Air Mata Bintang

kieva aulian
Chapter #3

Masjidku Hanyut

Kulepaskan sepatu belelku, kugeletakkan begitu saja di lantai semen halaman masjid. Tak kutengok rak-rak berjajar rapi bertuliskan Tempat Penitipan Sandal/Sepatu. Aku tak perduli, tak ingin sedikit pun aku tertinggal paparan Ustadz Rahman. Tak kan kuizinkan sepatah kata pun yang keluar meluncur mulus dari lisannya tanpa aku merekamnya dalam lubuk sanubari terdalamku.

Kutengokkan kepalaku lewat pintu masjid yang anggun, rupanya acara belum dimulai tapi jamaah yang sebagian besar adalah para mahasiswi berjilbab dan mahasiswa berkupiah putih telah memenuhi ruangan masjid, bahkan ada juga Ibu-Ibu berseragam majelis taklim hadir disana. Mereka adalah Ibu-Ibu pengajian murid setia Ustadz Rahman, mereka rela jauh-jauh datang hanya untuk mendengarkan siraman sejuk ustadz Rahman. Hebat nian Ustadz yang satu ini gumamku.

Untuk menghilangkan penat yang tumbuh liar di otakku akibat terjerumus debat panas tadi, ku hampiri dingin tempat wudlu. Tempat wudlu di samping kanan masjid kampus yang megah ini. Dindingnya berkeramik warna hijau teduh diselingi keramik kuning bermotif bunga memanjang memenuhi lorong yang wangi.

Belum lagi kulit ini tersentuh dinginnya air wudlu, hatiku sudah nyes...begitu memasuki lorong hijau nan wangi itu. Deretan kran putih berjajar rapih tak kenal lelah membasahi hati-hati yang merindu. Entah kenapa kran yang satu ini selalu menjadi pilihanku, kran putih di lorong ke tiga urutan ke tiga, sungguh sebuah kebiasaan yang aneh.

Kusapa kran itu dalam hati, lalu kumintai izin untuk membukanya seraya ucapan basmalah meluncur lembut lewat mulut kotorku. Terasa ada yang meluncur lewat sela-sela jari dan pori-pori kulitku yang kusam terbakar matahari dunia yang ganas.

Ketika air itu membasuh kepalaku, terasa ada yang meluncur deras keluar dari ujung-ujung rambutku yang kusam. Rupanya yang meluncur deras itu adalah kata-kata indah Ervan...ya...kata-kata itu...meluncur deras lepas tak tersisa dari benak kepalaku. Alhamdulillah lirihku....

Selepas wudlu, kucari tempat yang strategis di dalam masjid, strategis, karena dari tempat itu aku berharap dapat sepuasnya menikmati teduhnya wajah Ustadz Rahman. Alhamdulilah bisikku lagi ketika kudapati tempat yang kumaksud itu. Kudirikan shalat tahiyatul masjid 2 rakaat dengan penuh rasa tenang dan tenteram.

Tak ada lagi gelisah tersisa, yang kudapati hanyalah sesosok jiwa yang duduk terkulai di ruang jiwaku. Dia tertunduk lunglai mengakui segala kelemahan diri, namun dalam waktu bersamaan dia juga diselimuti rindu dendam untuk bertemu dengan sang Kekasih yang tak pernah henti bercurah cinta pada kehidupan. 

Aku seperti berada di telaga sejuk yang mengalirkan kedamaian. Sementara kakiku terendam airnya yang dingin menyejukan. Ujung-ujung jari kakiku berkecipak mengikuti nyanyian alam yang hening. Kuhirup dalam-dalam aroma cinta itu hingga benar-benar meresap ke segenap relung kalbu, hingga tak tersadarkan telah tiba waktu untuk berunjuk salam sebagai akhir dari perjalanan singkat cintaku.

Seorang ta’mir masjid naik ke podium, tampaknya dia akan segera membuka acara, namun belum kulihat sosok yang kukagumi itu. Tapi aku yakin dia akan datang, dia adalah orang yang selalu menepati janji, janji baginya adalah hutang kepada Allah yang harus selalu dibayar tepat pada waktunya. Dan ketika saatnya tiba, sesosok tubuh tegap keluar dari pintu mihrab yang berada di belakang podium...ya...Ustadz Rahman.

Gamis putih panjang sampai ke lutut menambah teduh sosok idolaku itu. Celana panjang hitam tegak rapih menutupi kakinya. Ia tampak begitu bersih...bahkan tampak suci dimataku. Sehelai sorban putih menutupi sebagian kepalanya bak mahkota raja yang menambah wibawanya. Entahlah...sosok Ustadz yang satu ini begitu mempesonaku, seringkali kerinduan mendera jiwaku untuk menatap wajah teduhnya, mendengar untaian kata-kata yang lembut keluar dari mulutnya dan kemudian menguntainya menjadi kalung mutiara kehidupanku.

Sudah lebih dari dua tahun aku menjadi murid Ustadz Rahman meski jarang bercakap-cakap secara khusus, kami saling mengenal dengan sangat baik. Beliau adalah guru sekaligus sahabatku. Meski tak pernah mampu kuselami kedalaman lubuk hatinya, tapi yang kutahu dia adalah manusia langka di zaman edan ini.

Dialah sosok yang selalu mengingatkanku bahwa Allah senantiasa dekat seberapa pun jauh kita meninggalkannya. Dia adalah sosok yang selalu mengingatkan bahwa Allah selalu merindu hamba-Nya untuk kembali mendekat sejauh apapun dia telah berpaling meninggalkanNya. Dia jugalah sosok yang selalu menumbuhkan harapan dibanding memunculkan ketakutan, dialah yang selalu melantunkan kesyahduan cinta Ilahi lewat dzikir-dzikir lembut, hampir di setiap akhir ceramahnya.

Lihat selengkapnya