Waktu subuh dengan lembut melingkupi kota Istanbul yang masih terlelap dalam ketenangan pagi. Panggilan Tuhan yang merayap perlahan mengetuk sanubari penduduk kota yang masih setia kepada iman mereka, mengundang mereka untuk menyambut seruan-Nya melaksanakan salat subuh. Udara musim gugur yang dingin memeluk tubuh mereka yang bersemangat. Rangga, seorang pemuda Indonesia, telah lama bangun untuk menunaikan salat tahajud, menjelang subuh yang masih merayap.
Dalam jaket denim kesukaannya dan baju koko putih, Rangga siap menghadapi dinginnya udara musim gugur demi menjalankan ibadahnya. Keinginan untuk berjamaah di masjid, tak peduli seberapa dinginnya cuaca, adalah cermin dari nasihat ibunya yang selalu menekankan pentingnya ketaatan dalam salat. Langkahnya menghantarkannya ke Masjid Nafi Baba yang berdiri megah dan sederhana di Jalan Raya Nisbetiye Caddesi.
Rangga tiba dengan tepat waktu, memungkinkannya untuk menunaikan salat sunah sebelum salat berjamaah dimulai. Saf salat subuh terdiri dari orang-orang tua Turki, dan hanya segelintir pemuda, termasuk Rangga, yang berdiri di antara mereka. Imam Evren, dengan khidmatnya, memimpin salat subuh ini. Setelah selesai, mereka berkumpul untuk zikir bersama, meresapi tilawah Alquran yang penuh makna, yang dipercayakan kepada Imam Evren. Rangga merasa hangat dengan kebersamaan ini, meskipun di antara mereka terdapat perbedaan mazhab. Persaudaraan sesama muslim dipertahankan dengan penuh keakraban, memandang latar belakang dan perbedaan sebagai sesuatu yang bisa diatasi.
Rangga telah berpartisipasi dalam kegiatan ini selama satu minggu terakhir, diundang oleh Imam Evren. Awalnya, kehadiran di tengah jamaah yang mayoritas orang Turki membuatnya segan, tetapi keramahan dan kehangatan mereka segera menghilangkan rasa canggungnya. Meski perbedaan, baik dalam bahasa maupun mazhab, mereka menemukan kesatuan dalam agama Islam. Rangga dengan senang hati menamai pertemuan ini sebagai "pengajian" pribadinya, yang berlangsung selama satu jam hingga mentari mulai menampakkan sinarnya di langit.
Langit pagi itu bersih dan cerah, memantulkan keindahan seperti kemarin. Seusai menunaikan salat sunah syuruk, Rangga memutuskan untuk melanjutkan paginya dengan joging, menikmati keindahan dan kedamaian hari Minggu yang baru akan dimulai.
Semalam, sebelum menyelipkan diri ke dalam kenyamanan tidurnya, Rangga sudah meluangkan waktu untuk mencari informasi tentang tempat joging yang menarik dan dekat dari apartemennya. Hasil pencariannya membawanya kepada Taman Bogazici, suatu keajaiban alam yang mempesona terletak di tengah-tengah Kampus Selatan Universitas Bogazici, menghadap langsung ke Selat Bosporus. Rangga merasa terpikat oleh keindahan taman ini dan dengan semangat ingin menjelajahinya. Dalam rencananya, setelah selesai joging, dia berencana untuk membeli sarapan yang lezat serta menikmati secangkir teh Turki yang hangat. Meskipun masih belum sepenuhnya terbiasa dengan citarasa makanan Turki yang dinilainya agak hambar, Rangga mulai menemukan ketertarikannya pada teh Turki yang kaya akan aroma.
Kini, di depan pintu apartemennya, Rangga bertemu dengan Nyonya Ipek, tetangga yang ramah. Salam hangat dari Nyonya Ipek disambut dengan senyum sopan oleh Rangga. Meskipun patah-patah, Rangga mencoba mengajaknya berbicara dalam bahasa Turki. Ini merupakan bagian dari usahanya untuk mempraktikkan percakapan bahasa Turki, terinspirasi oleh rekomendasi kursus dari Ceyda. Rangga telah memulai kursus ITM tersebut pada hari Kamis yang lalu, dan sejak itu, setiap hari Senin dan Kamis, setelah pulang dari kantornya di distrik Sisli yang bertetangga dengan Besiktas, dia meluncur ke distrik Fatih untuk mengikuti kursus bahasa Turki.
Nyonya Ipek merespons usaha Rangga dengan sabar, memandu percakapan mereka. Dia tak segan mengoreksi kosakata atau kalimat Rangga yang kurang tepat. Kehadiran Nyonya Ipek seperti mentari hangat dalam kehidupan sehari-hari Rangga, memberikan dukungan layaknya seorang ibu. Kadang-kadang, dia bahkan memberikan hidangan lezat kepada Rangga, menciptakan hubungan yang akrab dan penuh kehangatan di antara keduanya.
Masuk ke dalam unitnya, Rangga dengan sigap menuju kamar untuk berganti baju. Interior unitnya, serupa dengan unit Ceyda, terdiri dari satu kamar tidur, satu kamar mandi, serta ruang tamu dan dapur yang menyatu dengan ruang makan. Ruang tamunya minimalis, hanya dihiasi oleh selembar karpet dan satu rak buku yang berisi buku-buku bawaan Rangga dari Indonesia. Di salah satu sudut, terdapat sebuah televisi yang menjadi jendela dunia Rangga di Turki. Meskipun tayangan programnya dalam bahasa Turki, televisi tersebut menjadi sarana bagi Rangga untuk mendalami bahasa Turki.
Sementara Rangga merapihkan diri, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari Ceyda, menyambutnya. Rangga merasa detak jantungnya sedikit mempercepat ritme ketika melihat nama Ceyda di layar ponsel. Semalam, saat perjalanan pulang, Ceyda dan Rangga sudah saling bertukar nomor. Kebersamaan mereka, terutama setelah perjalanan kemarin, telah membentuk ikatan yang cukup dalam. Ingatan tentang air mata yang mengalir di pipi Ceyda di Menara Galata masih terpatri dalam benaknya, dan rasa ingin melindungi dan menenangkan gadis itu masih menyala di dalam dirinya.
Rangga membaca pesan Ceyda,
Ceyda: Apa rencanamu pagi ini?
Rangga: Aku mau joging ke Taman Bogazici.
Ceyda: Kamu mau olahraga ke sana? Aku boleh ikut?
Rangga: Tentu saja boleh. Aku tunggu di bawah apartemen?
Ceyda: Oke!
Berpakaian dengan kaos olahraga polos, jaket ringan, celana training, dan sepatu lari, Rangga melengkapi penampilannya dengan jam tangan di tangan kirinya. Dengan semangat, ia turun ke lobi apartemen, menunggu kedatangan Ceyda. Tak butuh waktu lama, Ceyda muncul dengan senyum yang memancar keceriaan. Mengenakan jilbab yang dipadukan dengan atasan longgar, celana training, dan sepatu lari, Ceyda terlihat memesona. Seiring dengan sapaan ramahnya.
“Good morning, Rangga!”[1]
Rangga membalasnya dengan senyuman hangat, “Pagi juga, Ceyda.”
Mereka berdua melangkah dengan riang di sepanjang Jalan Gul Sokak, menyeberang Jalan Nisbetiye Caddesi hingga mencapai kawasan Kampus Selatan Universitas Bogazici. Kampus ini mempesona dengan luasnya, melampaui kompleks Kampus Utara. Dengan topografi berbukit, menghadap langsung ke Selat Bosporus, kampus ini terletak di balik Benteng Rumeli yang kaya sejarah. Kawasan ini menjadi pusat utama kegiatan akademik Universitas Bogazici, dikelilingi oleh pepohonan hijau yang memberikan kesan sejuk, terutama saat musim panas. Namun, saat ini, keadaannya berubah dengan musim gugur yang mengubah suasana. Pepohonan berhamburan daun, menghiasi permukaan tanah dengan berbagai warna yang memukau.
Selama perjalanan menuju Taman Bogazici, Rangga dan Ceyda terus mengobrol, memperdalam ikatan keakraban mereka. Rangga berusaha berbicara dalam bahasa Turki, dan Ceyda dengan senang hati membantunya dalam proses pembelajaran. Begitu sampai di Taman Bogazici, mereka disambut oleh keindahan taman yang memesona.
Ranting pohon maple seperti kuas alami yang melukis langit-langit taman dengan warna merah, oranye, dan kuning yang mencolok. Dedauan yang jatuh membentuk hamparan lembut di sepanjang jalur setapak dan padang rumput, menciptakan permadani warna musim gugur yang indah. Aroma segar dari dedaunan basah dan tanah mengisi udara. Angin musim gugur membawa harum dari pohon-pohon cemara yang dekat, memberikan nuansa menyegarkan di sepanjang taman.
Biasanya, di kala kampus dipenuhi mahasiswa, taman ini menjadi tempat favorit mereka untuk bersantai, membawa buku dan laptop, duduk di bawah pohon rindang atau di sepanjang teras taman. Tetapi pagi ini, suasana terasa hening, hanya beberapa orang yang datang untuk berolahraga, belajar, atau sekadar berkumpul.
Taman ini juga memiliki kafe terapung di tepi Selat Bosporus, menjadi destinasi favorit. Kafe tersebut membuka pintunya di pagi hari, menawarkan sarapan pagi bagi pengunjungnya. Aroma kopi yang harum dan menggoda menyatu dalam harmoni musim gugur.
Rangga dan Ceyda mengagumi bunga-bunga musim gugur yang mekar di taman, memberikan warna tambahan di tengah dedaunan yang berguguran. Pohon willow yang merunduk menciptakan tempat berlindung alami di bawahnya, tempat yang sempurna bagi mahasiswa untuk duduk bersantai dan menikmati keindahan musim gugur.
Rangga dan Ceyda memulai sesi joging mereka, mengikuti jalan setapak yang memeluk keindahan Taman Bogazici. Mengitari taman sebanyak lima putaran, kira-kira satu jam berlalu dengan keringat yang merembes membasahi pakaian mereka. Meskipun kelaparan dan haus mulai menyapa di perut dan kerongkongan, Rangga dan Ceyda merasa segar dan berenergi setelah berolahraga. Mereka memutuskan untuk melanjutkan sarapan pagi di kafe terapung yang menawarkan pemandangan indah Selat Bosporus.
Rangga memesan teh Turki manis sebagai minumannya, disertai omelet keju dan sayuran serta kentang goreng sweet potato sebagai hidangannya. Sementara itu, Ceyda memilih minuman jus jeruk, avocado toast, yang merupakan roti gandum panggang berlapis alpukat matang, taburan biji wijen, dan lada hitam, serta sosis ayam organik.
Meskipun Rangga merasa makanan masih terasa agak hambar di lidahnya, dia mencoba menikmati sarapannya. Ceyda memerhatikannya dan bertanya, “How does it, Rangga?”[2]
“Masih agak hambar, sepertinya kurang bumbu. Tapi tidak apa-apa, aku masih mencoba menikmati.”
“Kamu mau coba avocado toast-ku?” Ceyda menawarkan makanannya.
“Tidak usah,” Rangga menolak, “kamu habiskan saja.”