Air Mata Bintang

kieva aulian
Chapter #2

Filsuf Itu, Namanya Ervan...

...Satu Setengah Tahun Sebelumnya...Saat Semua Cerita Berawal...

Dua belas Januari 1998, Bandung terbakar. Matahari begitu lalim mendera tubuh manusia kota. Liar mengakari tanah kota yang kerontang. Menanak telapak para pejalan kaki hingga menginjit. Merebus ubun-ubun tanpa ampun hingga berdenyut dan siap meledak. Matahari mendesak amarah menuju kemunca. Kali ini, kemarau panjang yang renta seperti enggan turun panggung.

Angin yang sesekali sepoi menginterupsi tak mampu mengusir gerah dunia yang berpeluh. Angin menyeduh debu jadi beliung, berputar, bertiup menghinggapi paru-paru manusia kota. Mikail tak kunjung datang memerintahkan awan pembawa air untuk menangis. Biru langit, lazuardi yang beringsang. Menunggu hujan bak menunggu godot. Alam sedang tak mau berbincang, tak mau berempati pada keluh kesah warga kota yang geram.

Tak hanya jalanan kota, kampus, rumah kedua kami pun membara terbakar bahang matahari yang garang. Sekretariat Senat Mahasiswa Fikom pun turut berpeluh. Deretan pohon beringin tak mampu menjadi payung udara yang menenteramkan. Dedaun yang bergantung di dedahannya malah menjerit diterkam terik yang mencekik. Mereka tak berdaya untuk sekedar melindungi bayang manusia yang terserimpung elusif.

Sekretariat yang menggelegak berubah jadi neraka. Perdebatan panas yang entah kapan dimulai, adalah penanggungjawab terciptanya neraka di ruang sempit yang pengap itu. Panasnya matahari berbaur dengan hawa panas perdebatan yang entah kapan akan berakhir.

Namun di tengah gelegak panas yang mencengkeram itu, segenap panca inderaku terpusat pada satu nama, ...Ervan. Tak bisa kupungkiri, otakku terpesona oleh tutur katanya yang rapi tersusun, seperti deretan gunung yang rapih antri di pegunungan Dieng atau seperti pelangi sore seusai gerimis. Senyumnya senantiasa terkembang meski kata-kata yang meluncur dari mulutnya adalah kata-kata yang berat. Dimataku, ia seperti Plato atau Socrates yang sedang nyaru jadi mahasiswa.

Dengan kaos oblong merah kontras bertuliskan “God was Death” ia menjadi episentrum debat yang membius. Keterpesonaanku bercampur dengan kekagetan, karena sosok Ervan yang baru tiga bulan lalu aku kenal itu adalah sosok pendiam yang sangat irit bertutur kata, namun diluar dugaanku, siang itu dia berorasi dengan bernas.

“Apa kalian pikir, cuma kalian orang-orang beragama saja yang bermoral? Jangan sotoy deh!” gelegar suara Ervan memenuhi ruang sekretariat yang sempit.

“Hei...jaga mulut kau tuh!” bentak Tompul lengkap dengan intonasi Bataknya.

“Sabar Bang...jangan pake marah, kita lagi debat ini.” Soni mencoba menenangkan.

“Aku tak sedang marah Son, memang begini cakapku. Ah...kau kaya baru kenal aku aja”, balas Tompul kali ini dengan seringainya.

 “Begini Bang, bukan cuma aku yang bilang seperti itu, Imam Ghazali , tokoh besar dan berpengaruh dalam dunia Islam juga pernah menulis seperti itu,” ujar Ervan dengan santun.

“Ah, kapan Imam Ghazali bilang seperti itu?” Tompul masih dengan kegeramannya.

Lihat selengkapnya