanin ketahui, Lian, tujuh bersaudara, tiga abang laki-laki, dua kakak perempuan, satu adik laki-laki bungsu. Sedangkan Lian, adalah anak perempuan paling kecil. Ternyata Lian berumur sepuluh tahun. Ayahnya pria tinggi kurus dengan rambut panjang dikepang ke belakang, persis pemeran film silat yang pernah ditonton Om Aji.
Sekar mengamati, semua pria akan mengenakan pakaian tanpa corak, hanya satu warna. Sedangkan para perempuan memakai kain bercorak bunga. Saat sore dan malam, Ibu Mei dan anak-anak perempuannya semua berganti memakai rok panjang, bukan lagi celana panjang. Sekar dan Hanin juga dibuatkan sepasang baju bercorak bunga-bunga sesuai warna kesukaan mereka, merah muda dan hijau cerah.
Setiap pagi setelah sarapan, seisi keluarga begitu sibuk. Mereka pergi ke padang rumput dan peternakan untuk mengurus sapi-sapi peliharaan mereka. Penduduk di sini rata-rata berkerja sebagai peternak sapi. Para pria akan bekerja mengurus sapi-sapi, dari memberi makan, menggembala, membersihkan kandang hingga urusan lainnya. Sedangkan yang wanita akan bertugas memerah susu dan membawa susu-susu itu untuk diolah. Pantas saja para wanitanya sangat ahli membawa kendi-kendi susu.
Pagi ini Lian masih sama, enggan bicara dengan Sekar dan Hanin meski keduanya sudah meminta maaf serta bertanya apa sebenarnya salah mereka. Lian tak mau berbicara sepatah kata pun. Dia hanya menunggu sampai ibunya pergi lalu segera melesat keluar dari kamar. Tapi Sekar sudah memutuskan untuk mencari tahu apa yang sedang Lian kerjakan. Mereka terlalu penasaran.
Hanya saja sulit sekali untuk Sekar dan Hanin membuntuti Lian. Mereka akhirnya berhasil mengikuti Lian hingga keluar rumah besar. Ternyata bocah berkepang dua itu berjalan menuju sebuah padang rumput di bukit kecil yang sedikit jauh dari peternakan besar. Sekar dan Hanin membuntuti lagi.
"Sudah kubilang, biar aku aja. Kamu ngotot mau ikut sih," ujar Sekar saat Hanin ketakutan dibuntuti beberapa ekor anak sapi.
Mereka berlari kencang sebelum sapi-sapi itu berhasil mendekat. Lucunya anak sapi yang ada seakan mengajak mereka bermain. Dengan napas terenggah-enggah, Sekar dan Hanin mendapatkan tempat persembunyian. Mereka mendengar ada suara yang cukup dikenal. Di sebuah kandang Lian tampak sedang bercerita panjang. Sekar dan Hanin mengintip lagi. Seekor anak sapi tampaknya sangat suka pada Hanin, dia mengekori tepat di belakang. Sesekali anak sapi itu menarik ujung baju Hanin, mengajaknya untuk bermain. Hanin menyuruh anak sapi itu untuk dia. Dia memberi isyarat dengan menempelkan jari telunjuknya pada bibir, “Sttt….”
Sapi itu malah tersenyum dan membalas dengan lenguhan panjang. Hanin panik, kembali meminta anak sapi untuk tenang, “Sttt… diam dong. Nanti aku kasih roti deh,” janji Hanin. Anak Sapi mengedipkan mata. Lalu memonyongkan bibirnya dan mengangguk. Dia berdiri tepat di samping Hanin, mengikuti gerak-gerik Hanin seakan ikut memata-matai. “Aduuh, ya uda deh, yang penting diam ya. Awas lho!”
Sekar menahan tawa melihat Hanin tampak akrab dengan seekor anak sapi yang membuatnya berlari ketakutan tadi.
"Mereka itu pengacau." Lian memberikan rumput-rumput kepada seekor sapi. "Mereka pasti anak nakal yang kabur dari orangtuanya."
Sapi itu melenguh pelan seakan menjawab ucapan Lian. "Atau jangan-jangan mereka diusir oleh Ibunya karena selalu bikin masalah. Pasti mereka dihukum."
Wajah Hanin kesal. Dia menghentak kakinya. Sekar tak sempat menahan, Hanin terlanjur menghambur masuk. "Kamu salah! Hanin anak baik. Bunda juga sayang sama Hanin. Bunda tidak pernah menghukum Hanin," isak Hanin, "Hanin mau pulang dan bertemu Bunda."
Lian dan Sekar sama-sama terkejut. "Hanin, jangan menangis lagi." Sekar segera memeluk adik sepupunya.
Sementara itu Lian yang sebenarnya kaget dan merasa bersalah berpura-pura tidak peduli pada tangisan Hanin. "Kalian ngapain ke sini? Lalu kamu kenapa menangis? Cengeng!" Lian mencoba tetap ketus walau dia enggan menatap air mata Hanin.
"Hanin tidak cengeng.” Sekar maju membela adiknya. “Dia hanya sedih. Aku juga ...," ucap Sekar dengan suara sendu.
"Hanin rindu bunda." Hanin memeluk Sekar.
"Mbak Sekar juga rindu mamah. Rindu sama utet dan om Benjo juga." Sekar menepuk punggung adiknya pelan.
“Mbak Sekar, kita bisa pulang ke rumah tidak?” tanya Hanin pada kakaknya.