"Tümüyle sinirli!”[1]
Ceyda, dengan intonasi suara yang mencerminkan kekecewaannya, terdengar seperti riak ombak emosi yang menyapu hatinya. Sorot matanya mencerminkan frustrasi yang mendalam. Zeynep, duduk di sampingnya, menyeruput kopi hangat dengan penuh kehati-hatian. Kedua gadis ini, setelah pulang dari kuliah, memutuskan untuk singgah sejenak di apartemen Ceyda. Niatnya jelas: melepaskan kekecewaan atas peristiwa yang menyelimuti Ceyda di perpustakaan tadi siang.
Ruang tamu di dalam unit tempat tinggal Ceyda itu terasa hangat dan penuh aroma kopi khas Turki yang menguar di udara. Sebuah sentuhan ornamen khas Turki pada karpet di bawah Ceyda dan Zeynep menambah kelembutan suasana di ruang tamu yang penuh bantal empuk. Mesin pemanas di pojok ruangan telah dihidupkan, memberikan kehangatan menyambut mereka di tengah udara yang semakin dingin menjelang malam. Langit di luar jendela perlahan berganti warna menjadi semakin gelap, memperlihatkan tanda-tanda gerimis yang siap turun.
Setelah membiarkan emosinya meluap, Ceyda mengucap istigfar sambil Zeynep mengusap lembut punggungnya. Kekecewaan Ceyda terhadap peristiwa di perpustakaan tampak begitu terwakili dalam ekspresi wajahnya. Zeynep, sambil menyimak, tidak bisa tidak merasakan getaran emosional yang menyelimuti temannya itu. Sebagai seorang yang selalu berada di pusat perhatian, Ceyda sering kali diingatkan oleh Zeynep tentang kepopulerannya di kampus, terutama karena kecantikannya yang memukau. Pria-pria seringkali memburunya, bahkan sampai pada titik menyatakan perasaan mereka, walaupun seringkali harus menerima penolakan tegas dari Ceyda.
Pada dasarnya, kepopuleran Ceyda membuatnya merasa tidak nyaman. Ia tidak tertarik pada dunia pacaran yang kerap menjadi pusat perhatian. Kehidupan asmara yang rumit dan penuh drama seringkali terasa seperti beban berat baginya. Selain itu, nama Ceyda kerap disandingkan dengan Murat, seorang mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Bogazici. Murat, putra wali kota Istanbul bernama Emre Akman, merupakan pribadi yang tidak kalah populer dengan Ceyda. Tidak hanya putra wali kota, Murat juga adalah putra Beyza Akman, Rektor Universitas Bogazici. Murat, dengan penampilan tampan dan keahlian bermain basket, menjadi idola banyak perempuan di kampus, sering meraih kemenangan dalam kejuaraan nasional antar universitas bersama klub basket universitasnya.
Meskipun deretan wanita menaruh minat pada Murat, paradoksalnya, Murat justru memilih mendekati Ceyda. Dinamika ini telah merayap selama dua tahun terakhir, menciptakan intrik yang sulit dipahami. Kemungkinan besar, Murat merasa bahwa Ceyda setara dengan popularitasnya, membuatnya menganggap Ceyda layak menjadi pasangannya. Namun, di sisi lain, Ceyda merasakan kenyamanan yang sangat minim. Ia berulang kali menolak upaya Murat yang berusaha mengajaknya berkencan, meratapi kebingungan di balik seleksi yang tak diinginkannya.
Suasana ruangan gelap, dihiasi dengan lampu redup, menjadi saksi bisu ketidaknyamanan Ceyda. Dengan suara yang terdengar seperti keluh kesah yang terpendam, ia berucap, "Aku merasa terganggu, mengapa dia tiba-tiba mengajakku pergi ke pesta ulang tahun ibunya? Aku merasa tidak nyaman hanya dengan membayangkannya! Ya Allah, ampuni hamba karena marah-marah seperti ini!"
"Baiklah, perbanyak istigfar. Aku mengerti kalau kamu tidak mau. Coba kamu hindari saja Murat selama seminggu ini. Jangan sampai bertemu dengannya," saran Zeynep dengan lembut, menyiratkan pemahaman dan dukungan pada keputusan Ceyda.
"Walaupun aku berusaha menghindar, Murat pasti tidak akan berhenti membujukku untuk pergi bersamanya."
Zeynep merenung sejenak sebelum memberikan saran lanjutan, "Bagaimana kalau kamu mencoba membuat kegiatan lain yang bisa menyibukkan kamu? Jadi, Murat tidak akan mengganggumu."
Ceyda mengerutkan alisnya, berpikir keras. "Kegiatan apa, ya?" tanyanya seraya mencari ide di tengah kegelisahan
"Oh, iya! Bagaimana kalau akhir pekan kita jalan-jalan keliling Istanbul?" usul Zeynep, mencoba menghadirkan sesuatu yang menarik.
"Aku bosan, Zeynep. Kita sudah terlalu sering jalan-jalan keliling Istanbul. Rasanya aku sudah hafal seluk-beluk kota ini. Ada ide yang lain?” tanya Ceyda, mencari alternatif yang bisa membantu melupakan kisah rumitnya dengan Murat.
"Oh, iya! Bagaimana kalau akhir pekan ini kamu ajak tetangga barumu jalan-jalan keliling Istanbul? Pasti menyenangkan. Kamu bisa membantu dia beradaptasi dengan budaya Turki!" goda Zeynep, sambil mengedipkan mata dan tersenyum untuk menghibur Ceyda.
“Hm, mungkin ide itu tidak buruk. Tapi, apakah Rangga mau?" tanya Ceyda, memikirkan reaksi tetangganya yang baru saja mereka sebutkan. Suasana di ruangan itu terasa penuh dengan kekhawatiran dan antisipasi akan respons Rangga terhadap ajakan tersebut.
Zeynep melontarkan saran dengan kepercayaan diri yang memancar. "Ajak saja dulu! Jadi, kamu punya alasan kuat untuk menolak Murat. Apalagi, dia cowok. Kalau Murat melihat kamu jalan sama cowok lain, pasti dia akan menyerah!" nada percaya dirinya terasa menggema di dalam ruangan.
Ceyda merenung sejenak, mencerna saran dari Zeynep. "Kamu yakin?" tanyanya, mencari kepastian dalam setiap langkah yang akan diambilnya.
"Belum tahu sih, tapi coba saja!" goda Zeynep sambil tersenyum. Senyumannya seolah menjadi sumber keberanian bagi Ceyda untuk menjalankan rencana yang belum sepenuhnya jelas.
“Tapi aku belum tahu jam pulang kantor Rangga. Bahkan nomor ponselnya pun belum kutahu," keluh Ceyda, mengisyaratkan ketidakpastian yang menghantuinya.
“Makanya, cepat tanyakan! Siapa namanya tadi? Oh, iya, Rangga! Tunggu saja dia pulang. Kalian berdua bareng ke stasiun jam berapa tadi?" dorongan Zeynep terdengar jelas, menggambarkan urgensi dalam mengeksekusi rencana tersebut..
"Jam setengah delapan pagi. Dia harus mengejar kereta sebelum jam sembilan karena masuk kantor jam sembilan pagi," jawab Ceyda, menggambarkan ketelitian dalam mengingat detail-detail yang mungkin berpengaruh pada rencananya.
"Di Istanbul, standar jam kerja biasanya delapan jam per hari. Jadi, mungkin kalau dia masuk jam sembilan, bisa pulang jam enam sore," jelas Zeynep, memberikan gambaran konteks waktu yang mendukung rencana Ceyda.
Ceyda menoleh ke jam dinding di ruang tamu. Pukul lima sore. Hanya satu jam lagi, dan Rangga mungkin akan pulang.
"Lalu, aku harus bagaimana? Menunggu di depan pintu unitnya? Rasanya aneh kalau aku melakukannya. Dia pasti akan melihatku dengan aneh," ungkap Ceyda, mengekspresikan kekhawatiran dan kecemasan akan kemungkinan reaksi Rangga.
“Enggak begitu juga," tolak Zeynep dengan penuh keyakinan. "Mungkin tunggu sampai agak malam, mungkin setelah magrib atau isya. Baru kamu pencet bel unitnya.”
Ceyda mengangguk dengan tekad yang jelas, "Deneyeceğim."[2]
Azan isya berkumandang dengan merdu dari menara Masjid Nafi Baba, memecah keheningan senja. Waktu berjalan lambat, menunjukkan pukul 21.43. Rangga, yang baru saja menyelesaikan ritual wudu, bergegas menuju ruang salat untuk melaksanakan salat isya berjamaah. Sutera senja memperindah langit Turki, menciptakan lapisan warna yang hangat dan menyejukkan suasana seiring dengan langit yang mulai memudar ke gelap malam. Pekerjaannya hari ini membawa kesan positif bagi Rangga di kantornya. Penuh kesibukan, dia bahkan harus melaksanakan salat magrib di kantor karena pekerjaannya yang padat, menciptakan kisah unik dalam rutinitasnya.
Hari ini adalah pengalaman yang menggembirakan bagi Rangga di dunia kerja. Sebagai Spesialis Pemasaran Digital, tanggung jawabnya mencakup pengelolaan kampanye online, media sosial, dan strategi pemasaran daring untuk mendukung pemasaran digital dalam industri perhotelan yang dikelola oleh Grup Demirtas. Sentuhan teknologi dan kreativitas menyatu dalam tugasnya, memberikan warna pada lanskap perkantoran yang ia eksplorasi di Istanbul. Di samping tanggung jawab profesionalnya, Rangga juga menemukan dukungan dan sambutan positif dari rekan kerja dan atasan yang menjadikan atmosfer kantor semakin nyaman dan inklusif.
Saat Iqamat dikumandangkan di dalam masjid, Rangga melihat sekelilingnya dengan mata penuh perhatian. Meskipun tidak banyak jamaah yang berkumpul di dalam masjid ini, suasana tenang dan khidmat tetap terasa. Hal ini tidak membuatnya terkejut, mengingat pengalaman serupa yang pernah ia alami di Jakarta. Saat salat lima waktu, masjid jarang dipenuhi jamaah, kecuali pada saat salat Jumat yang menjadi momen kebersamaan umat Islam. Sebelum tiba di Turki, Rangga sudah mengetahui reputasi negara ini sebagai negara sekuler yang telah berdiri selama hampir seratus tahun, menggantikan sistem khilafah dengan sistem republik yang kental dengan nilai-nilai kemodernan dan kemajuan.
Sekularisme meresap begitu dalam kehidupan masyarakat Turki, menciptakan lanskap kota yang kaya akan kontras. Meskipun bagi sebagian besar penduduknya agama tampaknya tidak lagi menjadi pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari, namun Rangga dengan cermat menyadari adanya gejala kebangkitan Islam dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah gemerlap Istanbul yang modern, wanita-wanita mulai mengenakan hijab, kepedulian sosial terhadap umat Islam di seluruh dunia semakin meningkat, dan pemuda-pemuda Turki menunjukkan ketertarikan pada dakwah, bahkan mulai memberikan perhatian lebih kepada para hafiz Quran.