Beberapa hari telah berlalu sejak insiden yang terjadi di taman, namun kenangan itu masih menyelimuti pikiran Ceyda. Tatapan mata Rangga yang begitu dekat dan mempesona terus membayangi benaknya. Mata itu memancarkan kejernihan yang begitu menenangkan, menjadi pemandangan yang sulit dihapus dari ingatannya. Meskipun Ceyda berulang kali mencoba menghapusnya dari ingatan, bayangan wajah Rangga tetap menghantui pikirannya.
Pada saat momen penuh ketidakpastian di taman, Ceyda hampir tidak mampu membayangkan apa yang akan dilakukan Rangga terhadapnya. Akan tetapi, pemuda itu tiba-tiba bangkit dengan senyuman ringan di bibirnya, lalu dengan gesit membantu Ceyda berdiri. Waktu itu, Rangga dengan penuh perhatian menanyakan kondisi kaki Ceyda, sementara Ceyda hanya mampu menjawab dengan suara serak dan singkat karena malu.
Setiap harinya, pertemuan mereka diiringi salam akrab. Ceyda merasa sulit untuk menyembunyikan rasa malu setiap kali berpapasan dengan Rangga. Seakan-akan dunianya berputar hanya dalam kehadiran pemuda itu, membuatnya ingin menghilang dari pandangan.
Di lingkungan kampus, Ceyda sering kali terperangkap dalam lamunan mengenai Rangga. Kehadirannya di kelas menjadi tanpa semangat, ketidakmampuannya berkonsentrasi terhadap pelajaran membuatnya seperti hilang dalam pikirannya sendiri. Bahkan saat makan siang bersama Zeynep di kafe, semangat yang biasanya menyertai mereka kini telah sirna. Zeynep merasa khawatir melihat perubahan drastis pada sahabatnya yang tampak kehilangan semangat hidup.
Dalam pertemuan mereka, Zeynep mencoba mencari tahu penyebab perubahan Ceyda. Namun, Ceyda bersikap enggan untuk berbicara, terus terdiam dalam lamunannya. Makanan yang biasanya dinikmati bersama seperti kehilangan daya tariknya. Zeynep, bingung dan cemas, tidak dapat memahami mengapa sahabatnya bersikap seperti ini.
Kemudian, tanpa diduga, Murat tiba-tiba muncul di kafe tempat Ceyda dan Zeynep duduk. Mata Murat langsung tertuju pada mereka, dan tanpa ragu, ia bergabung dengan mereka tanpa basa-basi. Keberadaan Murat mendadak membuat Ceyda dan Zeynep terkejut.
Dengan senyuman ramah, Murat menyatakan, “Ternyata kita bertemu di sini. Aku mencari kamu beberapa hari ini, Ceyda. Kalau saja kamu memberikan nomor ponselmu dulu, aku tidak akan kesulitan mencari kamu.”
Ceyda menghela nafas kesal, tidak senang dengan kehadiran Murat.
“Annemin dün doğum günü partisi nasıldı?”[1] tanya Zeynep dengan ramah, mencoba menciptakan atmosfer yang santai.
“Membosankan,” sahut Murat dengan nada kecewa, “menurutku akan jauh lebih menyenangkan kalau Ceyda hadir bersamaku. Tapi kamu tahu, dia malah memilih seorang cowok tidak dikenal untuk pergi bersamanya. Sungguh membuatku kecewa!”
“Cowok tidak dikenal? Oh, maksudmu Rangga?” ujar Zeynep, mencoba memahami situasi.
“Kamu tahu?” Murat terperangah.
“Aku belum pernah bertemu, tapi Ceyda sering cerita tentang cowok itu padaku. Mereka bertetangga dan menjadi teman yang baik.”
Percikan cemburu merayap masuk ke dalam hati Murat. Ia berusaha menahan emosinya, “Dia sering menolak cowok bahkan menghindariku. Tapi dia malah memilih cowok lain, tetangganya sendiri...?”
Ceyda menatap Murat, dan untuk pertama kalinya dia bersuara, “Kenapa memangnya?”
“Ceyda, jujur padaku, apa yang membuat kamu sering menolak dan menghindariku seperti ini. Aku sungguh-sungguh menyukai kamu!”
“Murat, sudahlah, jangan mengganggu Ceyda. Kamu tahu, perasaan seseorang itu tidak bisa dipaksa!” tegur Zeynep, mencoba menjaga suasana.
“Diam, Zeynep, jangan menceramahiku,” kata Murat dengan marah.
“Dia sahabatku,” Zeynep mulai kesal, “aku tidak bisa membiarkan sahabatku terus diganggu sama kamu!”
“Apa cowok itu juga bagian dari rencana kamu dan Ceyda untuk menghindari aku?” tuduh Murat, mencari jawaban.
“Evet, doğru, o benim ve Ceyda'nın planıydı,”[2] kata Zeynep dengan tegas.
“Kamu ini...!” ucap Murat, terkejut dan kesal dengan kenyataan yang baru saja diungkapkan.
“Hentikan kalian berdua!” pekik Ceyda dengan penuh kemarahan. Murat dan Zeynep terperanjat. Suara Ceyda yang meninggi langsung mencuri perhatian pengunjung kafe yang lain. Tanpa ragu, Ceyda bangkit dari kursi dan dengan langkah mantap, meninggalkan mereka. Zeynep segera bangkit untuk mengejar Ceyda, sedangkan Murat, meskipun berkeinginan untuk ikut mengejar, akhirnya hanya bisa terdiam, memperhatikan Zeynep dan Ceyda yang menjauh dengan langkah cepat.
Sebuah tekad kuat muncul dari dalam diri Murat. Hari ini tidak akan menjadi akhirnya. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk kembali di lain waktu. Murat kali ini benar-benar serius. Dia memiliki niat bulat untuk menyatakan perasaannya kepada Ceyda. Keseriusan itu bukan tanpa sebab. Hasrat ini telah lama berkobar dalam dirinya sejak dua tahun lalu, saat pertama kali Murat bertemu dengan Ceyda pada acara orientasi mahasiswa baru.
Pesona sang bidadari Universitas Bogazici itu telah berhasil menghipnotis hati Murat. Meski banyak mahasiswi yang mendekati Murat, hatinya hanya tunduk pada Ceyda. Keanggunan yang dipancarkan oleh Ceyda, ditambah dengan pesona jilbabnya, berhasil menggetarkan jiwa Murat.
Cinta Murat telah bersemi sepenuhnya pada Ceyda. Meskipun Ceyda kerap berusaha menghindarinya, Murat tetap tak ingin menyerah dalam usahanya untuk mendapatkan hati Ceyda. Kali ini, Murat benar-benar serius untuk menyatakannya. Dengan langkah mantap, Murat meninggalkan kafe dengan keyakinan bahwa ia akan kembali untuk menyatakan cintanya kepada Ceyda. Jika kampus tidak menjadi tempatnya, ia berencana untuk menemui Ceyda di tempat tinggalnya. Murat telah merancang rencana matang untuk memenangkan hati gadis itu.
Sementara itu, di tempat lain, Zeynep dan Ceyda duduk bersama di Rooftop Lounge bernama Skyline Terrace, yang terletak di lantai atas gedung administrasi kampus, di Kampus Utara. Teras atap ini merupakan salah satu tempat favorit bagi mahasiswa Bogazici. Dari sana, mereka dapat menikmati pemandangan Selat Bosporus yang spektakuler dari ketinggian. Akses ke teras atap ini biasanya dapat dicapai melalui tangga atau lift yang khusus disediakan untuk mahasiswa dan staf universitas.
Skyline Terrace menawarkan suasana yang tenang dan pemandangan yang menakjubkan, menciptakan tempat sempurna bagi mahasiswa untuk bersantai, berdiskusi, atau mengadakan acara kampus. Dengan dekorasi yang nyaman dan furnitur yang estetis, mahasiswa dapat menikmati waktu mereka di sini sambil merasakan keindahan langit Istanbul dan kemegahan Selat Bosporus.
Sambil duduk di kursi yang nyaman dan menikmati pemandangan yang disertai oleh angin sejuk musim gugur, Zeynep memutuskan untuk bertanya kepada Ceyda, “Şimdi bana anlat, bugün seninle ilgili ne sorun var?”[3]
Ceyda menarik napas panjang, “Hari Minggu kemarin...”
Zeynep tampak khawatir dan penuh rasa ingin tahu, “Kenapa? Apa yang terjadi?”
Ceyda lalu bercerita dengan pelan tentang kejadian yang melibatkan dirinya dan Rangga pada hari Minggu yang lalu. Meskipun mencoba mengontrol rasa malu, Ceyda tetap merasakannya ketika menceritakan insiden tersebut. Tawa tiba-tiba keluar dari mulut Zeynep.
“Kenapa kamu tertawa?” protes Ceyda.
“Maaf, soalnya lucu. Hanya karena masalah kamu jatuh, lalu ditolong Rangga sampai kalian saling bertatapan muka, terus kamu murung menganggap itu masalah?” Zeynep menjelaskan, mencoba meredakan ketegangan.
“Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan!” sahut Ceyda sambil merajuk. “Aku merasa malu sekali!”
“Setelah itu, perlakuan Rangga sama kamu seperti apa?” tanya Zeynep.
“Entah, dia seakan-akan tidak memedulikan apa pun di antara kami. Bahkan kalau kami berpapasan, dia tetap menyapaku seperti biasa. Tidak ada yang berubah.”
“Itu artinya, mungkin bagi Rangga itu bukan masalah besar. Seharusnya kamu berterima kasih padanya. Bagaimana kalau kamu terluka lebih parah karena jatuh? Terkilir atau gegar otak? Aku jadi sedih kalau kamu benar-benar mengalami gegar otak!”
“Hus, yeter, şeytan!”[4] sergah Ceyda sambil tertawa kecil.
“Sudahlah, itu bukan masalah besar. Jangan terlalu dipikirkan. Kalau Rangga menganggap kamu biasa saja, seharusnya kamu juga santai saja. Kecuali, kalau kamu memang punya perasaan apa-apa dengan Rangga..." goda Zeynep.
“Aku tidak ada perasaan apa pun dengan Rangga!” tegas Ceyda.
Zeynep menaikkan alisnya, “Benar?”
“Benar,” Ceyda mengangguk mantap. Ia berusaha keras memperkuat suaranya, ingin meyakinkan Zeynep bahwa tidak ada perasaan khusus terpendam untuk Rangga di hatinya.
Ketika hari memasuki senja, Ceyda mengayuh sepedanya keluar dari kampus menuju apartemennya. Suasana hati Ceyda mulai membaik setelah berbicara dengan Zeynep tadi siang. Kali ini, dia merasa mampu mengendalikan perasaannya. Jika bertemu lagi dengan Rangga, Ceyda mungkin akan bersikap seperti biasanya—ramah dan sopan.
Saat tiba di depan apartemennya, Ceyda terkejut melihat mobil sport Ferrari F8 Tributo yang terparkir di halaman. Dengan cepat, dia menyadari pemilik mobil itu, dan rasa tidak nyaman langsung menyelimutinya. Kaca depan mobil terbuka, Murat tersenyum pada Ceyda sambil memegang setir.
“Ceyda, ikutlah bersamaku.”