Pada Hari Republik yang penuh makna, Taksim Square menjadi saksi dari megahnya upacara bendera. Para pejabat pemerintah dan militer, bersama seluruh warga Istanbul, berbondong-bondong hadir untuk menyaksikan momen bersejarah ini. Di puncak podium, Tuan Emre, wali kota yang begitu dihormati oleh masyarakat Istanbul, berdiri dengan gagah, memberikan pidato yang penuh semangat tentang kemerdekaan bangsa Turki dan perjuangan pahlawan yang telah berjuang melepaskan Turki dari belenggu penjajahan pasca Perang Dunia I dan kekalahan Utsmaniyah.
Suasana di Taksim Square memukau, dihiasi oleh warna-warni bendera, sorak sorai warga, dan mata yang penuh dengan semangat nasionalisme. Pidato Tuan Emre menggetarkan hati setiap pendengar, meresapi mereka dengan kebanggaan akan kemerdekaan yang telah diraih dan pentingnya menjaga warisan republik untuk generasi mendatang.
Tengah berada di kerumunan yang memadati Taksim Square, Tuan Bayram dan Ceyda dengan tekun menyaksikan pidato Tuan Emre dari kejauhan. Mereka menyerap setiap kata yang diucapkan, terpaku oleh semangat kebangsaan yang terasa begitu mendalam. Setelah pidato berakhir, suasana semakin hidup dengan dimulainya pawai militer yang megah, menampilkan keagungan dan ketangguhan militer Turki. Setiap cabang angkatan bersenjata turut ambil bagian, menambah kebanggaan setiap warga yang menyaksikan.
Ketika kendaraan-kendaraan militer melintas dengan gagahnya, Tuan Bayram tidak bisa menyembunyikan kagumnya. Pemandangan ini benar-benar baru baginya, bahkan di Adana pun belum pernah ia saksikan yang sebesar ini. Rasa kagumnya semakin tumbuh melihat barisan prajurit yang gagah berjalan, dan dia merasa bangga sebagai warga negara Turki.
Pawai militer berlangsung hingga tengah hari, membuat Ceyda dan Tuan Bayram merasa lapar. Mereka memutuskan untuk mencari restoran di Istiklal Avenue yang enak dan terjangkau. Berjalan melalui kerumunan yang berjubel, mereka akhirnya tiba di depan Istanbul Delights Restaurant, sebuah tempat yang menawarkan kuliner khas Turki dengan sentuhan modern.
Restoran ini menyajikan hidangan lezat mulai dari kebab menggoda hingga hidangan laut segar. Dengan dua pilihan area, area terbuka di pinggir Istiklal Avenue dan area dalam gedung yang indah, restoran ini menjadi pusat perhatian para pengunjung yang ingin bersantap setelah menyaksikan pawai militer.
Tuan Bayram dan Ceyda memilih duduk di area terbuka, ingin menikmati udara segar dan merasakan kehidupan yang ramai di Istiklal Avenue. Seorang pelayan berpakaian rapi mendekati mereka dengan senyum ramah, menawarkan menu pesanan. Keduanya memilih untuk mencoba sigara boregi[1] yang lezat, kisir[2] , serta minuman salgam suyu[3] dan suszme yogurtlu icecek[4].
Dalam percakapan yang asyik, mereka merencanakan destinasi perjalanan kedua mereka di Istanbul, berbagi cerita, dan bahkan melakukan video call dengan ibu dan adik Ceyda, Nyonya Nurten Elmas dan Ceren Elmas. Suasana hangat dan penuh canda tawa menghubungkan mereka meski berada di tempat yang berjarak.
Selesai menikmati santapan di Istanbul Delights Restaurant, Tuan Bayram dan Ceyda melanjutkan perjalanan mereka. Destinasi pertama adalah Istana Dolmabahce, sebuah bangunan megah yang dibangun pada abad ke-19 untuk menggantikan Istana Topkapi sebagai tempat tinggal sultan-sultan Utsmaniyah. Arsitektur neo-barok dan neo-klasik istana ini memikat perhatian, mencerminkan pengaruh bangunan Eropa pada masa itu.
Setelah mengagumi keindahan Istana Dolmabahce, Tuan Bayram dan Ceyda melanjutkan perjalanan mereka ke tujuan kedua, yaitu Masjid Suleymaniye. Masjid ini dirancang oleh arsitek terkenal, Mimar Sinan, dengan gaya arsitektur Utsmaniyah yang khas. Kubah dan menara masjid menciptakan siluet yang megah di langit Istanbul, menonjol sebagai salah satu landmark kota ini. Begitu masuk ke dalam masjid, mereka disambut oleh interior yang menakjubkan, dihiasi dengan kaligrafi yang indah dan ubin-ubin artistik yang memperkaya keindahan tempat ibadah ini. Tuan Bayram dan Ceyda memutuskan untuk melaksanakan salat di sana, menyerap ketenangan dan kekhidmatan dalam suasana yang sarat sejarah.
Setelah selesai dari Masjid Suleymaniye, langkah mereka selanjutnya menuju Grand Bazaar. Seiring langkah mereka menjelajahi pasar yang legendaris ini, Tuan Bayram berkesempatan untuk memilih beberapa oleh-oleh khas Turki, seperti suvenir unik dan kue-kue lezat yang akan dihadiahkan kepada Nyonya Nurten dan Ceren di Adana. Grand Bazaar yang ramai dengan aktivitas menjual dan membeli menciptakan suasana yang hidup dan berwarna, dengan aroma rempah-rempah dan warna-warni barang dagangan yang menghiasi setiap toko.
Dengan beberapa oleh-oleh yang berhasil dipilih, mereka kembali ke Apartemen Ipek pada sore hari. Tuan Bayram merasa kelelahan dan berkeinginan untuk beristirahat sejenak sebelum perjalanan pulang ke Adana. Besok pagi, dia berencana naik bus dari Terminal Bus Esenler. Di dalam unit Ceyda, Tuan Bayram mengambil kamar tidur Ceyda untuk beristirahat, sementara Ceyda sendiri memilih tidur di ruang tamu. Meski Tuan Bayram sempat menawarkan kamar tidur, Ceyda tegas menolak. Dia merasa bahwa Tuan Bayram seharusnya lebih nyaman di kamar tidurnya sebagai bentuk penghormatan dan bakti kepada ayahnya.
Ketika malam tiba, suasana di Apartemen Ipek menjadi hangat dan penuh kasih. Ceyda, dengan penuh dedikasi, memutuskan untuk membelikan hidangan spesial untuk Tuan Bayram. Menu pilihan yang dibeli malam itu adalah kebab Adana, hidangan khas dari kota Adana yang terkenal. Daging cincang yang dicampur dengan rempah-rempah seperti paprika, bawang, dan mint, kemudian dipanggang hingga matang, dan disajikan bersama nasi, menciptakan aroma yang menggoda selera. Selain kebab Adana, Ceyda juga menyiapkan hidangan sampingan, mutabbal atau terong bakar yang dicampur dengan yoghurt, lemon, dan bawang putih. Sebagai pendamping, Ceyda juga menyajikan ayran, minuman segar yang sempurna untuk menyempurnakan hidangan lezat itu. Ceyda membeli semua hidangan spesial itu dari restoran Turki yang dikelola oleh Imam Evren.
Setelah hidangan makan malam selesai disiapkan, Tuan Bayram dan Ceyda duduk bersama di meja makan yang telah disajikan dengan hidangan kebab Adana, mutabbal, dan dua gelas ayran yang menyegarkan. Mereka memulai menyantap hidangan tersebut bersama-sama, menikmati aroma rempah-rempah yang menggoda dan rasa lezat yang terpancar dari makanan-makanan itu. Tuan Bayram dengan hati senang mencicipi setiap sajian, kemudian tanpa ragu mengutarakan pujian.
"Rasanya kebab Adana-nya enak sekali," ucap Tuan Bayram sambil tersenyum lembut, tatapan penuh kehangatan terpancar dari matanya. “Kamu lagi kangen sama rumah, ya?”
Ceyda terkikik, “Siapa yang enggak kangen sama rumah, Ayah? Aku kangen sama Ayah, Ibu, dan juga Ceren.”
“Ibu yang mana, nih, yang kamu kangenin?” goda Tuan Bayram, mencoba mengajak bercanda putrinya. “Apakah ibu kamu yang bernama Nurten atau seorang “ibu” yang lain?”
Ceyda tersenyum kembali, menjawab dengan nada penuh kelembutan, "Tentu saja, ibuku yang bernama Nurten, bukan “ibu” yang lain."
Tuan Bayram tak dapat menahan tawa geli melihat ekspresi lembut putrinya. Namun, suasana berubah ketika Tuan Bayram melihatnya dengan tatapan yang lebih serius.
“Tapi, anakku, apakah pernah terpikirkan olehmu, jika suatu hari kamu bertemu dengan ibu kandungmu secara tidak sengaja di sini?”
Ceyda menarik napas pelan-pelan, meresapi pertanyaan yang menghantui. "Kadang-kadang terpikirkan," ucapnya setelah beberapa saat, "tapi aku memutuskan untuk tidak peduli. Sesuai dengan tekadku sebelum berangkat ke Istanbul pertama kali, Ayah, bahwa aku tidak pernah berminat untuk mencari ibu kandungku."
“Kalau ternyata kamu bertemu dengan dia, apa yang akan kamu katakan padanya?” Tuan Bayram bertanya, memasuki ranah pemikiran yang lebih dalam.
Ceyda merenung sejenak, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati, "Hm, mungkin aku akan bilang terima kasih pernah melahirkan aku. Dan sekarang aku hidup bahagia bersama dengan ayahku, ibuku, dan adikku," jawabnya akhirnya dengan penuh pemikiran. Suara Ceyda memperlihatkan keberanian dan ketenangan dalam menghadapi kemungkinan pertemuan dengan masa lalunya.
“Nurten üvey annen olmasına rağmen ve Ceren, senin birader tarafından kuzenin olsa da?”[5] Tuan Bayram bertanya dengan suara lembut
Ceyda menjawab dengan penuh keyakinan, “Karena mereka sudah aku anggap sebagai ibu kandung dan saudari kandungku. Aku hidup bersama mereka, di bawah bimbingan Ayah. Kita tumbuh menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia. Walau hidup kita sederhana, aku bahagia menjadi bagian dari keluarga Ayah. Aku bersyukur kepada Allah karena memiliki kalian semua sebagai keluargaku.”
Matanya berkaca-kaca, dan setiap kata yang diucapkannya membawa rasa syukur dan kebahagiaan yang mendalam. Tuan Bayram merasakan getaran emosi yang tulus di dalam dada Ceyda, membuat hatinya terenyuh.
Melihat wajah Ceyda yang memancarkan keikhlasan, Tuan Bayram tak bisa menahan ingatannya yang kembali terbuka tentang masa lalu dan luka batin yang pernah terpendam. Wajah Ceyda, dengan kecantikan yang kini dijaga oleh jilbab yang menutupi kepalanya, memunculkan bayangan seorang wanita dari masa lalunya. Wanita yang pernah menjadi magnet daya tarik bagi banyak pria di Adana.
Tuan Bayram menggenggam tangan putrinya dengan lembut, menyampaikan kehangatan dan dukungan, “Nak, Ayah minta maaf sekali lagi tentang pertengkaran kita waktu itu.”
Ceyda menjawab dengan bijaksana, menghapus air matanya yang mulai berlinang, “Ayah, itu kan dua tahun yang lalu. Kita sudah saling memaafkan. Ayah tidak usah merisaukan masalah itu lagi. Aku tidak apa-apa, kok.”