Air Mata Bintang

kieva aulian
Chapter #6

Perdebatan Itu

Smsku memanggil, kutarik hp dari balik bantalku, nomor yang tak kukenal. Penasaran kubuka. Kubuka dengan hati berdebar entah kenapa.

Ervan: hallo Bin, sorry aku lancang ...aku dapat no hp kamu dari Alina...eh ntar datang kan di acara debatku sama Fadly di halaman depan Fisip jam 8 malem?”

Ervan...perdebatan...? Perdebatan macam apa yang akan mereka lakukan. Sejatinya aku sudah bosan dengan perdebatan-perdebatan semacam itu,

 Pikiranku menerawang jauh, untuk apa sebenarnya manusia berdebat , untuk meraih kemenangan? Ah terlalu naif rasanya bila kebenaran harus diidentikan dengan kemenangan. Apakah perdebatan itu untuk menunjukan eksistensi diri sebagai manusia pintar, ah... itu pun naif bagiku. Mempertontonkan kepintaran semata, justru adalah sebuah kebodohan. Pikiranku semakin jauh melantur, kenapa Allah tidak menciptakan semua manusia memiliki pendapat atau pemikiran yang sama saja agar tak perlu ada perdebatan apalagi peperangan yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Astaghfirullahal azhim...lirihku.

Aku teringat Simone Weil, filsuf Perancis yang dengan nyinyir menyentil para cerdik cendekia, Orang pintar yang membangga-banggakan kecerdasannya seperti seorang terpidana yang bangga dengan penjaranya yang besar.

Sejumput tanya kutujukan kepada diriku sendiri memang siapa kamu merasa lebih tahu dari Allah, bukankah kamu mengakui bahwa kamu tidak punya apa-apa, bahwa kamu tidak tahu apa-apa, jadi kenapa merasa lebih tahu dari Allah?. Istrigfar kembali kudendangkan. Apalagi, apa jadinya dunia dan kehidupan ini bila semua manusia diciptakan dalam keseragaman berfikir, tentu manusia tak akan pernah belajar dan manusia tidak akan pernah mengembangkan peradaban, peradaban lahir karena perbedaan.

Sekelebatan muncul pertanyaan, apa yang akan mereka perdebatkan?, jangan-jangan perdebatan tentang eksistensi Tuhan babak kedua, setelah hasil di babak pertama ku tak tahu hasilnya. Rasa penasaran tumbuh liar di jantungku. Tapi rasa takut pun muncul beriringan, takut bahwa pesona Ervan akan menumbangkan sisa-sisa kekuatan imanku, tapi lawannya si Fadly bukan orang sembarangan, ia lulusan pesantren ternama meski tak tuntas, dia juga mentor pengajian mahasiswa hampir di semua fakultas di kampus. Tak pantas aku meragukan kredibilitasnya. Ah..pasti seru nanti malam, maka kuputuskan untuk menghadirinya, seraya kutekan dua huruf di hpku “ok”.

*****

Jam 8 malam

Halaman Fisip memang tak terlalu luas, tapi cukup asri. Pohon kriminil hijau diselingi merah berderet mengikuti bentuk halaman yang didesign setengah lingkaran. Beberapa pinus merah dipotong lancip, berjejer rapi selang seling dengan pohon puring kuning putih. Dihiasi umpakan tangga lebar, kurang lebih 8 umpakan, sangat cocok untuk duduk-duduk sambil menikmati debat malam itu. Tiga meja dipasang tak jauh dari pintu masuk fakultas, sebuah posisi yang sangat sentral, dimana setiap mata yang duduk diumpakan menjadi fokus kearah para debator.

Pintar sekali pikirku orang yang mengatur acara ini. Ah..sungguh aku mahasiswa kurang gaul, ternyata rencana debat sudah banyak diketahui mahasiswa lain dari pamplet-pamplet yang dipasang di mading-mading fakultas, kemana saja aku ini?

Malam itu, setibanya di halaman Fisip, umpakan telah penuh dengan para mahasiswa yang ternyata sangat berminat mengikuti tema debat malam itu. Disebelah kanan tampak duduk berkerumun para aktivis KAMI sekaligus para aktivis Rohis kampus. Di umpakan tengah tampak para senior kampus, mereka adalah teman-teman aktivis demo yang juga cukup tertarik dengan tema debat malam ini. Di umpakan sebelah kiri tampak hanya segelintir mahasiswa saja, bahkan hanya sedikit dari mereka yang kukenal. Entah siapa mereka itu? Aku memilih duduk di umpakan sebelah kiri karena disana kurasa masih cukup nyaman meski aku tak mengenal mereka.

08.17 acara dimulai. Moderatornya tidak lain buaya seminar Mas Agung. Dia sangat terampil menyusun kata dan nafas dalam setiap acara formal maupun informal. Pilihan yang bagus pikirku. Dia duduk di meja tengah, di sebelah kirinya tampak duduk Fadly yang tampak agak sedikit gelisah, sementara disisi kanan tampak duduk tenang Ervan, teman kostanku yang baru. Tak sedikit pun kegelisahan nampak pada bahasa tubuhnya, mungkin dia sudah sering mengikuti dan menjadi pembicara dalam debat-debat seperti ini.

“Selamat malam rekan-rekan kutercinta, salam perjuangan...merdeka...” pekik mas Agung memecah kesunyian malam.

“Malam ini adalah malam yang bersejarah. Malam ini kita akan tancapkan tonggak sejarah baru di kampus kita ini, yakni budaya debat mencari kebenaran, ah... itu lagi pikirku kesal.

“Sebenarnya malam ini adalah episode kedua dari debat terdahulu yang secara informal dilakukan oleh kedua nara sumber kita ini. Tema perdebatan masih melanjutkan tema terdahulu yakni Adakah Tuhan? Sebelum acara dimulai, izinkan Saya menyampaikan harapan bahwa sejarah yang tengah kita gagas ini semoga menjadi awal terciptanya budaya dialogis yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral di kampus kita.” Beber Mas Agung dengan bernas.

“Satu lagi hal yang perlu Saya sampaikan, debat ini bukan debat formal. Masing-masing nara sumber dipersilahkan untuk saling berdebat secara langsung. Tugas Saya sebagai moderator hanyalah mengontrol agar debat tak keluar jalur. Semoga dapat dimengerti”

Debat dimulai, secara mengejutkan Fadly yang diberikan kesempatan pertama langsung mengajukan sebuah pertanyaan yang berkesan memancing.

“Saudara Ervan, apakah anda percaya bahwa Tuhan itu ada?” Hening sejenak

“Saya percaya Tuhan itu ada!” jawab Ervan dengan singkat namun penuh keyakinan.

Suasana seketika hening hingga kemudian terdengar teriakan entah dari umpakan mana

“ Ah debat macam apa ini, satu pertanyaan satu jawaban...dan semuanya selesai...ah ga seru, mending kita pulang aja,”

Aku sendiri bingung, apakah secepat itu Ervan berubah? Jangan-jangan Alina telah berhasil mengajaknya kembali ke jalan yang benar hingga membuat Ervan berubah sedemikian drastis. Kulihat Ervan duduk tenang dan masih dengan senyum khasnya itu.

Mas Agung mengambil alih,

 “ Tenang..tenang semua harap tenang” suasana pun mereda.

“ Saudara Ervan tolong lebih diperjelas atas jawaban saudara tadi, bukankah anda tahu bahwa perdebatan ini kita adakan karena waktu itu Anda menyatakan bahwa anda adalah seorang Ateis, alias tidak percaya Tuhan?”

“Baiklah Saya tegaskan sekali lagi, bahwa Saya percaya Tuhan...”, tegas Ervan. 

Hening kembali meraja, meski sejenak. Terdengar beberapa orang menahan nafas entah untuk apa.

” Saya percaya Tuhan, Tapi Tuhan yang kupercayai keberadaannya adalah Tuhan -Tuhan buatan manusia. Untuk Tuhan yang kalian anggap sebagai pencipta manusia? Jelas Saya tidak percaya. Jadi teman-teman... Saya tegaskan... manusialah yang menciptakan Tuhan, bukan Tuhan yang menciptakan manusia.” Ervan berhenti sejenak, desah nafasnya terdengar pelan teratur, sebelum kemudian kembali bernarasi.

“Aku percaya Tuhan-Tuhan yang kalian ciptakan, ada Tuhan Allah yang diciptakan oleh masyarakat gurun, Tuhan Yesus yang diciptakan kaum Nasrani. Tuhan uMvelingangi yang diciptakan orang Afrika, Allegany yang diciptakan orang Indian Kuno, tao, god dan Tuhan-Tuhan lain yang diciptakan manusia. Itulah Tuhan-Tuhan yang kupercayai eksistensinya.” Tampaknya semua mata dan telinga menyimak dengan penuh perhatian. Ervan kembali melanjutkan

“Teman-teman... Tuhan yang kalian sembah itu tak lain adalah mahluk yang kalian ciptakan sendiri, dia tidak pernah hidup sebelum kalian menghidupkannya. Lantas kalian sematkan sifat-sifat serba Maha padanya. Saking luhungnya, hingga kalian sendiri tak mampu menyentuhnya, dan kalian menjadi takut akan siksa dari Tuhan yang kalian ciptakan sendiri di ruang delusi kalian. Sejarah Tuhan adalah sejarah manusia, manusialah yang mencatat akta kelahiran Tuhan” pungkas Ervan untuk sesaat.

Fadly nampaknya mulai panas.

Lihat selengkapnya