Air Mata Bidadari

Erdem Emre
Chapter #11

Kesedihan Nesrin

Suasana yang membedakan rumah keluarga Akman di distrik Bebek dapat terasa hingga ke dalam ruang makan yang mengundang kekaguman. Sentuhan klasik kontemporer merajut harmoni antara unsur-unsur desain tradisional dan sentuhan modern yang memberikan keanggunan tak tertandingi. Dindingnya terhiasi dengan lukisan seni yang memancarkan keindahan bergaya. Meja makan utama, berukuran besar dan dihiasi dengan desain artistik, menjadi pusat perhatian dengan kursi-kursinya yang nyaman, dilengkapi sandaran ergonomis dan bantalan lembut, serta dirancang menggunakan furnitur mewah yang terbuat dari kayu keras berkualitas tinggi.

Pencahayaan ruang makan itu dihasilkan dari lampu gantung mewah di atas meja, yang dipadukan dengan sentuhan cahaya dari lampu dinding. Jendela-jendelanya yang besar membuka pandangan ke taman yang memikat di luar rumah. Di samping ruang makan, terdapat kabinet cantik yang dirancang khusus untuk menyimpan peralatan makan tambahan, dihiasi dengan ukiran yang memikat.

Atmosfer di ruang makan itu terasa sangat tegang, seolah-olah bisa dipotong dengan pisau. Murat, dengan ekspresi wajah yang penuh kombinasi antara kekakuan dan keterkejutan, menatap tajam kedua orang tuanya, Tuan Emre Akman dan Nyonya Beyza. Tuan Emre, seorang lelaki berumur lima puluh dua tahun, dengan tinggi badan seratus delapan puluh sentimeter, menampilkan tubuh kekar dengan sedikit perut yang buncit.

Wajahnya memiliki bentuk persegi yang ditonjolkan oleh garis tegas, hidung besar yang melengkung sedikit, dan rambut beruban yang dipotong pendek. Matanya yang berwarna cokelat tua menatap tajam, sementara telinganya yang tidak mencolok menyempurnakan penampilannya. Kulitnya berwarna sawo matang dengan sentuhan kilauan keemasan yang memberikan kesan mewah.

Sementara itu, Nyonya Beyza, dengan tinggi seratus enam puluh lima sentimeter, membawa tubuh yang berisi dengan pinggang yang sedikit melengkung, menciptakan penampilan yang memesona. Wajah ovalnya diterangi oleh mata tajam berwarna cokelat tua, hidung kecil yang mancung, dan rambut panjang yang hitam dan rapi. Telinganya yang kecil menambahkan sentuhan elegan, sementara bibirnya yang penuh dan berwarna merah muda alami menonjol di antara kulit putihnya yang berkilau sehat.

 "Babanın söyledikleriyle ne oldu? Yanlış duymadım, değil mi?"[1] Murat mengernyitkan sedikit mata, pandangannya terfokus pada Tuan Emre.

Tuan Emre menarik napas dalam-dalam, memberikan kesan berat pada suasana ruangan, "Tuan Yavuz menawarkan rencana pertunangan antara kamu dan Nesrin Demirtas. Kurasa kamu sudah mendengar dengan benar. Jadi kamu tidak salah dengar."

Murat, dengan perasaan kegelisahan, mencoba menyuarakan keberatannya terhadap rencana pertunangan yang baru saja diumumkan. Suaranya terdengar tenang, namun gemuruh gejolak dalam dadanya menandakan perlawanan yang kuat, hampir meledak-ledak.

"Menurut dasar apa rencana pertunangan itu diajukan?" Murat bertanya, mencoba mengekang gejolaknya. Suara itu seperti riak gelombang yang bersiap-siap untuk memecah di pantai.

Tuan Emre berusaha memberikan penjelasan yang bijaksana, dengan nada penuh keyakinan, "Ayah pikir itu adalah tawaran yang baik. Keluarga kita bisa menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan keluarga Demirtas. Mereka memiliki reputasi yang sangat berpengaruh di kota ini. Hubungan ini akan memperluas jaringan keluarga kita, mengikatkan ikatan yang erat di antara kamu dan Nesrin.”

Murat menanggapi dengan kritis. Suaranya terdengar lugas, mencerminkan ketidaksetujuan yang tulus, "Kalau kita hanya ingin menjalin hubungan baik dengan mereka, pasti ada cara lain, Ayah. Tidak perlu melibatkan pertunangan. Selain itu, Ayah harus tahu, aku sangat tidak menyukai perilaku Nesrin sehari-hari di kampus. Dia arogan, angkuh, suka merisak orang lain. Bahkan baru-baru ini, dia menindas seorang gadis yang aku cintai!"

"Gadis yang kamu cintai?" Tuan Emre agak terkejut mendengarnya. Ruangan itu seolah meresapi kejutan yang tak terduga.

"Namanya Ceyda Elmas," jawab Murat tanpa ragu. "Dia bukan dari keluarga kaya seperti kita. Keluarganya sederhana di kota Adana. Ayahnya pedagang di pasar dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Namun, aku sudah lama mencintainya. Aku suka dengan sederhananya."

Tuan Emre memandang putranya dengan serius, memberikan berat pada kata-kata selanjutnya, "Baba fikrini takdir ediyor, Murat, ama..."[2]

Murat, dengan tatapan penuh penyesalan, mencoba mengungkapkan kekecewaannya terhadap perubahan sikap ayahnya. Dia mengenang ajaran-ajaran moral yang selalu ditanamkan oleh ayah dan ibunya tentang saling menghargai pendapat, sebuah filosofi hidup yang telah membentuk karakternya.

"Selama ini Ayah dan Ibu selalu mengajarkan kepadaku untuk saling menghargai pendapat. Ayah adalah seorang politisi bijak yang selalu mendengarkan aspirasi masyarakat. Bahkan ketika Ayah dulu memimpin perusahaan. Ayah sangat dekat dengan para karyawan. Ayah mengajarkan kepadaku tentang integritas. Kenapa sekarang Ayah jadi begini?"

Murat melontarkan pertanyaan, suaranya terdengar penuh kepahitan, seperti kekecewaan yang sulit ditahan.

Tuan Emre, dengan ekspresi serius, mencoba memulai penjelasannya, "Murat, dengarkan Ayah dulu..."

Namun, Murat tidak memberikan kesempatan, dia menolak tegas, memutuskan kata-kata ayahnya sebelum sempat diungkapkan lebih lanjut, "Aku tidak bisa menerima tawaran ini!"

Tuan Emre memberikan ekspresi peneguran, "Murat!"

Namun, tanpa diduga, Nyonya Beyza turut serta dalam percakapan dengan nada tegas mendukung anaknya, memotong pembicaraan mereka dengan dingin. Ia menatap suaminya dengan ekspresi yang mencerminkan ketidaksenangan yang mendalam.

"Aku setuju dengan Murat. Aku tidak mau berbesan dengan Defne Demirtas. Hanya karena suaminya berpengaruh, dia bisa berbuat seenaknya."

Tuan Emre, bingung dengan perkataan istrinya, bertanya, "Maksudmu?"

"Pada waktu acara ulang tahunku, Defne berbicara padaku, meminta supaya aku mendongkrak nilai anaknya, Nesrin. Kamu percaya itu? Dia memintaku berbuat curang! Aku tidak sudi mempertaruhkan jabatanku sebagai rektor hanya untuk memenuhi permintaan orang tidak berintegritas seperti itu!" Nyonya Beyza meluapkan kekecewaan dan kemarahannya.

"Mungkin dia hanya sedang khilaf," coba Tuan Emre membela. "Jangan terlalu dimasukkan ke hati."

“Khilaf?” Nyonya Beyza tampak murka. “Dia memintaku berbuat curang dan kamu bilang Defne itu khilaf?”

Tuan Emre mencoba menenangkan istrinya, "Tenang dulu, Beyza. Masalah ini bisa kita bicarakan dulu baik-baik dengan keluarga Demirtas. Aku bisa berpesan kepada Yavuz supaya dia menegur istrinya jangan berbuat seperti itu. Kalau bisa, istrinya langsung minta maaf padamu supaya tidak mengulangi perbuatannya."

Nyonya Beyza mengeluarkan suara dengusan yang nyaring, sebuah ekspresi frustrasi yang membelah ruang keluarga. Tuan Emre dengan lembut membelai bahu istrinya, mencoba meredakan gejolak emosinya. "Jangan marah-marah, tenangkan diri kamu dulu, oke? Masalah kamu dengan Defne biar aku bantu selesaikan. Kalau nanti Defne menyesal dan minta maaf padamu, barulah kita bisa tindak lanjuti obrolan soal pertunangan ini. Bagaimana?"

Tuan Emre berbicara dengan suara penuh kebijaksanaan, mencoba mencarikan solusi untuk mengatasi konflik yang merajalela.

Namun, Murat tetap teguh dalam keputusannya. Dia berujar dengan suara yang dingin, memperlihatkan keteguhan hatinya, "Ayah, aku rasa aku sudah menyampaikan pendapatku bahwa aku menolak tawaran pertunangan ini.”

Tuan Emre mencoba memberikan saran, "Kamu bisa pertimbangkan baik-baik dulu, Murat."

"Pertimbangan apa?" seru Murat dengan keras. Ia bangun dari kursinya dengan gerakan cepat, "Sepertinya tidak perlu ada yang dibicarakan lagi malam ini. Aku mau tidur, selamat malam."

Murat meninggalkan ruangan dengan langkah yang mantap, meninggalkan suasana yang terasa semakin tegang.

Tuan Emre memejamkan matanya, merasakan kefrustrasiannya dalam menyatukan pandangan keluarga. Sementara itu, Nyonya Beyza hanya memandangnya dengan ekspresi datar di sampingnya, masih membawa beban kekecewaan dalam hatinya.

Kamar tidur Murat, terletak di lantai atas rumah, menjadi tempat pelarian dari dinamika keluarga yang rumit. Desain kamar itu mengusung sentuhan modern kontemporer dengan aksen minimalis dan garis-garis bersih. Warna netral di dinding menciptakan atmosfer yang damai, seiring pencahayaan dari lampu langit-langit modern dan lampu dinding yang bersinar lembut.

Ranjang king size menempati pusat perhatian, ditemani oleh kursi dan meja kecil di sudut kamar, menciptakan sudut nyaman untuk Murat bersantai dan membaca. Di dinding, sebuah TV layar datar dipasang dengan elegan. Foto-foto pajangan menambah sentuhan personal, sementara karpet empuk di bawah ranjang menambah kehangatan dalam kamar. Gorden di jendela melambangkan privasi, dan suasana kamar itu menciptakan lingkungan yang mendukung ketenangan.

Murat memasuki kamar dengan langkah yang agak cepat, membawa serta emosi amarah yang masih menghantui jiwa. Dia mencoba menenangkan dirinya dengan merapatkan tubuh di atas ranjang, namun api emosi yang berkobar belum sepenuhnya padam.

Dalam ingatannya, pesan Ceyda masih membahana, menuntunnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dengan integritas yang senantiasa dijunjung tinggi, sebagaimana yang selalu diterapkan oleh ayah dan ibunya. Ceyda telah memberitahu Murat bahwa ia akan mempertimbangkan perasaannya jika Murat mampu menunjukkan perubahan positif. Sejak pertemuan terakhir mereka, Murat tidak lagi sering mengejar Ceyda. Ia memusatkan perhatiannya pada belajar dan berlatih basket di klubnya.

Kini, Murat menetapkan fokusnya untuk mengejar impian menjadi seorang pengacara. Ia berusaha menjadi yang terbaik, dengan harapan bisa membuktikannya kepada Ceyda. Murat telah merencanakan masa depannya; setelah lulus kuliah, ia bermaksud terjun ke dunia advokat dan merencanakan pernikahan dengan Ceyda.

Namun, rencana pertunangan yang tiba-tiba diumumkan telah menggagalkan segala rencananya. Masa depan yang tampaknya cerah menjadi suram. Di antara semua gadis yang pernah ditawarkan oleh ayah dan ibunya, mengapa pilihan jatuh pada Nesrin? Untungnya, kali ini ibunya menentang keputusan ayahnya, terutama setelah ulah Nyonya Defne yang mencoreng citra keluarga Demirtas.

Namun, ketidakpastian muncul dalam benak Murat. Bagaimana jika ibunya akhirnya menerima permintaan maaf dari Nyonya Defne? Apakah rencana pertunangan itu akan tetap dilanjutkan? Pikiran-pikiran ini membuat kepala Murat berputar, merasakan kebingungan dan frustrasi yang mendalam. Dengan semua pertimbangan ini, Murat membawa rasa kelelahannya dan kegelisahannya sampai ia tertidur lelap, membenamkan diri dalam dunia mimpi yang tidak pasti.

Keesokan harinya, atmosfer ruang makan keluarga Akman masih terasa tegang, hampir seakan-akan dapat dipotong dengan pisau. Pada saat sarapan pagi, suasana hening menyelimuti Tuan Emre, Nyonya Beyza, dan Murat. Mereka duduk bersama di meja makan, masing-masing menyantap hidangan tanpa sepatah kata pun. Seolah-olah, ketegangan di ruang makan itu menjadi penghalang yang tak terduga.

Tiba-tiba, Tuan Emre memutuskan untuk mengakhiri keheningan. Suaranya terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti ruang makan, "Baiklah, Murat. Ayah berubah pikiran. Semua keputusan tentang pertunangan ini ada di tanganmu. Kamu sudah dewasa. Kamu yang lebih tahu tentang rencana hidupmu."

Pandangan saling bertemu antara Murat dan Nyonya Beyza, mencerminkan sejumput kelegaan yang menghampiri jiwa mereka. Murat memandang ayahnya dengan tatapan yang fokus, ingin memastikan keputusan tersebut, "Ayah serius dengan perkataan Ayah barusan?"

"Tentu saja, Ayah serius. Ayah akan memberitahu Tuan Yavuz bahwa segala keputusan ada di tanganmu," jawab Tuan Emre dengan tekad yang tampaknya sudah matang.

"Babanın fikrini aniden değiştiren nedir?"[3] tanya Murat, ingin memahami perubahan sikap mendadak ayahnya.

Tuan Emre tersenyum, tetapi di balik senyumannya terdapat ekspresi penyesalan yang tulus, "Sepanjang malam Ayah merenungkan apa yang kamu ucapkan, dan kamu benar. Ayah tidak mau memaksakan kehendak kepada kamu. Maafkan Ayah, ya."

Murat terdiam sejenak, memproses perubahan ini, lalu akhirnya, wajahnya mulai merespon dengan senyuman. "Aku senang mendengarnya, Ayah. Akhirnya, aku berhasil menemukan Ayahku yang dulu. Aku minta maaf kemarin suaraku meninggi sehingga membentak Ayah."

"Tidak apa-apa," kata Tuan Emre, mencoba memberikan pemakluman, "jadi, mulai sekarang, kita kembalikan segala keputusanmu tentang rencana pertunangan itu."

Murat menggeleng, memutuskan untuk membuka kartu terakhirnya, "Aku akan sampaikan sekarang keputusanku, Ayah. Tolong sampaikan pada Tuan Yavuz, aku menolak pertunangan ini. Istrinya harus minta maaf kepada ibuku karena kelancangannya mencoba menyuap seorang rektor universitas demi kepentingan anaknya sendiri."

Nyonya Beyza ikut tersenyum bahagia mendengar putusan tegas anaknya, "Kamu hebat, putraku. Ibu bangga padamu."

Tuan Emre menatap Murat dengan rasa hormat dan mendalam, "Jadi itu keputusanmu?"

Murat mengangguk mantap, "Evet, Baba, bu benim kararım."[4]

"Baiklah," Tuan Emre mengangguk, mengisyaratkan penerimaan dan penghormatan terhadap keputusan Murat.

Nyonya Beyza ikut meramaikan pembicaraan dengan pertanyaan yang penuh rasa ingin tahu, "Dan bagaimana dengan gadis yang kamu cintai itu? Siapa namanya?"

Wajah Murat tersirat kegugupan, tetapi ia memutuskan untuk berbagi jawaban dengan nada lembut, "Ceyda Elmas.”

Tiba-tiba, sorot mata tajam Nyonya Beyza memancar kegirangan, "Kapan mau kamu perkenalkan kepada kami?"

Lihat selengkapnya