Air Mancur Negeri Gula

catzlinktristan
Chapter #17

17. Tangga Tinggi Menuju Langit

 

17.     Tangga Tinggi Menuju Langit

 

Kunang-kunang berhenti pada satu titik. Mereka membuka jalan. Sekar dan Hanin, melihat sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Begitu banyak tangga-tangga tinggi diletakkan di dekat pohon. Tangga-tangga tinggi itu seakan menjulang hingga ke langit. “Wow!”

Apakah ini berarti Sang Petapa tinggalnya tinggi di atas langit? Jika tidak, untuk apa tangga-tangga tinggi tersebut?

“Mbak Sekar tangganya tinggi!”

“Iya, keren!” ucap Sekar.

“Petapanya tinggal di atas pohon tinggi?” tanya Hanin bingung. Pohon di depannya mirip pohon kelapa, tapi ini jauh lebih tinggi dan besar.

“Tidak tahu,” jawab Sekar sama bingungnya. Mereka berdua tidak akan berani memanjat naik tangga hingga begitu tinggi. Sangat menakutkan!

Keduanya kembali melangkah. Para Kunang-kunang masih mengikuti dari belakang. Untunglah, bila tidak, pastinya akan sangat gelap gulita. Mereka menemukan sebuah pondok kecil. Sekar berbisik pada Hanin. “Apa di sana Sang Petapa tinggal?”

“Semoga saja,” ucap Hanin, “aku nggak bisa e Mbak kalau disuruh manjat naik pohon setinggi itu.” Mata Hanin membulat sambil menggelengkan kepala. “Lah kalau nanti jatuh bagaimana.”

Sekar tersenyum, lalu ikut mengangguk. “Mbak juga nggak berani.”

Pintu terbuka, seorang kakek bertubuh kurus dengan baju berwaran biru dan celana abu-abu, di bahunya tersampir sarung bercorak batik keluar.

“Masuklah, sudah sangat larut.” Dia mempersilakan masuk tanpa banyak bertanya. Kunang-kunang berkumpul pada pohon rindang besar di halaman rumahnya, beristirahat.

“Ha?” Sekar dan Hanin bertukar pandang. Bagaimana bisa kakek itu langsung mengetahui kedatangan mereka. Keduanya tidak berpikir bahwa membawa segerombolan kunang-kunang tentu saja akan menjadi petunjuk besar.

“Ayo masuk dulu, anak-anak.” Kembali Kakek Petapa mempersilakan mereka.

“Terima kasih!” ucap Sekar dan Hanin bersamaan.

“Apakah kalian sudah makan?” tanya Sang Petapa. Sekar mengangguk kecuali Hanin yang sangat kelaparan. “Ah, tidak perlu sungkan. Akan kuhidangkan sedikit makanan. Sepertinya tadi masih ada sedikit tersisa.”

Sang Petapa membuka tudung dari anyaman lidi, piringnya terbuat dari anyaman daun. Di dalamnya terdapat potongan ubi. Kemudian dibawahnya sebuah mangkuk berisi cairan cokelat, aromanya khas. Sekar seakan pernah menghidu aroma ini. Ada rasa manis yang samar menggelitik penciuman, dengan wangi yang tiada dua. “Ini seperti aroma kolak yang dimasak Utet!” teriaknya.

Hanin melonjak dan mengangguk setuju, “Benar!”

“Ini gula aren!” Mereka kompak melompat gembira. “Ini enaaak!”

Tangan kecil mereka mengambil ubi lalu dicocolkan pada cairan gula aren. Cairan cokelat kemerahan gelap ini sangat enak. Begitu creamy dan manis.

“Seperti kalian sudah pernah mencoba gula aren.” Sang Pendeta tersenyum. Jarang ada yang mau menikmati lezatnya gula berwarna keruh ini. Mereka lebih suka gula bening seperti kristal. Gula-gula yang ada di sini tidak pernah disentuh atau dicari orang-orang.

“Tentu saja,” ucap Hanin dengan mulut berlepotan cairan gula aren. Sekar dengan telaten membersihkan dengan kain. “Ini enak! Utet sering membuat kue dengan ini.”

“Iya, kolak, cucur...,” ucap Sekar.

Lihat selengkapnya