Ujung malam, disebuah kotak kecil bertuliskan ATM, decak kagumku membuih tanpa tepi. Air rupiah membanjiri rekeningku nyaris tanpa henti. Keangkuhan makin meraja. Ku yakinkan diri ini, bahwa semua yang kami dapat sekarang adalah hasil kerja keras kami sendiri. Tak sejumput pun do’a kami selipkan dalam perjuangan ini. Telah kubuktikan pada dunia, bahwa aku bisa berhasil meski tanpa pertolonganNya barang secuil. Aku telah berhasil menunjukan pada dunia bahwa kita manusia, bisa hidup tanpa Tuhan.
Diluar kotak, fajar menggandeng lengan malam, mengajaknya menepikan peran. Semburat merah kuning mulai membercak di timur langit Bandung. Manugaga[1] terkekeh menertawakan manusia yang masih saja berselimut lelap. Choir belasan kenari di lengan ketapang melagukan komposisi oranye, meningkahi gelatik yang tak kunjung diam, melompat dari satu dahan ke dahan lainnya sekedar mencari anak jangkrik yang tersesat. Pagelaran semesta yang mempersona.
Geming, ku tak perduli dengan pertunjukan indah itu. Aku yang tengah mabuk kemenangan, menepuk dada dengan angkuh, mendongak menantang langit dengan puas. Keangkuhan yang indah pikirku.
Namun keangkuhan itu terkoyak untuk sementara waktu, saat tangan kecil itu mengetuk-ngetuk pintu kaca. Ternyata Fauzi. Kubuka pintu kaca itu dan kudapati wajah pucatnya yang nyaris tanpa darah. Nafasnya terengah-engah setelah berlari mencariku kesana kemari.
“Ada apa Zi?” tanyaku tak sabar..
“Aisyah Ka...Aisyah...”
“Kenapa Aisyah Zi ... kenapa?”
“Aisyah panas lagi Ka...dia nyebut-nyebut nama Kakak terus...kasian Kak,” nafasnya kembali tersengal.
Panah kelodan menjilat bantinku yang tengah dimabuk keangkuhan. Hatiku lunglai sekaligus geram. Tanpa pikir panjang lagi, segera ku berlari dan terus berlari mendatangi rembulanku yang katanya tak henti memanggil-manggil namaku.
Sesampainya di kamar Aisyah, kudapati anak-anak panti sedang mengerubungi tubuh mungil yang menggigil itu. Seperti semak yang menguak, mereka memberiku jalan untuk menghampiri tubuh rembulanku yang terkulai.
“Aisyah...kenapa Aisyah...? Ayo kita ke dokter !” ajakku cemas.
Seribu tanya menghinggapiku. Kondisi Aisyah baik-baik saja setelah minum obat dari dokter tiga hari yang lalu. Kini, tiba-tiba kondisinya kembali drop. Aku benar-benar bingung.
Kudekap erat tubuh rembulanku yang panas menggigil itu. Kurasakan kepalanya lemah menggeleng.
“Kenapa Aisyah...?, kenapa ga mau? Ayo kita ke dokter kamu pasti sembuh.” Semburatku di sela-sela gelegak tangis yang tiba-tiba saja merajai jiwaku.
“Aisyah mau pulang Kak...” bisiknya nyaris tak terdengar. “Tapi Aisyah ingin ketemu Kakak dulu.” Tangisku tak terbendung lagi, tumpah ruah membasahi tubuh rembulanku yang ingin pulang.
“Jangan bicara seperti itu Aisyah, kamu pasti sembuh...percaya sama Kakak”, teriakku dalam isak yang tersendat.
“Aisyah pamit Kak...Kakak baik sekali...Aisyah sayang sama Kakak...” suaranya semakin melambat.
“Laa ilaaha illallah...,” desah nafasnya kian memburu.
“Laa ilaaha illallah...,” semakin pelan nyanyian pengiris kalbu itu.
“Laa.....ilaaha....illalllaaaaah....” seulas senyum rembulan melukisi bibir kecilnya yang lucu. Dan tubuh itu pun kini terkulai dalam dekapku. Ruh sucinya telah pergi pulang untuk selamanya. Pulang ke rumah azalinya. Pulang ke rengkuhan-Nya.