Air Mata Bidadari

Erdem Emre
Chapter #10

Kebangkitan Kenangan

Nyonya Defne masih terdiam, matanya memandang Ceyda yang berdiri tegak, melindungi sahabatnya, Zeynep, dari ancaman pukulan. Wajah Ceyda terlihat tegang, dan sorot matanya mencerminkan keteguhan hati. Saat melihat ekspresi di wajah Ceyda, Nyonya Defne merasa seakan-akan tenggelam dalam nostalgia yang lama terkubur di dalam hatinya. Wajah itu membangkitkan kenangan-kelam dari masa lalu yang telah terlupakan.

Sejenak, Nyonya Defne terdiam, mata terfokus pada wajah Ceyda yang seperti mengundangnya untuk menyingkap lembaran masa lalunya. Kemudian, dengan suara yang tegas, Nyonya Defne memecah keheningan, "Sen kimsin?"[1]

Ceyda, dengan nada getir, menjawab, "Saya teman Zeynep."

“Aku tanya, siapa nama kamu?" tegur Nyonya Defne tanpa memberikan ruang untuk penafsiran.

Ceyda menelan ludah sejenak sebelum menjawab, "Ceyda."

Ketika nama itu diucapkan, Nyonya Defne merasakan sesuatu yang akrab, meskipun ia memutuskan untuk menepisnya sementara waktu. Mungkin ini hanya kebetulan.

Nyonya Defne melanjutkan dengan tatapan tajamnya, "Kamu lihat apa yang diperbuat oleh temanmu kepada anakku? Tidak usah kamu membelanya. Dia harus membayar mahal atas perbuatannya!"

Ceyda, tanpa ragu, menghadapi tatapan tajam Nyonya Defne, "Zeynep tidak akan menyerang Nesrin kalau tidak ada sebabnya, Nyonya! Nyonya harus tahu apa yang diperbuat oleh putri Nyonya sebelumnya!"

Jeritan tegas dari Nesrin memecah percakapan, "Tidak, Mama, dia bohong! Justru perempuan itu yang menyerangku tanpa sebab apa pun!"

Nyonya Defne mengangkat tangannya, memerintahkan Nesrin untuk diam, “Jelaskan.”

Ceyda menunjukkan aplikasi video dengan gemetar, memperlihatkan momen memalukan yang direkam di Pesta Popularitas di Hotel Istanbul Serenity Suites. Suara sorakan dan gelak tawa di latar belakang memberi nuansa menyakitkan pada rekaman itu, menyatu dengan ekspresi wajah Nesrin yang begitu sombong mempermalukan Ceyda. Di video itu, Nesrin menyuruh teman-temannya merekam insiden itu, menambahkan rasa malu Ceyda dengan menyebarkannya ke semua grup percakapan mahasiswa Bogazici. Raut muka Ceyda kini berisi keputusasaan, namun tetap tegar.

Video inilah yang menjadi batu loncatan Zeynep untuk menuntut keadilan. Mengikuti jejak Nesrin hingga ke kampus, Zeynep menemukan Nesrin di kafe bersama teman-temannya. Wajah Zeynep memancarkan kemarahan ketika dia langsung menghardik Nesrin, meminta pertanggungjawaban atas tindakan tidak terpuji yang dilakukan terhadap sahabatnya.

“Zeynep hanya ingin membela saya,” jelas Ceyda dengan suara penuh emosi, berusaha membela Zeynep dari pandangan tidak adil. “Kalau Nyonya beranggapan Zeynep bersalah melukai fisik Nesrin, Nesrin juga bersalah melukai hati saya! Dia menghina saya, mengejek bahwa saya miskin dan rendahan! Nesrin harus meminta maaf terlebih dahulu kepada saya, kalau tidak, saya akan menyebarkan video ini ke media, supaya semua orang di kota ini tahu, seperti apa kelakuan putri dari keluarga Demirtas yang terhormat!”

Reaksi Nyonya Defne dan Nesrin menunjukkan keterkejutan. Nesrin, yang semula merasa aman dengan dukungan ibunya, kini terperangkap dalam situasi yang tak terduga. Nyonya Defne, malah tersenyum tenang, seakan-akan memandang situasi ini sebagai ujian kekuatan karakter keluarganya.

“Kamu pikir, hanya dengan video itu, kamu bisa membuat publik percaya atas apa yang diperbuat anakku?” ujar Nyonya Defne dengan nada meyakinkan. “Justru publik akan bertanya-tanya apa yang membuat anakku bisa menumpahkan amarahnya padamu kalau tidak ada sebab. Nesrin anak yang baik meski temperamen. Dia tidak akan sembarang marah kepada siapa pun kalau tidak ada yang mencari gara-gara dengannya.”

Ceyda tak gentar, menjawab dengan tegas, “Nyonya, saya datang ke Pesta Popularitas atas undangan anak Anda. Saya sebenarnya tidak mau datang ke pesta itu, tapi karena anak Anda memaksa, saya akhirnya datang dengan baik-baik ke sana. Namun begitu saya sampai di sana, dia dan teman-temannya malah menghina saya, menumpahkan jus jeruk dan anggur ke gaun yang saya pakai. Saya tidak pernah mencari gara-gara dengan anak Anda. Anak Andalah yang memulai lebih dulu!”

Nyonya Defne, tanpa menunjukkan ekspresi yang melemahkan, memandang Ceyda dari atas ke bawah seakan memberikan penilaian.

“Kızım seni mi davet etti?”[2] tanyanya, menciptakan ketegangan yang makin terasa di udara.

Nesrin membantah dengan nada tegas, "Tidak, Ma, mana pernah aku undang dia! Tiba-tiba saja aku melihat perempuan ini masuk ke dalam pesta tanpa undangan. Wajar saja aku usir dia!" Suara Nesrin penuh keyakinan, namun sejelas kaca, Ceyda dan Zeynep terkejut dengan kebohongan yang begitu terang-terangan.

"Nesrin, berani sekali kamu berbohong! Kamu jelas mengundangku!" seru Ceyda dengan amarah yang meradang di suaranya, mencerminkan rasa ketidakadilan yang ia rasakan.

"Apa ada bukti dan saksinya?" Nesrin mengejek Ceyda, mencoba mengesampingkan kebenaran.

Ceyda menahan geram, "Jelas ada, sopir kamu. Nyonya bisa tanya dia!"

Dia bergantian memandang Nyonya Defne, berharap ada keadilan. "Waktu itu, sopirnya hampir menyerempet sepeda saya saat pulang dari kampus. Tiba-tiba Nesrin turun dari mobil lalu menyerahkan kartu undangan kepada saya, memintanya datang ke Pesta Popularitas!"

"Pintar sekali Kak Ceyda mengarang cerita," ejek Nesrin dengan nada meremehkan. "Mana pernah aku menyerahkan undangan pada Kakak. Kakak jangan menyebarkan berita bohong membawa-bawa sopir kami. Malu dengan jilbab Kakak."

Ceyda, yang tak terima dipermainkan, membalas, "Tidak usah bawa-bawa jilbabku!"

Geramnya semakin nyata dalam suaranya, menghadapi serangan pribadi Nesrin.

"Cukup!" Nyonya Defne menyela mereka dengan tegas, menatap tajam Ceyda. "Kuminta kamu tidak usah membuat karangan fiksi seperti ini lagi. Kamu sebarkan video itu, maka aku bisa menuntutmu atas nama pencemaran baik karena menyebarkan berita bohong tentang putriku!"

Ceyda berusaha membela diri, tetapi Nyonya Defne sudah menentukan pendiriannya. "Putriku jelas hanya mengadakan acara itu untuk teman-temannya. Dia tidak mungkin berteman dengan orang seperti kamu. Wajar saja kalau dia harus mengusir tamu tidak diundang. Kamulah yang salah karena berani datang ke pesta itu tanpa sepengetahuannya!"

"Hanımefendi, yalan söylemiyorum, gerçekten, Allah aşkına!"[3] seru Ceyda dengan suara penuh ketulusan, mencoba meyakinkan Nyonya Defne tentang kebenaran yang terkandung dalam kata-katanya.

Nyonya Defne menatap Ceyda dengan tatapan tajam, "Saya tidak mau mendengar penjelasanmu lagi. Temanmu harus bertanggung jawab terhadap anakku, kalau tidak, aku akan menyeretnya ke penjara, paham?"

“Nyonya...!” seru Ceyda, suaranya penuh dengan keberatan, tetapi Zeynep segera menahannya. Dia menggelengkan kepala, memberikan isyarat agar Ceyda tidak meneruskan argumennya. Lalu, dengan penuh kesadaran, Zeynep berkata kepada Nyonya Defne, “Baiklah, saya akan bertanggung jawab untuk pengobatan Nesrin. Saya minta maaf.”

Senyum sinis melintas di wajah Nyonya Defne, "Bagus, selesai Nesrin dirawat di rumah sakit, kamu wajib mengganti pembayarannya. Tidak boleh ada alasan apa pun. Kalau kamu tidak melakukannya, aku akan memasukkanmu ke penjara!"

“Baik, Nyonya,” kata Zeynep dengan nada dingin, menunjukkan kesiapan untuk menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.

Nyonya Defne dengan anggun menggamit lengan Nesrin, membawanya pergi dari kantor polisi. Seiring langkah mereka meninggalkan ruangan, Nesrin melemparkan pandangan mengejek kepada Ceyda dan Zeynep, seolah merasa mendapat kemenangan atas keduanya.

Di dalam kemewahan Mercedes-Benz S-Class hitam metalik yang membawa Nesrin dan Nyonya Defne menuju rumah mereka, Nyonya Defne yang duduk di kursi penumpang belakang menyapu pandangan tajam ke arah Nesrin yang duduk di sampingnya.

“Önceki başörtülü kızın adı neydi?”[4] tanyanya dengan rasa ingin tahu yang mendalam.

“Namanya Ceyda Elmas,” jawab Nesrin dengan nada ketus.

Nyonya Defne tercenung sejenak. Elmas... nama itu seakan menciptakan getaran yang tidak asing di telinganya.

“Dia gadis paling populer di kampus, paling cantik, ya, dia seniorku, Ma, beda dua tingkat atasku. Dia kuliah di Fakultas Pendidikan. Tapi masalahnya, dia itu miskin, kampungan. Penampilannya saja tidak modis!”

“Memangnya dari mana asalnya?” tanya Nyonya Defne, mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang masuk akal.

“Adana!” jawab Nesrin tanpa ragu.

Mendengar kata "Adana," Nyonya Defne merasakan getaran aneh dalam dirinya. Seolah sebuah pintu memori yang terkunci rapat terbuka sejenak. Mata Nyonya Defne memandang hampa sejenak, mencoba menyusun puzzle kenangan yang bersembunyi di balik kata tersebut. Menutupi perasaannya dengan penuh keanggunan, Nyonya Defne melanjutkan, “Dari mana kamu tahu dia berasal dari Adana?”

“Aku hanya iseng saja mencari tahu latar belakang Kak Ceyda,” Nesrin mengerucutkan bibirnya.

Nyonya Defne tersenyum, “Lalu, hanya karena dia lebih cantik dan populer dari kamu, makanya kamu memusuhi dia?”

“Bukan hanya karena itu, Ma. Dia justru mau merebut Murat dariku!” Nesrin tambah merajuk, suaranya dipenuhi oleh ketidakpuasan.

Lihat selengkapnya