Air Mancur Negeri Gula

catzlinktristan
Chapter #16

16. Pendar Kerlip-Kerlip

 

16.     Pendar Kerlip-Kerlip

 

Tante Nana dan Markisa berdiri dengan bingung. Mereka kehilangan Hanin dan Sekar. Apa yang harus mereka lakukan? Keduanya memandang hutan gelap yang terasa menakutkan.

“Ma?” panggil Markisa.

“Ayo kita cari mereka,” ucap Tante Nana.

“Ma, mereka tidak akan hilang kan?” Markisa cemas.

Tante Nana mengelus rambut putrinya, “Kita pasti akan menemukan mereka.”

Tante Nana dan Markisa terus berjalan, mereka sesekali berteriak memanggil Sekar dan Hanin. Berusaha untuk menemukan kedua gadis kecil tersebut.

 

Sementara itu jauh di dalam hutan Sekar berlari masuk ke setiap sisi, mengelilingi dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan Hanin. Sinar dari senter, satu-satunya sumber penerangannya mulai meredup. Tapi dia tidak berhenti sedikit pun. Kakinya sudah lelah, keringat membasahi dahi meski malam terasa begitu dingin. Tapak kakinya mulai sakit begitu pula lututnya yang beberapa kali terluka saat terjatuh atau tergelincir di jalanan gelap. Hingga akhirnya cahaya itu hilang.

Sekar memukulkan senter pada telapak tangan, tapi tetap tidak menyala. Dia membuka dan mengetukkan baterai senter pada batu, lalu mencoba memasang kembali. Sia-sia. Apa yang harus dilakukannya? Sekar memutuskan untuk terus berjalan. Jika dia merasa ketakutan dalam kegelapan, bisa jadi Hanin akan lebih takut lagi.

Jadi perlahan Sekar mulai meraba-raba, berjalan mengandalkan cahaya bulan yang masuk dari sela-sela rimbunnya dedaunan. Tapi, cahaya tidak cukup untuk menerangi jalan. Sekar kembali tergelincir pada akar pohon besar yang berlumut. Lututnya kembali menghantam tanah dan lecet. Sekar terduduk, dia akhirnya menangis.

“Hanin, Hanin maafkan Mbak Sekar.” Tangisnya terus mengalir, di sela isak yang kian keras terdengar. “Hanin, kamu di mana? Haniiiiin!” teriaknya putus asa.

Tiba-tiba ada cahaya-cahaya kecil mendekati Sekar. Terbang dan berputar di sekelilingnya. Sekar awalnya tak menyadari hingga titik cahaya tersebut berada tepat di depan matanya. “Apa ini?” Sekar kaget. Lalu dia menyadari pijar-pijar kecil itu adalah, “Kunang-Kunang!”

Seekor kunang-kunang mendekat lalu mengulurkan tangannya menyentuh air mata Sekar yang menetes jatuh. Sekar menengadahkan telapak tangannya, beberapa kunang-kunang terbang di atas telapak tangan tersebut. Mereka seakan mencoba menghibur kesedihan Sekar.

“Kunang-kunang, apakah kalian melihat adikku, Hanin?” tanya Sekar, berharap akan ada keajaiban. Kunang-kunang memiringkan antena mereka lalu menggeleng. “Dia setinggi ini, rambutnya bulat sebahu, matanya besar cantik dan dia suaranya sangat merdu.” Kunang-kunang kembali menggeleng. “Maukah kalian membantuku mencari adikku?” Sekar memohon. Akhirnya kunang-kunang itu mengangguk.

Sekar berjalan diiringi kunang-kunang. Dia kini dapat melihat jelas keadaan di sekitarnya. Cahaya ratusan kunang-kunang membuat suasana menjadi terang benderang. Sekar merasa lebih tenang, dia berharap dengan bantuan kunang-kunang akan dapat segera menemukan Hanin.

“Hanin! Hanin!!!” teriaknya.

Ada suara gemerisik. Semakin lama semakin kuat terdengar. Sekar waspada, bersembunyi di balik pohon. Dia melihat seekor monyet melompat. Monyet! Bukankah tadi seekor monyet juga yang mengambil kotak tepung! “Kurasa monyet itu tahu di mana Hanin,” ucap Sekar pada kunang-kunang. Mereka lalu mengikuti monyet tersebut. Hingga akhirnya berada di sebuah tempat seperti tempat tinggal atau desanya para monyet. Di sana dilihatnya Hanin sedang berlari mengejar monyet-monyet kecil yang melempar kotak tepung menggodanya.

“Hanin!” teriak Sekar gembira. “Haniiin!” Sekar menghambur lalu memeluk adiknya. Ketika menyadari, Hanin melompat bahagia. “Mbak Sekaaar!” Hanin dan Sekar berpelukan sambil melompat senang. Mereka menangis sambil tertawa. “Mbak Sekar maafkan Hanin,” ucap Hanin.

“Tidak, seharusnya Mbak yang minta maaf.” Sekar memeluk erat Hanin.

Lihat selengkapnya