Air Mata Bintang

kieva aulian
Chapter #7

Drama Yang Berat

Didorong rasa rindu yang merajam kuat, jam 8 pagi aku sudah tiba di gerbang rumah yatim piatu Ar-Rahmah. Dari halaman depan yang asri, terdengar riuh rendah anak-anak panti menghiasi pagi yang gerimis meski mentari tetap setia menemani. Sebuah pernikahan yang indah, yang melahirkan lengkungan-lengkungan pelangi di pagi hari yang hangat.

Assalaamu’alaikum”...sapaku hangat.

Wa’alaikum salam...eh kang Bintang apa kabar Kang...? “ lama ga kesini ..kemana aja?” tanya Ahmad, tangan kanan Ustadz Rahman untuk urusan mengelola rumah yatim piatu Ar-Rahmah.

 “ Oh...baik-baik aja Mad.” Begitulah Ahmad, usianya kurang lebih 5 tahun lebih muda dariku, dia kepala rumah tangga panti yang selalu hangat meski pagi lirih dengan gerimis. Kehangatannya mampu menyelimuti hatiku yang dingin karena gerimis setia menemani sejak subuh hingga pagi ini.

“Gimana anak-anak Mad?”

“Alhamdulillah semuanya sehat Kang. Eh...kang mereka sering nanyain Akang loh, kayanya sudah hampir sebulan Akang tidak mampir kesini , emang lagi sibuk banget ya?”

“Ah ga sibuk juga Mad, biasa aja. Cuma emang lagi banyak tugas nih jadi jarang deh kesini, eh..ngomong-ngomong Ustadz ada Mad?”

Blar....tiba-tiba halilintar membelah gerimis pagi. Seiring wajah hangat Ahmad berubah beku, dingin dan muram. Tanya menyelisik di hatiku, kenapa dengan Ahmad, kenapa wajahnya tiba-tiba berubah muram.

 “Oh beliau sedang ke Bekasi Kang...biasa ...eh..mengisi majelis taklim Ibu-Ibu disana” hela nafasnya terasa berat.

“Eh...kamu kenapa Mad?” akhirnya rasa penasaranku kuungkap juga.

“Ah...ga apa-apa Kang, tapi...Kang... bisa nggak kita bicara sebentar?”

“Oh boleh Mad, emang ada apa sih kayanya serius amat nih?”

Dia menarik tanganku meninggalkan ruang tamu dan memasuki kamarnya yang tidak jauh dari ruang penerima tamu. Dia segera menutup pintu kamarnya seolah dunia tak boleh mendengar apa yang akan dibicarakannya. Kami duduk di bangku plastik yang tersusun rapi di kamarnya yang tidak terlalu luas namun memang selalu rapih dan bersih.

“Begini Kang...Aku...Aku sudah nggak betah disini Kang...” .

”Hah...ga betah...? kamu kan selalu bilang padaku bahwa kamu amat mencintai panti dan anak-anak panti seperti kamu mencintai dirimu sendiri, dan kamu sendiri yang bilang kalau cinta kamu sama anak-anak panti itu cinta mati.? Apa kamu dah ga mau ngurus anak-anak lagi, atau kamu sudah dapat pekerjaan lain yang gajinya lebih gede?”

Hening sejenak, ada rasa bersalah menyelusup di hatiku, kenapa aku memotong pembicaraannya, kenapa aku langsung menghukuminya dengan bertubi-tubi sebelum dia bertutur lebih jauh tentang permasalahan yang dihadapinya.

“Kang...Kang Bintang sudah lama mengenal Saya, Kang Bintang tahu betul betapa cinta Saya pada mereka tak akan pernah lekang oleh waktu, Akang pasti tahu itu. Akang juga tahu, apa pun akan Saya lakukan untuk mereka, dan sampai detik ini cintaku tak pernah berkurang barang sedikit pun. Rasa cintaku pada mereka tak akan pernah luruh oleh panas dan hujan Kang.” Mulai lagi deh anak ini berpuisi, itulah hobbi Ahmad, itulah ciri khas Ahmad, puisi dan puisi. Sudah ratusan puisi ditulisnya dengan rapi di buku-buku tulis yang tersusun rapi di rak bukunya.

“Kang...justru karena aku mencintai mereka, maka aku harus meninggalkan rumah yatim ini”

“Wah..tunggu-tunggu Mad..aku bener-bener minta maaf tadi langsung nyalahin kamu. Begini Mad, aku tidak pernah meragukan ketulusan cintamu sama anak-anak tapi kenapa cintamu itu harus kamu buktikan justru dengan meninggalkan mereka, aku ga ngerti Mad?”

Ahmad menghela nafas panjang, sejurus kemudian dia mulai bertutur, “begini Kang...”

“Brak” tiba-tiba pintu kamar terbuka diiringi suara riuh,

“Kak Bintang...Kak Bintang...ko ga nyamperin kita sih...ayo Kak Bintang main sama kita.” Ya ampun ternyata anak-anak surga itu,

Lihat selengkapnya