Suasana di Terminal Bus Esenler tetap ramai seperti hari pertama Tuan Bayram tiba. Tiba di terminal, Tuan Bayram harus berpisah dengan putrinya. Kata-kata perpisahan diucapkan dengan penuh haru, mengandung rindu yang akan tumbuh seiring waktu. Mereka akan bertemu lagi pada saat liburan musim panas. Air mata memenuhi mata Ceyda, merindukan ayahnya yang harus kembali ke Adana setelah tiga hari pertemuan yang singkat.
“Sevgili kızım, çalışkan olmayı öğren,”[1] kata Tuan Bayram sambil mengelus kepala Ceyda yang terbalut jilbab, memberikan dukungan dan motivasi terakhir sebelum berpisah lagi.
“Selamat jalan, Ayah, hati-hati di jalan,” isak Ceyda, suara getirnya terdengar di antara keramaian terminal.
Tuan Bayram tersenyum hangat, melambaikan tangan kepada Ceyda sebelum masuk ke dalam terminal menuju platform bus yang akan membawanya pulang ke Adana. Di dalam hatinya, ada perasaan kesepian dan hampa. Pertemuan singkat dengan ayahnya di Istanbul terasa seperti mimpi yang cepat berlalu. Ceyda merindukan saat-saat bersama ayahnya. Seandainya dia memiliki sayap, dia ingin terbang pulang ke Adana bersama Tuan Bayram. Ceyda menghela napas panjang, menguatkan dirinya sendiri untuk bersabar dan menyelesaikan dua tahun kuliahnya yang tersisa.
Ceyda memutar arah, langkahnya meluncur ke stasiun metro di bawah tanah. Dengan lembut, dia menyelipkan ponselnya dari dalam tas dan melirik layar. Zeynep, sahabatnya, belum kembali dari Ankara dan baru akan datang esok hari. Ceyda, merasa tak ingin menyendiri di apartemen, mendambakan kehangatan teman. Dia berniat menghabiskan hari terakhir liburannya di luar, menikmati suasana. Rangga, sosok yang terlintas dalam pikirannya. Apakah Rangga masih sibuk di stand Indonesia? Apakah kedatangannya akan mengganggu kegiatan Rangga?
Saat pengumuman menggema di dalam gerbong kereta jalur M2 yang membawanya, menyatakan bahwa Stasiun Metro Taksim akan segera tiba, Ceyda dengan sigap berdiri dan menatap pintu yang akan segera terbuka. Sambil bersiap-siap, ponselnya dipegang erat, pesan untuk Rangga sedang diketik dengan cepat. Ceyda memberitahu rencananya untuk berkunjung ke stand Indonesia.
Di dalam tenda stand Indonesia, suasana masih seceria dan semeriah hari-hari sebelumnya. Orang-orang Turki setempat memenuhi area itu, penasaran dengan ragam kuliner dan produk Indonesia yang dipamerkan. Rangga, bersama teman-teman panitia lainnya, aktif melayani para pengunjung. Ketika tengah memberikan penjelasan mengenai sejarah wayang kulit kepada seorang pengunjung, salah seorang anggota panitia mendekat dan berbicara pelan di telinga Rangga.
“Ada seorang gadis yang menunggu di depan stand.”
Rangga terkejut dan bingung, "Siapa, Ren?"
“Namanya Ceyda, dia mengatakan bahwa dia adalah teman kamu.”
“Oh,” Rangga tertawa, “baiklah, nanti aku ke sana. Aku masih sedang menjelaskan kepada Bapak ini…”
"Sudah, biar aku saja yang menggantikan. Kamu samperin lah, kasihan dia, cantik-cantik kok dianggurin!" kata Rendra, rekan panitia Rangga.
Rangga dengan ramah meminta maaf kepada bapak pengunjung yang sebelumnya tengah mendengarkan penjelasannya tentang wayang kulit. Ia menjelaskan bahwa ada urusan mendesak yang memerlukan perhatiannya. Segera, Rendra mengambil alih tugasnya dan dengan sigap memberikan informasi kepada pengunjung tersebut.
Rangga berjalan melewati kerumunan pengunjung, menyelinap di antara meja-meja yang dipenuhi oleh beragam produk dan kuliner Indonesia. Di sudut stand, dia menemukan Ceyda, yang sedang berdiri sendirian, merenung pada foto-foto lanskap pemandangan alam Indonesia yang dipajang. Jiwa Rangga bergetar melihat keindahan dan kecantikan yang terpancar dari Ceyda. Tanpa ragu, Rangga mendekati Ceyda dan bersuara pelan dekat telinga gadis itu.
"Do you like the photos?"[2] bisiknya, senyum lembut terukir di wajahnya.
Ceyda terperanjat, menengok ke belakang dengan pipi yang memerah. "Kamu mengagetkan aku!" serunya.
"Kenapa kamu sendirian? Ayah kamu sudah kamu antar pulang?" Rangga menunjukkan kepeduliannya pada Ceyda, memastikan bahwa gadis itu tidak merasa kesepian setelah kepergiannya.
"Iya," jawab Ceyda, mengangguk. "Tadi aku mengirim pesan untuk kamu. Belum kamu baca, ya?"
"Oh, ya?" Rangga mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mulai membacanya. Ada pesan dari Ceyda yang belum sempat ia baca karena sibuk sejak tadi. "Kamu mau mengajak aku jalan hari ini?" katanya, dengan senyum yang terukir di wajahnya setelah membaca pesan dari Ceyda.
“Itu kalau kamu tidak keberatan, tapi kamu pasti sibuk sekali. Aku tidak enak mengganggu kamu," kata Ceyda, sambil merasa ragu untuk mengusik kesibukan Rangga.
"Aku tidak keberatan, tapi aku minta izin dulu dengan teman-teman yang lain, ya?" kata Rangga, dan Ceyda mengangguk, memberi izin.
Ceyda menunggu dengan sabar ketika Rangga berbicara dengan teman-teman panitianya yang lain. Tidak lama kemudian, Rangga datang dengan wajah berseri. "Aku boleh jalan-jalan sama kamu. Bahkan aku dibebaskan untuk pergi bareng kamu seharian sampai malam. Mereka bilang, aku sudah banyak membantu di stand, jadi tidak ada masalah kalau aku pergi menemani kamu."
"Is that true?"[3] Ceyda merasa semangat dan bahagia. Rangga mengangguk dengan tulus, senyum manisnya terpancar. Ceyda lantas menarik lengan Rangga, membawanya ke tengah keramaian Taksim Square. Baginya, ini bukan hanya sekadar perjalanan biasa, melainkan sebuah pengalaman yang berkesan. Perjalanan bersama laki-laki yang telah mencuri hatinya.
Bertolak dari tempat stand Indonesia, Rangga dan Ceyda memutuskan untuk menjelajahi Basilica Cistern sebagai destinasi pertama perjalanan mereka. Dikenal sebagai Istana Air Bawah Tanah, tempat ini memiliki sejarah yang membentang hingga abad keenam masehi. Awalnya, Basilica Cistern dibangun untuk menyediakan cadangan air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kota Konstantinopel, terutama pada musim kemarau dan masa perang.
Terletak di bawah Sultanahmet Square, dekat dengan dua bangunan megah, Masjid Aya Sofia dan Masjid Sultan Ahmed, tempat ini memiliki dimensi yang mengesankan. Dengan panjang 138 meter dan lebar 65 meter, Basilica Cistern memiliki kapasitas untuk menampung lebih dari 80.000 kubik air. Strukturnya terdiri dari dinding-dinding yang terbuat dari bata dan batu, dengan kolom-kolom yang kokoh menopang atapnya. Keunikan tempat ini semakin terpancar dari keberadaan dua kolom berkepala Medusa yang diukir di bagian bawahnya. Seiring Rangga dan Ceyda memasuki ruang-ruang dalam Basilica Cistern, mereka merasakan kehadiran suasana yang mistis dan tenang, serta mendengar gemuruh air yang mengalir di bawah permukaan kota, memberikan nuansa magis pada pengalaman mereka.
Setelah menjelajahi keajaiban arsitektur dan sejarah di Basilica Cistern, Rangga dan Ceyda melanjutkan petualangan mereka menuju destinasi kedua, yaitu Museum Arkeologi Istanbul. Didirikan pada tahun 1881, museum ini bertindak sebagai penjaga berbagai artefak arkeologi dari berbagai peradaban kuno, termasuk Mesir, Romawi, Yunani, Anatolia, dan Timur Tengah. Artefak-artefak paling terkenal di antaranya adalah Sarkofagus Alexander dan Tabut Perjanjian. Saat Rangga dan Ceyda melangkahkan kaki ke dalam museum, mereka dihantui oleh kekayaan pengetahuan tentang sejarah dan arkeologi peradaban-peradaban yang pernah menghuni bumi ini. Pengalaman mendalam dan beragam ini memberikan sentuhan yang mendalam pada perjalanan mereka, memberikan nuansa pendidikan dan hiburan sekaligus.
Mengarahkan langkah mereka ke destinasi berikutnya, Rangga dan Ceyda memasuki Museum of Modern Art yang terletak di kawasan Karakoy, sebuah distrik yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keindahan distrik Beyoglu di Istanbul. Museum ini didirikan dengan tujuan mendorong dan mempromosikan seni kontemporer, baik yang berasal dari seniman lokal maupun internasional. Dengan bangga, museum ini menjulang tinggi dengan arsitektur modern yang mencerminkan estetika seni yang mengisi setiap sudutnya. Desainnya menciptakan ruang pameran yang fleksibel dan kontemporer, memberikan pengalaman unik bagi pengunjung.
Koleksi yang dipajang di dalam museum mencakup berbagai jenis seni, mulai dari lukisan, fotografi, instalasi, hingga karya seni multimedia. Rangga dan Ceyda menikmati keindahan visual yang terpampang di setiap dinding, meresapi kreativitas dan ekspresi seniman-seniman modern. Sejenak, mereka beristirahat di fasilitas kafe museum, menikmati segelas kopi sambil melihat pemandangan Selat Bosporus yang memukau.
Lepas dari Museum of Modern Art, perjalanan mereka melanjutkan ke Taman Emirgan, sebuah destinasi yang melambangkan keindahan alam di tengah kesibukan kota Istanbul. Terletak di distrik Emirgan, taman ini menjadi perwakilan dari ruang hijau terbesar di tepi selatan Selat Bosporus. Pepohonan tua yang menjulang tinggi dan rimbun, taman bunga yang memukau, serta pemandangan sungai Bosporus yang menakjubkan membuat Taman Emirgan menjadi tempat yang menenangkan dan memukau.
Pemandangan musim gugur yang menawan di taman ini membangkitkan kenangan Rangga dan Ceyda tentang saat-saat indah di Taman Bogazici. Mereka mengingat bagaimana mereka menjelajahi taman bersama, berolahraga, dan menikmati sarapan pagi di bawah sinar matahari pagi yang hangat. Ceyda tak melupakan momen khusus ketika dia tidak sengaja terjatuh, dan Rangga dengan penuh kelembutan menolongnya. Pada waktu itu, sebuah perasaan yang sulit diungkapkan mulai tumbuh dan menggetarkan jiwa mereka.
Perasaan itu, kemudian, kembali memenuhi ruang ketika mereka duduk bersama di ruang tamu apartemen Rangga. Rangga mengusap lembut air mata Ceyda, dan dengan tulus mengungkapkan perasaannya kepadanya. Ceyda, sebagai jawaban atas perasaan yang sama, memberikan sebuah kecupan lembut di pipi Rangga. Mereka berdua berbagi momen yang indah sebelum akhirnya berpisah untuk mengucapkan selamat malam. Suasana romantis dan tulus pun menyelimuti mereka dalam kesepakatan perasaan yang tumbuh di antara mereka berdua.
Rangga dan Ceyda berjalan di antara pohon-pohon tua di Taman Emirgan, yang daun-daunnya jatuh membentuk permadani alami yang menakjubkan di sepanjang jalur-jalur taman. Mereka tak henti-hentinya terpesona oleh keindahan alam di sekitar mereka, merasakan hembusan angin yang membawa aroma khas musim gugur. Selanjutnya, langkah mereka membawa mereka mengelilingi danau kecil yang menampilkan pemandangan air yang tenang di tengah taman. Melewati jembatan yang elegan melintasi danau tersebut, Rangga dan Ceyda menikmati momen romantis di bawah sinar matahari yang semakin redup menjelang senja.
Selama perjalanan di sepanjang danau, mereka disuguhi oleh keindahan bunga crysanthemum yang mekar di musim gugur, memberikan sentuhan warna cerah yang memikat. Mereka merasa seakan-akan tengah berada di dalam lukisan alam yang hidup, diwarnai oleh nuansa keemasan dan kemerahan yang memukau. Setelah menjelajahi setiap sudut taman, Rangga dan Ceyda menemukan tempat duduk yang nyaman di taman. Mereka duduk bersama, menikmati keindahan alam sambil berbincang-bincang ringan, menyatu dengan suasana damai menjelang senja di Taman Emirgan.