Pagi itu, kesejukan dan hembusan angin menyambut datangnya cahaya matahari di kota Istanbul, memeluk langit dengan lembutnya awan mendung. Suasana mencekam dingin memaksa penduduknya untuk membungkus diri dalam lapisan-lapisan pakaian hangat, termasuk Ceyda yang tampil menawan dengan jaket trench coat saat bersiap-siap untuk kuliah pagi. Seusai melaksanakan salat subuh, dia memanjakan dirinya dengan sarapan di unit tempat tinggalnya.
Unit Ceyda, meskipun sederhana, namun menampilkan kehangatan dan kebersihan yang memikat. Setiap elemen – mulai dari satu kamar tidur, satu kamar mandi, hingga ruang tamu dan dapur yang menyatu dengan ruang makan – memberikan keseimbangan fungsional dan estetika yang memukau. Seakan mencerminkan kepribadian Ceyda, ruang tamu yang minim perabotan justru memancarkan kenyamanan lewat bantal-bantal dan karpet pilihan dengan hati-hati.
Ketika melangkah masuk ke ruang tamu, mata Ceyda langsung terperangkap oleh rak-rak kecil yang dihiasi oleh buku-buku berwarna-warni. Koleksi novel berbahasa Inggris, buku biografi tokoh dunia, karya-karya pendidikan, dan buku keagamaan tersusun rapi, menciptakan atmosfer yang cocok untuk ketenangan dan refleksi. Cahaya alami yang masuk melalui jendela semakin memperkaya suasana, menimbulkan kontras memikat antara halaman-halaman buku dan bayangan lembut yang tercipta.
Namun, Ceyda bukan hanya seorang pecinta buku. Dia juga menguasai seni masak kecil-kecilan. Dapur kecilnya menjadi panggung di mana aroma rempah-rempah bergabung dengan kegembiraan saat Ceyda menyajikan hidangan favoritnya. Kebersihan dan kerapian bukan hanya slogan, melainkan kunci dalam tempat tinggalnya, mengingatkan pada ajaran keluarganya tentang pentingnya menjaga lingkungan sejak kecil.
Rutinitas harian Ceyda mencakup ritual membersihkan dan merapikan tempat tinggalnya, memastikan bahwa nilai-nilai kebersihan diwariskan dan dijaga. Pengelolaan sampah menjadi contoh nyata, di mana Ceyda dengan penuh kesadaran membawa sampah dapur ke tempat yang telah ditentukan di luar apartemennya.
Berada di balik pintu nomor 52, Ceyda mendiami lantai lima apartemen yang terdiri dari empat unit. Seiring dengan tetangga sebelahnya, dua mahasiswa dan seorang ekspatriat, lantai itu menjadi medan interaksi kecil yang terjalin di antara lorong sempit dan pintu-pintu yang saling berhadapan. Tangga yang menghubungkan lantai-lantai, tanpa kehadiran lift, menjadi saksi bisu setiap langkah yang diambil oleh para penghuni apartemen ini.
Ketika Ceyda melangkah keluar dari pintu unitnya, kebetulan bertemu dengan Rangga, tetangganya dari unit nomor 51. Mata keduanya bertemu, dan Ceyda tidak dapat menyembunyikan keterpesonaannya melihat penampilan rapi Rangga. Jaket denim yang menutupi kemeja lengan panjang dengan potongan slim fit dan motif garis-garis halus memberikan kesan profesional, sementara celana formal berpotongan slim fit menampilkan kecerdasan dan sentuhan modernitas. Sepatu loafer berwarna coklat melengkapi penampilan yang seolah sudah akrab dengan nuansa bisnis.
Rangga menyambut Ceyda dengan sapaan ramah dalam bahasa Inggris yang mengalir begitu halus.
"Selamat pagi, Ceyda. Sempurna sekali kita bertemu di sini," ucapnya, suaranya menghiasi keheningan pagi seperti serenade yang lembut.
Ceyda, yang terlihat sedikit gugup, membalas sapaan dengan penuh kerendahan hati, "Good morning."[1]
Namun, kebingungan mencuat di matanya. Kenapa dia merasa gugup begitu saja?
Rangga, yang tahu bahwa Ceyda mahasiswa di Universitas Bogazici dari perkenalan semalam, tak bisa menahan rasa ingin tahu, "Ada kuliah pagi ini?" suaranya selaras dengan dentingan angin sejuk yang menyapu lorong apartemen mereka.
"Iya, dan sepertinya kamu mau berangkat kerja?" Ceyda menjawab, meresapi pertanyaan Rangga. Dia juga tahu bahwa Rangga tinggal di Istanbul karena pekerjaannya. Namun, ketika Ceyda mengetahui bahwa Rangga bekerja di Grup Demirtas, perusahaan multinasional terkemuka di Turki di bidang pariwisata dan perhotelan, terbawa oleh arus rasa kagum yang tak terbendung.
Grup Demirtas, dengan reputasinya yang bersinar di panggung dunia pariwisata dan perhotelan di Turki, memberikan bayangan kemegahan yang meliputi pikiran Ceyda. Perusahaan ini tidak hanya terkenal profesional, tetapi juga telah mengukir prestasi luar biasa di tingkat nasional dan internasional, menjelma sebagai duta budaya Turki melalui bisnis pariwisata dan perhotelan mereka.
Rangga Pratama, seorang pria berusia tiga puluh tahun yang memancarkan wawasan luas, berhasil merebut tawaran pekerjaan sebagai Spesialis Pemasaran Digital di Grup Demirtas. Pengalaman yang ia raih melalui platform sosial media khusus pencarian pekerjaan membuka pintu baru bagi kemajuan karirnya. Sebuah pesan langsung dari kepala sumber daya manusia menjadi tonggak awal perjalanan Rangga menuju puncak kesuksesan.
Gembira dengan peluang pertamanya bekerja di luar negeri, Rangga, meskipun belum mahir berbahasa Turki, tumbuh penuh optimisme untuk mengatasi rintangan tersebut melalui kursus dan interaksi dengan masyarakat lokal yang ramah.
Bersama-sama, Rangga dan Ceyda melangkah turun ke lantai bawah. Di halaman Apartemen Ipek, Ceyda dengan mahir membuka kunci sepeda yang terparkir dengan anggun di sana.
"Do you usually ride a bicycle to campus?"[2] tanya Rangga, sorot mata penuh keingintahuan menyinari wajahnya.
"Iya, sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Aku suka naik sepeda, sangat menyehatkan!" jawab Ceyda, senyuman menyebar di bibirnya. aat Rangga bertanya tentang bagaimana beradaptasi dengan budaya Turki, Ceyda dengan antusias menawarkan bantuan dan wawasan. Di bawah sinar matahari yang semakin terang, mereka berdua terlibat dalam percakapan tentang rute menuju kantor, kebijakan transportasi umum, dan cara terbaik untuk meresapi kehidupan yang bersemangat di Istanbul.
Selama perjalanan menuju Stasiun Universitas Bogazici, Rangga dan Ceyda terlibat dalam percakapan yang hangat dan penuh keakraban. Bahasa Inggris menjadi alat komunikasi yang lembut di antara mereka, seperti aliran sungai yang mengalir tanpa hambatan. Rangga, dengan semangat yang memancar, meminta informasi tentang Turki, dan Ceyda, dengan senyum di wajahnya, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan penuh pengetahuan. Sebaliknya, Ceyda juga menunjukkan minat yang tulus terhadap Indonesia, menciptakan ikatan kecil di antara dua budaya yang berbeda.
Dari percakapan mereka, Ceyda mengetahui sejauh mana kantor Rangga membantu menemukan Apartemen Ipek. Keputusan tersebut tidak hanya terkait dengan kenyamanan dan harga terjangkau, melainkan juga langkah cerdas untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi karyawan yang baru saja tiba di Istanbul. Rangga, dengan tulus, menceritakan proses pemilihan tempat tinggalnya dan bagaimana kantor membantu dengan pembayaran uang muka serta deposit, sementara sisanya menjadi tanggung jawab pribadinya.
Seiring dengan pergantian pemandangan kota Istanbul, langkah Rangga dan Ceyda membawa mereka ke Stasiun Universitas Bogazici. Di seberang stasiun, kemegahan Masjid Nafi Baba dan kompleks Kampus Utara Universitas Bogazici menciptakan latar belakang yang memukau. Sinar matahari pagi yang temaram menyoroti detail arsitektur klasik masjid dan gedung-gedung universitas, mengeluarkan aura sejarah yang memikat.
Langkah mereka melalui halaman stasiun yang hidup dengan kegiatan. Anjungan tunai mandiri tersusun rapi di samping deretan kafe yang menjanjikan aroma kopi segar. Rambu-rambu dan papan penunjuk arah menghiasi sekitar, memberikan petunjuk yang akurat menuju Stasiun Metro dan Stasiun Kereta Funicular Universitas Bogazici. Mesin kereta funicular yang menghadap berbatasan dengan kereta metro menciptakan gambaran tentang kompleksitas sistem transportasi kota ini..
Ceyda, dengan keahlian yang terasah, memberikan petunjuk kepada Rangga tentang cara menggunakan IstanbulKart. Suara berirama mesin tiket dan percikan warna-warna kartu prabayar menciptakan harmoni di stasiun. Rangga, dengan ekspresi terima kasih di wajahnya, menyimpan kartu IstanbulKart di saku kemejanya, siap melangkah ke dalam dunia transportasi umum yang hidup dan berdenyut di Istanbul.
Terima kasih itu terucap dari bibir Rangga kepada Ceyda, sementara senyum bahagia melukiskan kepuasan di wajah Ceyda. Dia merasa senang bisa memberikan bantuan pada teman barunya. Pada saat itu, mereka berdua berpisah di stasiun, dengan Rangga melangkah dengan percaya diri menuju kantornya yang baru, dan Ceyda dengan langkah mantap menuju kampus untuk mengikuti kuliah.
Namun, tengah hari membawa perubahan suasana. Langit Istanbul yang sebelumnya cerah kini ditutupi oleh awan mendung yang membenamkan kota dalam keadaan teduh. Angin bertiup kencang, membawa aroma dingin yang menambah kesan mendalam pada suasana. Di tengah perubahan cuaca ini, Ceyda bertemu dengan Zeynep, dan bersama-sama, mereka melangkah menuju kafe kampus yang menjadi oase damai di tengah hiruk-pikuk kampus.
Kafe tersebut memancarkan pesona dengan meja-meja kayu kokoh dan dekorasi yang sederhana namun menawan. Tempat ini menciptakan suasana nyaman untuk berbincang. Pilihan menu kumpir[3] dan sandwich tantuni[4] dihidangkan dengan apik, diiringi oleh dua gelas teh Turki yang memikat selera. Setiap suapan dan gigitan terasa begitu nikmat, dan ekspresi wajah mereka menceritakan kelezatan yang melimpah.
Tiba-tiba, atmosfer berubah ketika Zeynep mengubah topik pembicaraan dengan sorot mata nakal. Ceyda hampir tersedak teh saat mendengar perkataan Zeynep. Ekspresi kaget dan sedikit gugup melukiskan wajah Ceyda.
“Bugün sabah seni bir erkekle görürken gördüm, seninle!”[5] ungkap Zeynep dengan senyum misterius di bibirnya.
Ceyda terkejut, “Cowok yang mana?”
“Kamu lagi menuntun sepeda, berbicara dengan seorang cowok menuju stasiun. Apa yang kamu lakukan dengan cowok itu ke stasiun?” Zeynep bertanya dengan nada misterius yang memperumit keadaan.
Ceyda teringat perjalanannya tadi pagi bersama Rangga, memori tersebut terbayang dengan jelas di benaknya saat ini.