Rangga dengan penuh perhatian menyelimuti gaun Ceyda yang basah oleh cairan jus yang tumpah di atas gaun. Dengan sigap, ia menyelimutinya dengan jas hitam yang dipakainya untuk melindungi Ceyda dari rasa dingin yang mulai menyergap. Mereka berdua menaiki taksi yang Rangga berhentikan dengan cepat di pinggir jalan depan hotel, menghindari tatapan tajam hujan yang semakin deras. Ceyda duduk di sampingnya, merasakan getaran taksi yang menambah nuansa hening di dalam kendaraan. Tersedu-sedu, raut wajahnya mencerminkan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam.
Rangga, dengan sikap penyayang, mencoba menenangkan Ceyda. Dengan lembut, ia memberikan pelukan hangat yang menenteramkan, membiarkan air mata Ceyda tumpah dalam dekapannya. Di tengah perjalanan yang membelah jalanan kota yang penuh lampu, mereka berdua terdiam, membiarkan suara hujan dan isak tangis menjadi pengiring perjalanan.
Setibanya di apartemen, Rangga dengan hati-hati membopong Ceyda menaiki tangga menuju lantai lima. Wajah Ceyda masih dipenuhi kepedihan, dan kantong matanya terlihat semakin tebal oleh jejak air mata yang mengalir. Meskipun Rangga berusaha memberikan dukungan, Ceyda tetap bungkam, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.
Saat mereka sampai di depan pintu unit Ceyda, Zeynep tiba-tiba muncul dengan ekspresi terkejut yang tergambar jelas di wajahnya.
“Allah'ım, Ceyda!”[1] serunya sambil langsung memeluk Ceyda dengan erat. Ceyda kembali tersedu dalam dekapan Zeynep, dan terlihat bahwa persahabatan mereka begitu erat, mampu menguatkan dalam situasi sulit. Rupanya, Zeynep telah menanti-nanti kedatangan Ceyda dan dengan setia menunggu di depan unitnya sejak Ceyda pergi ke hotel. Saat Ceyda memberi tahu Zeynep akan pulang, Zeynep langsung memutuskan untuk menunggu tanpa ragu.
Zeynep membelai punggung Ceyda yang masih terguncang. Tatapan Zeynep kemudian terangkat ke arah Rangga yang masih berdiri di samping mereka.
“Thank you, you are...?”[2] tanyanya, dengan ekspresi campuran antara rasa terharu dan kekhawatiran.
“Saya Rangga,” jawab Rangga dengan ramah.
“Oh, jadi, kamu Rangga?” ucap Zeynep sambil tersenyum, “Ceyda sering cerita tentang kamu. Aku Zeynep, sahabatnya.”
“Salam kenal, Zeynep.”
“Apa yang terjadi dengan Ceyda? Kenapa dia jadi begini?” tanya Zeynep, terlihat khawatir.
“Dia belum bercerita,” jawab Rangga sambil menggelengkan kepala. “Tapi apa pun yang terjadi di pesta itu, pasti terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan pada Ceyda.”
“Begitu, tapi bagaimana kamu bisa bersama Ceyda? Kamu ikut Pesta Popularitas itu?” tanya Zeynep.
“Tidak, aku bekerja sebagai Spesialis Pemasaran Digital di Grup Demirtas. Kebetulan hari ini aku diperintahkan untuk melakukan suatu urusan pekerjaan di Hotel Istanbul Serenity Suites sampai malam. Dan tadi aku bertemu dengan Ceyda di sana,” jelas Rangga dengan penuh kerendahan hati, mencoba memberikan penjelasan yang memadai pada Zeynep yang masih tampak khawatir.
“Oh, begitu,” sahut Zeynep, mengangguk mengerti. “Kalau begitu, biar aku membawa Ceyda masuk dulu ke dalam. Terima kasih banyak, Rangga, sudah mengantar Ceyda ke sini.”
“Dengan senang hati,” jawab Rangga sambil tersenyum, merasakan kehangatan persahabatan yang tumbuh di antara mereka.
Zeynep membimbing Ceyda masuk ke dalam unit nomor 52 dengan lembut, seperti seorang sahabat yang memiliki perhatian tak terbatas. Rangga, sementara itu, melangkah ke dalam unitnya yang berada tepat berhadapan dengan unit Ceyda. Di dalam unit tersebut, suasana hening dan ketenangan terasa menggoda setelah perjalanan yang penuh gejolak. Namun, Rangga merasa tidak tenang ketika menyadari bahwa jas hitamnya masih tergantung di badan Ceyda. Meskipun begitu, ia memutuskan untuk tidak mengganggu momen kebersamaan Ceyda dan Zeynep dengan mengambil kembali jasnya.
Rangga bergegas ke kamar mandi, membilas kelelahan dan keheningan dari tubuhnya. Berganti baju dengan cepat, Rangga kemudian memutuskan untuk melaksanakan salat isya di kamar tidurnya. Saat duduk bersimpuh di atas sajadah, Rangga merenung, berzikir, dan bertafakur. Wajah Ceyda yang bersimbah air mata terbayang jelas di benaknya, dan pelukan hangat gadis itu terasa dalam memori. Jantung Rangga berdebar dengan pertanyaan yang tak terucapkan. Apa yang sebenarnya terjadi pada Ceyda? Rasa simpati dan keinginan untuk menghibur gadis itu mengusik hatinya. Dalam doanya, Rangga memohon agar hati Ceyda tenang dan tidak terlalu bersedih lagi. Malam itu, Rangga tidur dengan cita-cita melihat kembali senyuman ceria di wajah Ceyda.
Keesokan harinya, hujan turun dengan lebatnya sejak waktu subuh, menyisakan dingin menusuk tulang yang membuat kulit terasa menyengat. Beruntung, Rangga sudah menyalakan pemanas ruangan, menciptakan suasana hangat di dalam kamarnya. Meskipun demikian, hujan deras membuatnya tidak bisa pergi ke masjid untuk menunaikan salat subuh. Sebagai gantinya, Rangga memutuskan untuk melaksanakan ibadah di dalam kamarnya, meresapi ketenangan yang ditawarkan oleh sujudnya.
Usai salat subuh, pandangannya tertuju pada kalender gantung yang terpampang di dinding kamar. Empat minggu sudah berlalu sejak Rangga tiba di Istanbul. Bulan September memasuki akhirnya, dan angka Oktober tampak mengintip dari kejauhan. Suasana musim gugur semakin mencuat dengan hujan yang tak kunjung reda. Rangga melihat sejumlah pencapaian yang telah dicapainya selama di Istanbul. Pekerjaannya berjalan dengan baik, kursusnya berjalan lancar, dan dia bahkan mulai menguasai beberapa kosakata dalam bahasa Turki. Namun, rasa kangen pada makanan khas daerahnya masih membekas di lidahnya.
Rangga membuka laptop di meja kamarnya, menjelajahi dunia maya untuk memeriksa email. Inbox-nya dipenuhi pertanyaan mengenai progres-progres pekerjaan, terutama dari atasan dan rekan-rekan kerja. Dengan kesabaran yang teruji, Rangga menjawab satu per satu email tersebut. Setelah menyelesaikan tugasnya, perutnya memberi sinyal keroncongan. Waktunya sarapan pagi telah tiba, dan Rangga pun beranjak ke dapur.
Di dapur yang tergolong kecil itu, Rangga menyimpan stok makanan instan khas Indonesia yang cukup banyak, hasil pembelian dari toko makanan Indonesia di Jalan Kerem Sokak, dekat dengan KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia). Koleksi makanan tersebut menjadi penawar rindu akan cita rasa khas tanah airnya. Rangga merasa bersyukur bisa menemukan toko tersebut berkat bantuan seorang mahasiswa Indonesia yang ditemuinya di Masjid Nafi Baba beberapa waktu lalu. Mahasiswa tersebut, kuliah di Universitas Bogazici dan tinggal di wilayah yang sama dengan Rangga, menjadi kenalan yang membawa kebahagiaan karena akhirnya Rangga bisa bersua dengan saudara sebangsanya di negeri yang asing.
Dengan penuh perasaan, Rangga menelusuri stok makanannya dan menemukan mi instan dan rendang yang masih tersedia. Keputusannya untuk merebus mi dan memanaskan rendang menjadi pilihan yang tepat di tengah dinginnya udara Istanbul. Aroma harum dari masakan Indonesia itu mengisi dapur, menciptakan suasana yang hangat dan mengundang selera. Rangga memasukkan mi dan rendang ke dalam mangkok, mencampurkannya dengan hati-hati, menciptakan hidangan yang nikmat dan mengingatkan akan rumah.
Hujan mulai mereda di tengah hari, memberikan sedikit kelegaan dari derasnya hujan sebelumnya. Rangga baru saja menyelesaikan menonton film streaming di ponselnya ketika mendengar bel pintu berbunyi. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah dari dalam kamar menuju pintu depan dan membukanya. Di hadapannya, Ceyda dan Zeynep berdiri dengan ekspresi yang berbeda. Wajah Ceyda terlihat lesu, kantong matanya masih membengkak. Ia mengenakan jilbab, kaos lengan panjang, dan celana panjang longgar. Di tangannya, ia memegang jas hitam milik Rangga. Sementara itu, Zeynep tampak rapi dan siap bepergian.
“Aku mau mengembalikan jas ini,” ujar Ceyda dengan suara lirih, menyodorkan jas hitam tersebut kepada Rangga, “terima kasih untuk semalam.”
Rangga menerima jas dengan penuh perhatian, mata khawatirnya menatap Ceyda, “Are you okay?”[3]
Ceyda mengangguk pelan, kepala sedikit tertunduk.
“Ehm, aku harus pulang,” potong Zeynep dengan suara lembut, memecahkan keheningan. “Sampai bertemu di besok di kampus, ya,” ujarnya sambil mengelus bahu Ceyda, “jangan sedih lagi.”
“Teşekkür ederim, Zeynep,”[4] sahut Ceyda, memandang sahabatnya dengan tulus. Mereka berdua berpelukan sejenak sebelum akhirnya berpisah. Zeynep melangkah turun tangga, meninggalkan Ceyda dan Rangga di pintu depan.
Ceyda dan Rangga saling menatap, keheningan mereka terasa penuh makna, belum tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Rangga, dengan hati yang ingin meredakan ketegangan, memutuskan untuk memulai obrolan. “Kamu suka cokelat hangat? Kebetulan aku punya cokelat. Mau kubuatkan?”
“Oh...” Ceyda terdiam sejenak, tampak terlintas keragu-raguan di matanya. “Tapi apakah tidak merepotkan?”
“Tidak, aku pikir dengan secangkir cokelat hangat dapat menenangkan pikiran. Bagaimana?”
“Baiklah,” jawab Ceyda, mengikuti langkah Rangga masuk ke dalam unitnya. Ini adalah pertama kalinya dia memasuki unit orang lain, dan itu pun seorang cowok yang baru dikenalnya selama empat minggu. Tampak tidak banyak furnitur di unit Rangga. Ceyda melihat-lihat sekeliling, mencari tahu lebih banyak tentang tempat tinggal Rangga. Rangga mengambil dua sachet cokelat bubuk dari lemari dapur dan menyeduhnya dalam dua cangkir dengan air panas dari teko.
“Duduklah,” ajak Rangga saat mereka memasuki ruang tamu. Mereka berdua duduk di atas karpet empuk berornamen khas Turki, lengkap dengan motif-motif yang menghiasi permukaannya.
Ceyda mencicipi cokelat hangat yang dibuat oleh Rangga, dan rasanya langsung meresap ke dalam lidahnya. Kelembutan dan kehangatan rasa cokelat memberikan efek menenangkan yang diharapkan oleh Rangga. Saat ia menyeruput cokelat tersebut, Ceyda merasa pikirannya yang tadinya terimpit oleh kegelisahan mulai meredup. Pada detik-detik tersebut, kehadiran Rangga yang hangat dan perhatiannya membuatnya merasa tidak sendirian.
“How do you feel?”[5] Rangga bertanya dengan suara pelan.
“Sudah sedikit rileks,” jawab Ceyda, senyum kecil mulai terukir di wajahnya
“Alhamdulillah,” ucap Rangga sambil tersenyum lega.
Ceyda ingin mengalihkan percakapan ke topik yang lebih ringan. “Apa kamu suka cokelat, Rangga?”
“Sangat suka, cokelat bagiku dapat menenangkan pikiran pada saat stres dan sedih. Sehabis meminumnya, hal-hal yang mengganggu pikiranku dapat berkurang.”
“Kalau minum kopi kamu sering?” tanya Ceyda, mencoba memahami lebih banyak tentang kebiasaan Rangga.
“Jarang,” jawab Rangga sambil menggeleng.
“Orang Turki sering minum kopi,” kata Ceyda dengan senyuman.
“Aku tahu itu, termasuk kamu, kan?” goda Rangga, senyumnya semakin terlihat di bibirnya.
“Ya,” Ceyda mengangguk, dan kali ini senyumnya terasa lebih tulus.
Mereka berdua melanjutkan obrolan di ruang tamu yang hangat, di mana dua cangkir cokelat hangat berada di antara mereka, menciptakan suasana keakraban yang semakin terasa. Rangga dan Ceyda mulai merasakan adanya kenyamanan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata di dalam jiwa mereka. Seiring berjalannya waktu, Ceyda lebih banyak menghabiskan waktu di unit Rangga, menikmati makanan Indonesia yang dihangatkan oleh Rangga sebagai hidangan makan siang dan makan malam. Untuk pertama kalinya, Ceyda merasakan cita rasa autentik Indonesia melalui hidangan seperti ayam goreng, sambal, dan tempe goreng. Komentar antusias dari Ceyda mengenai kelezatan makanan Indonesia membuat Rangga merasa bangga dan senang bisa memperkenalkan kekayaan kuliner tanah airnya.
Saat malam mulai menggantikan siang, hujan kembali membasahi kota, kali ini dengan intensitas yang lebih deras. Ceyda, semakin larut malam, mulai merasakan kelelahan dan kantuk di ruang tamu. Rangga yang duduk di sebelahnya mengajaknya berbincang, "Kamu tidak pulang ke unitmu? Sudah larut malam, besok kamu ada kuliah, kan?"
“Rangga, can I stay here tonight?”[6] tiba-tiba Ceyda bertanya.
Rangga terbelalak, “Menginap? Kenapa?”
“Aku butuh teman,” mata Ceyda berkaca-kaca. Nafasnya terasa sesak. “Rasanya aku malas kuliah besok. Aku mau bolos...”
“Karena masalah kemarin?” tanya Rangga, mencoba memahami keadaan Ceyda..
Ceyda mengangguk, “Seumur hidup... seumur hidup... aku belum pernah diperlakukan sehina ini. Aku memang miskin... tapi... aku sakit hati sekali...!”
Tangisan Ceyda meledak. Dia menelungkupkan kepala ke dalam lututnya. Rangga cepat-cepat memeluk Ceyda, mengelus bahunya dengan lembut, mencoba menenangkan gadis itu yang terlihat hancur.
Rangga merasa Ceyda yang terhimpit oleh masalah ini sangat membutuhkan dukungan dan pertolongan. Di dalam dekapannya, dia mencoba menenangkan gadis itu, “Apa kamu sudah menceritakan masalah kamu kepada Zeynep?”
“Sudah, Zeynep sangat marah sekali. Aku merasa bersalah dengan gaun itu, tapi Zeynep bilang aku tidak usah memikirkannya. Aku tidak perlu mengganti rugi. Namun tetap saja aku takut datang ke kampus!” seru Ceyda dalam dekapan Rangga, suara getir terdengar dari intonasi bicaranya.
“Boleh aku tahu apa yang terjadi?” Rangga mencoba mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Nesrin, anak pemilik Grup Demirtas itu memperlakukan aku seperti binatang!” Ceyda lalu bercerita, merincikan setiap detil peristiwa yang dialaminya kemarin. Rangga mengucap istigfar dan menggelengkan kepala, ekspresinya menyiratkan ketidaksenangan dan ketidakpercayaan terhadap perilaku bejat anak pemilik Grup Demirtas. Menghinakan seseorang sampai sejauh ini merupakan tindakan yang amat keji. Mendengar pengalaman pahit yang dialami Ceyda membuat Rangga semakin tersentuh, terutama karena dia sendiri dan adiknya pernah merasakan pahitnya direndahkan karena berasal dari keluarga miskin.
“Kalau kamu bersembunyi seperti ini, orang itu akan semakin senang karena misinya berhasil menghancurkan harga diri kamu,” kata Rangga, mencoba memberikan motivasi kepada Ceyda yang tengah terpuruk.
“Tapi... aku belum sanggup rasanya membayangkan untuk melihat muka Nesrin di kampus besok. Aku seperti tidak punya harga diri!” isak Ceyda, suaranya penuh dengan kepahitan dan keputusasaan.
“Kamu punya,” sela Rangga dengan tegas, “kamu gadis yang pintar, baik, rendah hati, sederhana, santun. Kamu berani tegas berkata tidak apabila terjadi sesuatu yang mengganggu dirimu.”
“How could you think I am that tough?”[7] kata Ceyda dengan raut wajah yang masih dipenuhi keraguan.
“Sewaktu kamu menolak ajakan cowok bernama Murat itu, ingat? Di situ aku kagum padamu karena kamu berani bersikap tegas padanya,” ujar Rangga, mencoba memberikan contoh konkrit.
Ceyda mengangkat kepalanya, kali ini wajahnya dan wajah Rangga saling berhadapan. Rangga bisa melihat mata cokelat yang dimiliki Ceyda berwarna agak kemerahan karena menangis. Kantong matanya semakin menebal. Meski ragu-ragu sejenak, Rangga dengan lembut mengusap air mata yang mengalir di pipi Ceyda. Sentuhan jari Rangga terasa hangat dan lembut di pipi gadis itu, menciptakan momen keintiman di antara mereka.