Air Mata Bidadari

Erdem Emre
Chapter #12

Kedatangan Tuan Bayram

Nyonya Defne melangkah perlahan melewati pintu rumahnya yang megah, langkahnya terasa berat menyimpan beban kekecewaan mendalam setelah segala upaya membujuk Nyonya Beyza dan Ceyda nyatanya telah gagal. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar, buntu dalam mencari langkah selanjutnya yang seharusnya diambil. Sesampainya di ruang tamu mewahnya, ia memanggil pekerja rumah tangganya, menanyakan keberadaan Nesrin.

Dengan sorot mata yang lembut, sang asisten membenarkan bahwa Nesrin masih berada di kamarnya. Nyonya Defne menggenggam erat gagang tangga mewah yang membawa ke lantai atas, tempat di mana kamar Nesrin berada. Kamar itu dirancang dengan penuh keanggunan, menciptakan suasana mewah dan terkini. Interior minimalis dengan aksen kemewahan tersebar di seluruh ruangan. Dindingnya dihiasi dengan palet warna krem yang memberikan sentuhan elegan. Cahaya lampu langit-langit dengan dimmer memberikan pencahayaan yang lembut, ditambah oleh lampu meja dan lampu dinding yang menyala pelan.

Sebuah jendela besar menghadap ke Selat Bosporus, dihiasi dengan gorden elegan yang membiarkan cahaya alami dan pemandangan memasuki kamar. Di tengah ruangan, sebuah ranjang king size menarik perhatian, dilengkapi dengan linen berkualitas tinggi, bantal lembut, dan selimut yang nyaman. Di sudut lain, terdapat sofa dengan meja kecil, serta meja rias dengan cermin besar. Sebuah lemari besar dengan pencahayaan interior menunggu untuk menyimpan pakaian dan aksesori dengan rapi. Karya seni indah menghiasi dinding kamar Nesrin, dan di bawah ranjang, karpet empuk memberikan sentuhan kenyamanan tambahan.

Ketika Nyonya Defne memasuki kamar, dia menemukan Nesrin terbaring di atas ranjang dengan kesedihan yang masih terpancar jelas di wajahnya. Air mata telah meninggalkan bekas, membuat wajahnya sembab. Nyonya Defne mendekati putrinya, menepuk-nepuk lembut punggungnya, memanggilnya untuk bangun. Dengan gerakan perlahan, Nesrin membuka matanya dan memosisikan dirinya untuk duduk. Lemas, namun penuh dengan keputusasaan, suara seraknya menggema di ruangan.

“Mama, apa yang harus kulakukan sekarang?” desis Nesrin, suaranya penuh dengan kelelahan dan keputusasaan. “Aku merasa hidupku sudah tidak berguna.”

Nyonya Defne mengelus rambut dan wajah Nesrin dengan lembut, mata penuh kepedihan melihat anaknya dalam keadaan seperti ini. “Mama akan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia lagi, sayang. Tapi satu permintaan dari Mama, jangan mengurung dirimu lagi.”

"Kardeş Murat ve Kardeş Ceyda'dan nefret ediyorum. İkisini de sevmiyorum!"[1] seru Nesrin dengan suara parau, diselingi isakan tersedu. Kesedihan mendalam terpantul di matanya yang sayu.

Nyonya Defne, dengan lembut, merangkul erat tubuh putrinya yang rapuh. Dia berbisik sambil mengelus-elus punggung Nesrin yang gemetar, "Sshh, sabar, Nesrin, biar Mama yang atur semua. Biar Mama yang membereskan masalah kamu. Percayalah sama Mama. Sudah, sudah, jangan menangis lagi.”

Nesrin terus menggigil di bawah pelukan ibunya, dan Nyonya Defne dengan sabar membiarkan putrinya melepaskan semua beban emosinya. Pelukan hangat itu menjadi tempat pelarian bagi Nesrin, tempat di mana ia bisa membiarkan air mata dan kesedihannya meluap, tanpa ada rasa takut atau kecemasan.

***

Tiga minggu berlalu, mengantarkan bulan Oktober ke puncak musim gugur di Istanbul. Hujan sering turun, menambah nuansa malam yang dingin, mencapai suhu minus satu derajat. Meskipun cuaca tidak bersahabat, bendera-bendera Turki tetap berkibar dengan gagah di sepanjang jalan-jalan kota, menyemarakkan suasana menyambut Hari Republik yang rutin diperingati pada tanggal 29 Oktober.

Hari Republik, sebuah momen bersejarah yang dirayakan dengan semangat nasionalisme, menjadi titik puncak kebanggaan warga Turki. Peringatan proklamasi berdirinya Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923, menjadi momen penuh makna bagi setiap warga. Libur panjang selama tiga hari, dari tanggal 28 hingga 30 Oktober, memberi ruang bagi mereka untuk merayakan dan bersatu dalam semangat kebangsaan.

Festival dan perlombaan meriah memenuhi jalan-jalan kota, menandai kemeriahan Hari Republik. Para warga tidak hanya menikmati keindahan pesta dan kompetisi, tapi juga merayakan dengan parade-parade militer yang menjadi simbol kebanggaan dan patriotisme mereka. Kemeriahan ini menjadi momentum di mana bangga menjadi warga Republik Turki tercermin dalam setiap langkah dan sorak sorai.

Kemeriahan Hari Republik turut merasuki atmosfer kampus Bogazici, di mana para mahasiswa berkumpul dengan semangat penuh, memperbincangkan berbagai rencana untuk merayakan momen bersejarah tersebut. Diskusi bergulir antara mereka, masing-masing merencanakan aktivitas yang beragam untuk memeriahkan Hari Republik yang akan datang. Ada yang bersemangat untuk menggelar bazar, ada yang berencana menyelenggarakan festival, dan beberapa lainnya bahkan bermimpi untuk mendaki Gunung Taurus dengan cita-cita mengibarkan bendera Turki di puncaknya. Beberapa mahasiswa lain lebih memilih menyaksikan kembang api yang akan memeriahkan langit Istanbul, menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan dan kesenangan.

Di tengah gemuruh diskusi dan persiapan tersebut, Ceyda dan Zeynep duduk bersama di bangku Taman Bogazici di kampus. Sambil menikmati suasana musim gugur yang sejuk, mereka mendalami pembicaraan tentang rencana libur mereka di Hari Republik. Mereka, yang sebelumnya telah menjalani dua tahun liburan bersama, menyaksikan pawai dan kembang api meriah di Istanbul pada tahun pertama, lalu bertualang ke Bursa dan mandi air panas di Pamukkale di tahun kedua, kini dihadapkan pada perbedaan.

Dengan wajah yang berat, Zeynep mengungkapkan bahwa tahun ini dia tidak bisa bergabung dengan Ceyda dalam liburan mereka. Keputusan untuk pulang kampung ke Ankara menjadi sebuah kewajiban yang diberikan oleh orang tua Zeynep. Ayahnya, yang berada di Ankara, ingin berkumpul bersama keluarga, dan bahkan kakaknya yang tinggal di Edirne diminta untuk datang ke Ankara.

Ceyda, meskipun merasa kecewa, mendapatkan dukungan dan hiburan dari Zeynep. Temannya menyarankan agar Ceyda mengajak orang lain untuk liburan bersama, sehingga dia tidak akan merasa sendirian. Ceyda, terlihat bingung, memikirkan siapa yang bisa diajaknya. Zeynep dengan lincahnya menggoda Ceyda untuk mengajak Rangga. Menurutnya, liburan berdua dengan Rangga pasti akan menjadi pengalaman romantis, terlebih lagi jika mereka menyaksikan kembang api bersama-sama.

Wajah Ceyda memerah, dan tanpa sadar ia menyodok lembut rusuk Zeynep sebagai reaksi spontan. Namun, temannya justru semakin bersuka cita dalam menggodanya. Tiba-tiba, di tengah-tengah candaan mereka, terdengar suara ponsel Ceyda berbunyi. Sebuah senyum sumringah melintas di wajah Ceyda saat membaca nama ayahnya, Tuan Bayram Elmas, yang terpampang di layar ponsel. Tanpa ragu, Ceyda mengangkat telepon, memasuki pembicaraan dengan ayahnya, sementara Zeynep memutuskan untuk diam, menghormati dan memberi ruang pada percakapan Ceyda dengan sang ayah.

Suasana riang dan penuh keceriaan menyertai obrolan Ceyda dengan ayahnya. Mereka saling bertukar kabar dengan penuh kehangatan, melepaskan kerinduan yang selama ini terpendam. Tiba-tiba, dalam keseruannya, Tuan Bayram memberikan sebuah berita mengejutkan dan menggembirakan yang membuat wajah Ceyda bersemu bahagia. Selesai mengobrol, Ceyda menyampaikan salam dan menutup teleponnya dengan senyum yang mekar di wajahnya.

Zeynep, yang sejak tadi memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu, akhirnya tak tahan dan bertanya, “Senin baban ne konuşuyordu? Çok mutlu görünüyorsun.”[2]

Ceyda, tanpa bisa menyembunyikan kegembiraannya, membagikan berita yang baru saja didapatnya, “Dia mau datang ke Istanbul pada saat Hari Republik nanti, jadi aku tidak akan sendirian!” serunya penuh kegirangan.

“Oh, begitu,” kata Zeynep pura-pura kecewa, meskipun sebenarnya senang atas kebahagiaan Ceyda, “enggak jadi jalan sama Rangga, dong.”

Ceyda dengan spontan mencubit paha Zeynep hingga sahabatnya mengaduh. Sambil mengusap-usap pahanya, Zeynep bertanya dengan wajah polos, “Lalu, ayahmu datang bersama ibumu dan adikmu juga?”

Ceyda menggeleng, jilbabnya bergerak lembut seiring gerakan kepala, “Tidak, cuma ayahku saja. Ibuku dan adikku tetap tinggal di rumah. Aku sudah tidak sabar. Kamu tahu, ini pertama kalinya seumur hidup ayahku pergi ke Istanbul!”

Wajah terkesan Zeynep memperlihatkan keterkejutan dan kebahagiaan, “Jadi, akhirnya ayahmu mau datang juga ke Istanbul. Padahal dulu kamu pernah cerita kalau beliau belum pernah ke sini seumur hidupnya, bahkan meniatkannya untuk datang sekali pun juga tidak mau. Kok tumben?”

"Bilmiyorum,"[3] Ceyda mengangkat bahunya, merenung dalam kenangan tentang masa-masa terakhir di kelas tiga SMA, menjelang kelulusannya. Saat itu, terjadi pertengkaran hebat dengan ayahnya ketika Ceyda mengungkapkan niatnya untuk berangkat ke Istanbul setelah berhasil mendapatkan beasiswa ke Bogazici. Kejadian dramatis ini sudah pernah dia ceritakan kepada Zeynep sekitar satu tahun yang lalu, membuat sahabatnya itu sudah mengetahui peristiwa emosional tersebut. Namun, yang tidak Zeynep ketahui adalah bahwa Ceyda juga sudah berbagi kisah masa lalunya kepada Rangga beberapa waktu yang lalu.

“Ayahmu tidak bermaksud mencari mantan istrinya, kan?” ujar Zeynep, mencoba meredakan rasa penasaran dalam hatinya.

“Mana mungkinlah!” sergah Ceyda dengan mantap. “Dia cuma mau liburan bersamaku kok, menebus rasa kangen. Ayahku sangat setia dengan ibuku. Mana mau dia repot-repot mencari mantan istrinya di sini?”

“Iya, iya, aku paham,” kata Zeynep sambil tersenyum, “eh, tapi aku penasaran, kira-kira ibu kandung kamu seperti apa, ya?”

Zeynep melontarkan tebakan sambil mencoba membayangkan sosok wanita yang pernah menjadi bagian dari hidup ayah Ceyda. “Dia tinggal di mana ya di sini? Apakah kalian pernah berpapasan secara tidak sengaja?”

Ceyda mengangkat alisnya, “Mungkin saja, tapi aku tidak peduli dia mau tinggal di mana. Aku tidak pernah berniat mencarinya. Pokoknya, aku datang ke Istanbul ini hanya untuk kuliah, dan begitu lulus, aku akan kembali ke Adana, mengajar sebagai guru di sana!”

“Baiklah, Bu Guru Ceyda,” goda Zeynep sambil menjawil hidung Ceyda dengan jari-jarinya, “kalau sudah jadi guru, tolong jangan galak-galak sama anak-anak!”

“Memangnya galakan aku atau kamu?” Ceyda berkata sambil tersenyum, menggoda sahabatnya.

“Sen!”[4] sahut Zeynep.

Lihat selengkapnya