Air Mata Bidadari

Erdem Emre
Chapter #5

Di Puncak Menara Galata

Selama tiga hari berikutnya, senja melingkupi kota Istanbul dengan warna-warna jingga dan merah keemasan. Ceyda, dengan langkahnya yang ringan dan langit-langit yang mendung, merasa langkah-langkahnya selalu diikuti oleh bayangan tegar Murat. Setiap sudut jalan di kampus yang ditempuhnya, aroma rempah-rempah dari kafe kampus bercampur aduk dengan aroma kopi yang menggoda. Murat, dengan mata yang masih memancarkan keraguan, terus berusaha mengejarnya seperti bayangan yang melekat pada langkah Ceyda.

Hari Sabtu semakin mendekat, dan keinginan Murat agar Ceyda datang ke pesta ulang tahun ibunya semakin menggebu-gebu. Ceyda, dengan keputusan tegar, telah menolaknya dengan elegan. Namun, keraguan Murat tidak surut. Dia menuduh Ceyda terlibat dalam rencana tersembunyi dengan Zeynep, menciptakan alibi untuk menolaknya. Meskipun Ceyda telah menyampaikan penolakan tegas, tatapannya tetap penuh dengan ketidakpercayaan. Namun, Ceyda dengan anggun melangkah maju, menyeberangi jalan penuh dengan ornamen klasik Istanbul yang memikat hati.

Sementara itu, Ceyda dan Rangga semakin terikat erat. Dalam upayanya membantu Rangga menemukan tempat kursus bahasa Turki yang ideal, Ceyda merekomendasikan Istanbul Turkce Merkezi (“ITM”), sebuah lembaga kursus yang berlokasi di Jalan Beyazit Nomor 10, distrik Fatih, Istanbul. Bangunan bergaya arsitektur klasik dan nuansa historis menjadikan ITM sebagai tempat yang cocok untuk belajar bahasa dengan intensif. Kursus-kursus eksklusif untuk ekspatriat diselenggarakan dalam suasana pengajaran yang santai, fokus pada percakapan sehari-hari yang akan membantu Rangga menjadi lebih percaya diri dalam berkomunikasi dengan warga lokal.

Informasi detil mengenai biaya program ITM mengalir seperti air di atas kertas. Program ekspatriat selama empat minggu dihargai sebesar 1200 lira, sementara kursus percakapan dengan enam sesi memiliki biaya sekitar 600 lira. Biaya sertifikat, sebagai puncak dari perjalanan pembelajaran Rangga, ditetapkan sebesar 50 lira. Total biaya yang harus dikeluarkan mencapai 1850 lira. Rangga, dengan tulus bersyukur atas bantuan yang diberikan oleh Ceyda, merasa bahagia karena akan segera memulai perjalanan belajarnya. Suasana Istanbul yang sarat budaya semakin membentuk keyakinan dirinya, dan senyum bahagia tergambar di wajah Ceyda.

Namun, meski tiga hari telah berlalu, Ceyda masih enggan untuk meminta nomor ponsel Rangga. Sebuah rasa malu menghampirinya, dan keraguannya menghentikannya untuk membuat permintaan yang begitu sederhana. Ingatan akan tatapan aneh Rangga pada malam itu masih membayangi pikirannya, membuatnya ragu untuk menanyakan nomor ponselnya secara tiba-tiba. Ceyda merasa tidak enak dan khawatir Rangga akan menganggapnya aneh. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menunda permintaan tersebut, menunggu momen yang lebih tepat dalam perjalanan kehidupan mereka yang baru dimulai.

Matahari pagi di Istanbul memancarkan sinarnya yang hangat dan menyentuh setiap jengkal tanah dengan kehangatan. Hari Sabtu yang telah lama dinantikan pun tiba, membawa harapan dan kegembiraan bagi Ceyda dan Rangga. Dari jendela kamarnya, Ceyda melihat langit biru yang jernih tanpa satu awan pun. Seolah-olah alam sendiri ikut merayakan kebahagiaan mereka. Wajahnya berseri-seri, dan senyum di bibirnya seolah menjadi prakata untuk petualangan yang akan dimulai.

Ceyda memilih busana dengan penuh pertimbangan untuk hari spesial ini. Jilbab shawl ringan dengan motif bunga-bunga musim gugur melingkari kepalanya, memberikan sentuhan elegan pada penampilannya. Dress maxi berwarna terang dengan potongan longgar dan rok panjang bergaya A-line memberikan kesan girly dan kenyamanan saat berjalan-jalan. Sepatu espadrilles yang dipilihnya tidak hanya modis tetapi juga nyaman untuk menemani langkah-langkahnya menjelajahi kota yang penuh sejarah ini. Untuk melindungi diri dari hembusan udara yang cukup dingin, Ceyda menutupi bajunya dengan jaket parka yang memberikan sentuhan modern pada gayanya.

Sebelum keluar, Ceyda melihat dirinya dalam cermin dengan pandangan penuh tanda tanya. Apakah penampilannya cukup cantik? Apakah Rangga akan menyukainya? Pertanyaan-pertanyaan itu menghiasi pikirannya, namun kegembiraan dan antisipasi mengalahkan keraguan. Ponselnya berdering, mengganggu sedikit momen refleksi diri. Zeynep, teman setianya, menyampaikan harapannya melalui pesan, semoga Ceyda dan Rangga menghabiskan hari yang menyenangkan bersama. Meskipun Zeynep tidak akan turut serta, Ceyda dalam hatinya berharap suatu hari nanti bisa memperkenalkan Zeynep kepada Rangga, menggabungkan dua dunianya yang berbeda dalam satu momen kebahagiaan.

Bel yang menggema di dalam unit apartemen, menghentakkan keheningan ruangan. Dengan langkah hati-hati, Ceyda meraih tas kecilnya dan meletakkannya dengan anggun di pundaknya. Menyusuri ruangan unit yang tenang, langkahnya mengarah pada pintu depan. Rangga, dengan penuh antusiasme, menantinya di luar. Pintu itu membuka tirai bagi pertemuan kisah yang telah lama ditunggu.

Pakaian yang dikenakan Rangga menjadi simbol gaya yang tak terbantahkan. Sehelai kaos vintage melingkupi tubuhnya, diperpadukan dengan celana jeans slim fit yang memberikan kesan kasual dan bergaya. Celana itu, dicuci dengan efek washed, memberikan nuansa masa lalu yang tetap keren. Pada balutan kasualnya itu, ia menutupi tubuhnya dengan sweter chunky knit, berwarna hangat dengan motif klasik yang menciptakan kesan yang stylish.

Ceyda, dengan kepolosannya, menyuarakan permintaan maafnya, "Maaf, apakah kamu menunggu lama?”

Sorot mata Rangga yang memancarkan kekaguman melihat penampilan Ceyda membuat pipi perempuan itu bersemu merah. Komentar pujian dari Rangga tidak hanya menghangatkan suasana, tetapi juga menyulut percikan senang yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Pujian itu meluncur dari bibir Rangga, "Belum lama, kamu cantik sekali.”

Ceyda tersenyum, merasakan getaran kebahagiaan mengalir dalam dirinya. Sambutan positif yang membuatnya semakin nyaman di sekitar Rangga.

"Yuk, kita jalan!" seru Ceyda dengan hati yang meluap kegembiraan. Keduanya melangkah menuju ke pintu depan apartemen.

Ketika sampai di halaman depan, mereka mengucapkan salam perpisahan kepada Nyonya Ipek, namun kebingungan terukir di wajah mereka ketika merasakan deru mesin mobil sport Ferrari F8 Tributo berwarna merah yang menyala dengan gemilang. Mata orang-orang di pinggir jalan melirik dengan heran ketika mobil mewah itu berhenti di depan Apartemen Ipek. Nyonya Ipek, Ceyda, dan Rangga saling bertatapan, mencari jawaban atas kehadiran tak terduga ini.

Seorang lelaki muda yang tampil dengan gaya santai melangkah keluar dari mobil tersebut. Kacamata hitam melengkapi wajahnya yang penuh semangat. Polo shirt dengan motif garis-garis menambah sentuhan santai pada penampilannya. Celana kargo yang digunakan menunjukkan sisi kasual, sekaligus sepatu sneakers yang memberikan kesan aktif. Ceyda mengenali orang itu dengan cepat, dan ekspresinya beralih menjadi heran.

"Ceyda, aku datang menjemputmu!" ucap Murat dengan nada bersemangat, memberi salam kepada Nyonya Ipek dengan sopan. "Selamat pagi, Nyonya!" sambungnya dengan senyum ceria.

“Günaydın!”[1] balas Nyonya Ipek dengan senyuman yang ramah

Ceyda tak bisa menyembunyikan ketidaknyamanannya. Dengan nada tajam, dia bertanya, “Mau apa kamu datang ke sini?” Sorot mata mereka bertabrakan, dan di antara mereka, riak pertemuan yang tak terduga mulai menciptakan kegelisahan di udara.

“Kamu pasti sudah tahu apa maksudku datang ke sini,” ucap Murat, memancarkan senyum menggoda yang penuh keyakinan. Dia menghela napas panjang, menciptakan keheningan sejenak seolah menciptakan panggung eksklusif untuk pertukaran kata-kata berat.

Ceyda, tak mau kalah, langsung memberikan reaksi tajam. “Kamu benar-benar budek!” bentaknya, membakar udara dengan kekesalannya. “Aku sudah bilang tidak bisa. Aku sudah janji pergi hari ini!” Ekspresi marahnya dipertegas dengan pandangan tajam, seolah ingin menekankan keputusannya.

Namun, Murat tak tergoyahkan. “Hai, sudahlah, aku tahu kamu bohong. Kamu cuma ingin jalan-jalan dengan Zeynep. Apa aku tidak tahu tentang keseharian kalian? Kamu tidak bisa menipuku, Ceyda,” ujarnya dengan suara yang penuh keyakinan.

Ceyda, sebagai bentuk pertahanan, merapatkan dirinya ke samping Rangga. Pemuda itu terkejut, seolah mendapati dirinya terlibat dalam pertarungan tak terduga. “Aku pergi bersamanya hari ini!” tegas Ceyda, mengumumkan keputusannya dengan suara yang mantap.

Melihat Ceyda mendekat pada Rangga, Murat merasa kebingungan. Dia melepaskan kacamata hitamnya, “Siapa cowok ini? Bukan orang Turki, ya?”

Rangga, tanpa ragu, mengulurkan tangannya, “Hai, saya Rangga, dari Indonesia.” Sambutan hangat Rangga menciptakan suasana yang sedikit meredakan ketegangan.

Namun, Murat merespons uluran tangan Rangga dengan kecanggungan. “Indonesia? Apa maksudnya ini, Ceyda?” tanyanya, mencoba memahami situasi yang semakin kompleks.

Ceyda, dengan semangat yang tak tertahankan, menyuarakan keputusannya, “Aku pergi jalan dengan dia hari ini!” Suaranya, penuh dengan ketegasan, mencerminkan tekadnya.

Murat, tak bisa menerima kenyataan, mencoba meredakan situasi. “Tunggu, tunggu, kamu tidak bisa memutuskan begitu saja...” namun dia terputus oleh perkataan tegas Ceyda, “Aku sudah memutuskan!”

“Ceyda, kamu lebih memilih cowok asing ini dari negeri yang entah dari mana daripada aku?” desak Murat, kecewa dan merasa tersisih. “Siapa cowok ini?”

“Apa urusannya denganmu? Terserah aku mau jalan sama siapa saja. Kamu tidak berhak mengatur aku!” balas Ceyda dengan lantang, menegaskan haknya untuk membuat keputusan dalam hidupnya sendiri.

Rangga, dengan keinginannya untuk menengahi, melangkah maju untuk melindungi Ceyda. Dia memposisikan dirinya di belakang punggung Ceyda, memberikan kesan perlindungan. Dengan percaya diri, dia berbicara kepada Murat dalam bahasa Inggris, “Saya Rangga, tetangga baru Ceyda di apartemen ini. Saya baru pindah ke Istanbul satu pekan yang lalu. Saya tidak tahu apa masalah kalian, tetapi Ceyda sudah berjanji akan mengajak saya keliling Istanbul hari ini.”

Murat merespons dengan menghela napas keras, ekspresi wajahnya mencerminkan kebingungan dan ketidaksetujuan, “Begitu rupanya, tetangga? Baiklah, kuberitahu kamu, jangan macam-macam dengan Ceyda. Dia pacarku!” Ancaman yang diucapkan Murat menciptakan ketegangan di udara, seakan menggantungkan pertanyaan besar mengenai hubungan mereka.

Dada Ceyda berdesir saat mendengar pernyataan Murat. Pacar? Pikirannya berkecamuk, dan tangannya yang terkepal rapat menggambarkan ketidaksetujuannya. Dia merasa geram, seolah ingin menampar wajah Murat yang dengan seenaknya menyampaikan klaim seperti itu.

“Karar senin, umurumda değil. Seçimini yapmalısın, Ceyda. Beni mi, yoksa onu mu seçiyorsun?”[2] desak Murat kepada Ceyda dengan nada tegas, menciptakan momen ketidakpastian yang menggantung di udara. Tantangan yang terlontar seolah memaksa Ceyda untuk membuat pilihan sulit.

Ceyda, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, semakin merapatkan dirinya ke Rangga. Mata Ceyda yang membisu dan ekspresi wajahnya yang memerah adalah respon terhadap tekanan yang ia rasakan. Murat melihat itu sebagai jawaban yang jelas, dan dengan penuh kekecewaan, dia mengertakkan gigi, “Itu jawabanmu? Baiklah, aku tidak bisa memaksa. Kurasa malam ini aku harus pergi dengan Nesrin.” Percakapan itu membeku di udara, meninggalkan suasana yang sarat dengan ketidakpastian dan rasa kehilangan.

Ceyda tetap memilih untuk tidak menatap Murat. Hening melanda setelah langkahnya menjauh, dan Murat terperangah dalam kekecewaan yang mewarnai wajahnya. Dalam ketidakpastian dan kehampaan, langkah Murat menuju mobilnya terdengar seperti dentuman guntur yang bergema sepanjang Jalan Gul Sokak. Mesin mobil berdentum dengan kecepatan, seolah mencerminkan keretakan yang baru saja terjadi.

Saat keberangkatan Murat membawa suara bising mobil yang meredam langit pagi, Ceyda mengusap dadanya dengan tangan gemetar, dan melantunkan istigfar dengan lembut. Rangga, dengan kepekaan yang mendalam, memperhatikannya dengan penuh perhatian.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Rangga dengan suara lembut, menciptakan kehangatan di tengah ketidaknyamanan yang menyelimuti pagi itu.

Ceyda menggeleng, “Maaf, ya, suasana pagi ini menjadi tidak enak.”

“Tidak apa-apa, kita lanjutkan jalan?” tawar Rangga dengan senyuman lembut.

Ceyda mengangguk, dan langkah mereka melanjutkan perjalanan. Meski awal pagi diwarnai oleh insiden yang kurang menyenangkan, perjalanan mereka hari ini menjadi awal yang menghapus mendung di hati Ceyda. Dia dengan cepat kembali menemukan keceriaannya.

Mereka memulai pagi dengan mengunjungi Masjid Aya Sofia yang menjadi ikon bersejarah di jantung kota Istanbul. Sebuah monumen bersejarah yang memiliki perjalanan panjang, dari gereja di era Bizantium, menjadi masjid pada masa Khilafah Utsmaniyah, dan kemudian menjadi museum setelah pendirian Republik Turki. Beberapa tahun terakhir, masjid ini kembali memancarkan kehidupan sebagai tempat ibadah. Sejarah yang terpatri di dinding-dindingnya mengundang pengunjung untuk meresapi perjalanan waktu yang luar biasa.

Ceyda dengan penuh semangat menceritakan keindahan Masjid Aya Sofia, termasuk keempat menaranya yang menjulang tinggi, kuburan-kuburan kuno yang tersembunyi di bawah masjid, dan makam-makam Sultan Utsmaniyah yang terletak di depan masjid. Rangga, terkesima oleh keagungan dan sejarah yang terkandung di dalamnya, mengamati setiap detail dengan mata yang penuh kagum.

Ketika matahari mencapai titik puncaknya di langit, Ceyda dan Rangga melangkah ke Istana Topkapi, sebuah peninggalan megah yang menggambarkan kejayaan Sultan Utsmaniyah. Istana ini menjadi saksi bisu sejarah pemerintahan yang berpusat di sini. Seiring langkah mereka melintasi koridor yang dihiasi dengan mozaik-mozaik indah dan dinding-dinding berukir, Rangga terkagum-kagum dengan kekayaan seni dan artefak bersejarah yang terhampar di setiap sudut istana.

Setelah pengalaman yang memikat di Istana Topkapi, perjalanan mereka berlanjut menuju Grand Bazaar, sebuah pasar tradisional yang menjulang tinggi sebagai pusat perdagangan sejak masa Sultan Muhammad II Al Fatih. Pasar ini menjadi saksi bisu ramainya pertukaran budaya dan benda-benda berharga. Di antara hiruk-pikuk bazaar, Ceyda dengan ramah mendampingi Rangga dalam mencari suvenir khas Turki yang memikat hati.

Dari Grand Bazaar, perjalanan mereka mengarah ke sebuah oase ketenangan di tengah keramaian kota, yaitu Masjid Biru atau Masjid Sultan Ahmed. Walaupun Ceyda tidak melaksanakan salat zuhur karena berhalangan, Rangga menunaikan ibadahnya di masjid yang terkenal dengan keindahan interior keramik berwarna biru. Setelah salat, keduanya mengarah ke Sultanahmet Square untuk menjalani makan siang.

Grand Spice Bazaar Restaurant menjadi saksi lezatnya hidangan Timur Tengah dan Asia yang dikombinasikan dengan sentuhan kreatif. Rangga dengan mata bersinar menikmati setiap sajian, dan senyum kebahagiaan di wajahnya tidak luput dari perhatian Ceyda. Suasana harmonis tercipta di tengah nikmatnya kuliner.

Setelah makan siang yang memuaskan, mereka melanjutkan perjalanan ke Menara Galata, sebuah struktur megah yang menjadi saksi bisu perubahan zaman di Istanbul. Dari puncak menara, panorama luas kota Istanbul membentang seperti lukisan hidup. Sambil menghirup udara segar, Ceyda tiba-tiba memulai sebuah cerita menarik. Menara Galata terkenal dengan mitos yang mengatakan bahwa setiap pasangan yang berada di sana akan memiliki hubungan yang langgeng.

Ceyda, walaupun tidak mempercayai mitos tersebut, membagikan cerita itu kepada Rangga dengan senyum ringan di bibirnya. Ini adalah pengantar pengetahuan tambahan mengenai budaya Turki yang kental dengan unsur mitos dan kepercayaan. Rangga hanya tertawa santai, menerima cerita itu sebagai bagian dari keunikan budaya yang mereka eksplorasi bersama.

Lihat selengkapnya