Air Mancur Negeri Gula

catzlinktristan
Chapter #11

11. Mentega dari Paman Chai

11.     Mentega dari Paman Chai

Hari mulai siang, Lian mengajak Sekar dan Hanin turun dari bukit. Mereka berjalan bersama Niu-Niu dan Hana. Sekar dan Hanin baru tahu kalau tempat yang mereka datangi kali ini bernama Kampung Kendi. Sekar dan Hanin mengangguk, mereka yakin namanya pasti berasal dari hebatnya para penduduk menjunjung kendi.

“Setelah ini kalian akan kembali ke Negeri Gula?” tanya Lian.

Sekar menggeleng. "Kami masih harus mencari mentega, telur dan tentu saja gula agar kue yang kami bikin nanti benar-benar manis. Itu yang dibilang oleh Nyonya Goni saat mengajari kami membuat roti."

“Tunggu, Nyonya Goni bisa membuat dan mengajari kalian membuat roti,” ucap Lian, kedua sahabatnya menatap penasaran. “Lalu kenapa kalian tidak meminta semua bahan itu kepada Nyonya Goni?"

"Ah iya, Mbak Sekar! Kenapa tidak terpikirkan yah?" sahut Hanin. 

Sekar kembali menggeleng. Dia yang paling tua di antara keduanya, jadi mungkin itu sebabnya Sekar lebih banyak berpikir. “Tidak bisa Hanin. Inga tapa katanya Nyonya Goni?”

Hanin menggaruk kepala menggeleng. Dia lupa. Hanin sering tidak fokus, terutama urusan pelajaran. Tapi kalau menyanyi dia paling suka dan cepat hafal liriknya.

“Persediaan bahan-bahan mereka juga sisa sedikit. Mereka bahkan menanti barang pertukaran yang akan dibawa Pak Niaga nantinya," jawab Sekar yang disambut anggukan Hanin dan Lian. “Terutama gula.”

Kepala Lian miring ke kiri dan kanan seakan berpikir begitu lama. Lalu dia berteriak. "Tunggu! Kalian bilang mentega?” tanyanya. Lalu Sekar dan Hanin mengangguk. “Desa kami juga terkenal sebagai penghasil mentega," ucap Lian.

"Benarkah?" Sekar meloncat gembira.

"Hanya saja yang bisa membuat mentega hanya, Paman Chai. Dan dia terkenal pelit. Dia tidak akan memberikan secara cuma-cuma." Lian menghela nafas kesal.

"Kalian tidak bisa membuatnya?" tanya Hanin tak percaya.

"Tidak. Paman Chai menyembunyikan semua resep rahasianya rapat-rapat. Bahkan tempat pembuatannya juga begitu tertutup. Dia mendapatkan begitu banyak barang dari pertukaran mentega," ucap Lian.

“Tapi kami butuh mentega,” ucap Hanin.

"Hmm. Bagaimana kalau...." Sekar membisikkan ide kepada mereka.

 

Mereka bertiga merangkak perlahan mendekati gudang tua milik Paman Chai. Mencari lubang kecil yang dapat digunakan untuk mengintip. Tapi semua tertutup rapat. Bata-bata dinding berdiri kokoh terasa sangat dingin. Begitu banyak pohon-pohon tinggi begitu banyak, cahaya di rumahnya redup, gorden-goreden tebal berwarna gelap serta pagar-pagar tinggi mengelilingi rumah Paman Chai, itu membuat ketiganya sedikit takut. Bahkan sepertinya tidak ada yang terlihat tinggal di rumah sunyi senyap dengan pintu dan jendela tertutup rapat.

Lian tahu sebuah lubang kecil di bagian belakang dekat pohon besar di anatara pagar tinggi rumah Paman Chai. Mereka menyelinap masuk, berjalan perlahan mendekati rumah besar tersebut. Rumah itu bahkan lebih besar dan luas daripada rumah milik orangtua Lian.

"Tidak terlihat apapun," ucap Hanin sambil berdiri di pundak Sekar dan Lian.

"Cobalah menggoyang jendelanya sedikit," usul Lian.

"Tidak bisa," balas Hanin. “Terkunci rapat.”

Ketiganya duduk kelelahan di salah satu pohon. Melihat secara seksama pada rumah dan gudang di depan mereka.

"Ibumu tidak memiliki mentega?" tanya Sekar.

"Tidak. Ibu tidak suka menukar begitu banyak susu hanya untuk mentega," ucap Lian, "sesungguhnya aku tidak tahu bagaimana rasa mentega itu."

"Kamu tidak pernah makan mentega." Sekar kaget.

"Apakah enak?" Lian bertanya dengan penasaran.

"Gurih. Lembut. Jika dioleskan pada roti sangat lezat. Untuk membuat nasi goreng juga enak." Sekar membayangkan nasi goreng dengan telur mata sapi buatan Bundanya Hanin untuk sarapan. Atau saat Mamah membuat kue kering, aroma mentega akan memenuhi seisi rungan. Sangat lezat dan gurih.

 

"Bagaimana kalau kita ambil sedikit," usul Hanin.

"Jangan, itu mencuri namanya. Nggak boleh," sahut Sekar.

"Kita hanya meminjam. Nanti kalau ada, kita kembalikan." Hanin nyengir lebar.

"Kapan?" tanya Sekar.

"Kapan-kapan," jawab Hanin masih dengan senyumnya.

“Tapi Paman Chai memang sulit, dia pasti tidak akan memberi walau kita memohon.” Lian ingat bagaimana tetangga mereka begitu kesal karena tidak berhasil meminta sedikit mentega. “Kita pinjam sedikit saja.” Lian ikut membujuk Sekar.

“Atau kita bayar,” ucap Sekar.

“Dengan apa?” tanya Hanin.

“Ini!” Sekar menunjukkan selembar uang dua puluh ribu. Hanin menggeleng. Dia tidak mau uang dari Utet ditukar dengan mentega. “Tapi Hanin, kita tidak boleh mencuri. Dan lagi, nanti saat kita jelaskan ke Utet, dia pasti mengerti.” Akhirnya Hanin setuju.

Ketiganya mengetuk pintu rumah Paman Chai tapi orangtua itu tidak keluar. Ketiganya terus mengetuk dan berteriak kian kencang, takut kalau suara mereka tidak kedengaran. “Pergi! Jangan berisik!”

Sepertinya cara pertama tidak berhasil. Sekar dan Hanin kehausan setelah berteriak begitu kencang. Lian sibuk berpikir. Dia memikirkan rencana untuk membantu kedua sahabatnya. Dia lalu meminta kedua teman barunya untuk merapat. Lian berbisik. Ketiganya mengangguk.

Lian membuat keributan di depan ruman Paman Chai. Dia berteriak dan bernyanyi begitu nyaring. Memanjat pohon apel lalu memetik satu persatu buah yang mulai merah kemudian berpura-pura tidak sengaja menjatuhkan pada pot-pot tanaman bonsai.

Sekar melihat ada gerakan mengintip dari gorden samping. Berhasil. Paman Chai melihat mereka. “Teruskan!” ucap Sekar. Lian kembali berteriak dan bernyanyi. Dia mengunyah apel lalu lanjut bernyanyi.

Lihat selengkapnya