14. Desa Telur
Mereka berdiri di depan gerbang Desa Telur. Para penduduk tampak tidak menyapa mereka sedikit pun. Berbeda dengan penduduk negeri-negeri lain yang menerima mereka dengan ramah, penduduk Desa Telur tampak tidak ingin mereka mendekat.
Penduduk Desa Telur bertubuh tinggi besar. Mereka lebih tinggi daripada Sekar, Hanin dan Markisa, bahkan Tante Nana. Selain itu para penduduk Desa Telur kebanyakan bermuka masam. Mereka terus menutup mulut, tak berbicara satu sama lain. Mereka hanya sibuk mengurus ungags-unggas peliharaan mereka. Dari ayam, bebek, angsa dan itik.
"Kita kurang bahan apa saja?” tanya Hanin.
“Gula dan telur!” sahut Sekar.
“Sulit sekali mendapatkan telur dari mereka,” tambah Markisa.
“Benarkah?” tanya Hanin. “Kenapa?”
“Tante Nana juga kurang tahu, tapi mereka bahkan tidak mau membuka pintu rumah sama sekali.” Tante Nana melihat dari kejauhan. Keempatnya duduk di stasiun kereta sambil menyusun rencana.
“Bagaimana kalau kita bawa kabur saja ayam-ayamnya. Lalu kita pelihara di Negeri Gula, biar bisa bertelur banyaaaak. Jadinya kita nggak bakal kekurangan telur lagi!” usul Hanin.
“Hanin, kan Mbak Sekar sudah bilang mengambil tanpa ijin itu tidak boleh.” Sekar melotot pada Hanin yang terkekeh.
“Habisnya mereka sombong banget sih,” ucap Hanin.
“Ingat kata Utet, kita tidak boleh mencuri. Dan jika ada yang berbuat jahat kepada kita, kita tetap tidak boleh membalas dengan berbuat hal yang jahat juga.” Sekar mengingatkan semua yang pernah Utet ajarkan kepada mereka.
“Betul itu Hanin, kata-kata Mbak Sekar dan Utet-mu.” Tante Nana menambahkan. “Kita akan mencari cara lain agar mereka mau memberi kita telur ayam barang sebutit atau dua butir. Sayangnya kita tidak memiliki apapun untuk ditukarkan kecuali janji, bila Negeri Gula kembali ke sedia kala, kita akan mengirimkan mereka gula-gula untuk membalas kebaikan mereka.” Tante Nana kembali merenung, mencari cara.
“Lalu kita harus bagaimana?” gerutu Hanin tidak sabar. Dia melihat ayam-ayam kecil berkeliaran dengan bebas. Dan pasti akan mudah menangkap satu atau dua dimasukkan dalam tas bambu miliknya. Tapi benar juga, Utet selalu bilang mencuri itu tidak baik, meskipun terpaksa. Lebih baik hanya memiliki sedikit barang daripada hidup mewah dari hal yang tidak baik.
“Mungkin kita bisa memerhatikan dulu apa yang mereka lakukan. Sambil mencari celah bagaimana cara mengambil hati mereka,” ucap Tante Nana.
“Ih Tante!” teriak Hanin. “katanya ndak boleh ambil ayamnya. Tapi Tante mau ambil hati….” Mata Hanin melotot kaget.
Sementara Sekar, Markisa dan Tante Nana tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Hanin. Sepertinya Hanin tidak mengerti apa maksud perkataan Tante Nana.
“Mengambil hati itu maksudnya, membuat mereka senang, gitu lho.” Sekar menjelaskan.
“Oooo,” sahut Hanin sambil mengangguk-angguk.
Tiba-tiba mereka mendengar suara riuh. Terdengar suara tangisan bayi dari berbagai tempat. Sekar, Hanin, Tante Nana dan Markisa terkejut, mereka mencari sumber kegaduhan. Suara itu berasal dari beberapa rumah. Baru mereka sadari, hari telah berganti. Dari siang menjadi sore hari.
Sebuah jendela terbuka. Tampak seorang ibu sedang mencoba menenangkan bayinya. Dia menepuk, mengelus dan mengendong si bayi tapi tetap saja tidak ada hasil. Suara tangis semakin nyaring. Sekar dan Hanin melihat ke rumah yang lain, hasilnya sama. Tante Nana menyadari kedua orangtua bayi mulai gelisah dan bingung. Bahkan ada ibu si bayi yang ikut menangis karena bingung. Wajah para orangtua tampak begitu lelah. Mereka sangat bingung. Berbagai cara dilakukan. Bapak yang menghardik Tante Nana dan Markisa tadi bahkan mencoba bermain ‘cilukbak’ dengan anaknya, tapi tak berhasil. Ternyata bapak itu bisa tersenyum meski hanya sebentar yang kemudian berganti menjadi wajah murung lagi.
“Bagaimana ini, Pak?” tanya si ibu yang menggendong bayi.
“Aku juga bingung, Bu.”