Siang itu kuhubungi Alina lewat handphonenya , nanti malam aku akan datang ke rumah, akan kutemui orang tuanya dan akan kuminta restu keduanya. Alina tersentak, tidak menyangka aku akan melakukannya secepat itu, tapi akhirnya dia menyerah, dia pasrah atas apapun yang akan terjadi nanti. Dia pasrah bila orang tuanya ternyata tidak mau menerimaku, menerima pinanganku, dan bahkan mengusirku sekali pun. Kubulatkan tekad, malam ini aku harus melamarnya.
Sore itu kutunggangi motor bututku yang. pelan dan tenang kuarahkan menuju rumah orang tua Alina di daerah Cianjur, tepatnya desa Nangela. Cuaca cerah seakan menyatakan persetujuan terhadap niatku. Sesekali aku tersenyum sendiri mengingat apa yang akan aku lakukan, nekad tapi pasti mengasyikan.
Pukul 5 sore kumasuki gerbang Cianjur, bersih nan asri di sepanjang jalannya. Pepohonan yang rindang berjejer rapih memayungi jalan dengan keteduhannya yang menyejukan. Tak berama lama kemudian hamparan sawah mulai tampak menghijaukan mata. Kuhirup udara dalam-dalam....ah....sore yang indah.
Sesekali mataku nakal mencuri pandang pada hamparan karpet hijau kekuningan di sebelah kanan kiriku. Harus kuakui aku tergoda oleh pesona petakan sawah yang rapih itu, permadani hijau kekuningan itu seolah hasil goresan buah tangan para malaikat langit. Bagai permadani ia menyelimuti bumi dengan kesejukan. Hijau ...teduh dan tenang.
Masih tampak beberapa petani mencuci cangkul di air pancoran yang sejuk. Rasanya ingin ku menceburkan diri dan mandi berlama-lama dibawah air pancoran yang jernih itu, tanpa rasa malu akan ku telanjangi tubuhku dan kubiarkan setiap pori kulitku merasakan kesejukannya. Tak akan ku perdulikan tatapan mata orang-orang yang memelototi auratku bahkan cekikik perawan-perawan desa yang menatap geli pun tak akan ku perdulikan. Tapi...semua kegilaan itu hanya dalam angan.
Setelah bertanya pada beberapa orang di perjalanan, akhirnya kurang lebih pukul setengah tujuh malam, kutemukan rumah Alina. Rumah Haji Burhan tepatnya. Sempat ciut nyaliku melihat megahnya rumah H. Burhan yang berdiri megah diantara rumah-rumah panggung sederhana milik penduduk. Dia memang seorang tokoh masyarakat yang disegani, disegani karena kekayaannya dan juga karena kealimannya, begitu kata Alina tempo hari.
Ragu, ku keketuk pintu rumah yang terbuat dari kayu jati pilihan itu. Terucap salam dari mulutku. “Assalaamu’alaikum” satu dua kali, sampai akhirnya terdengar sahutan. Suara lembut yang menenggelamkan aku selama ini. Yaa...suara merdu Alina.
“Wa’alaikkum salam”, pintu perlahan terbuka dan munculah bidadari belahan hatiku itu dengan wajahnya yang memerah.
Alina dengan jilbabnya yang seratus kali menambah kecantikannya, jauh lebih cantik dibanding saat pertama kali ku mengenalnya. Waktu itu dia belum mengenakan jilbab sebagai mahkotanya dan terus terang kecintaanku padanya bertambah berlipat kali setelah dia mengenakan jilbab mahkotanya.
Dimataku, dengan mengenakan hijab, dia tampak jauh lebih cantik dan anggun. Matanya yang bulat nan teduh, bibirnya yang tipis seperti lengkungan pelangi di sore hari, tapi yang paling utama buatku adalah kemerduan suaranya terutama saat melantunkan ayat-ayat quran. Ah...sejuta mozart pun lewat sudah.
“Oh Kakak...masuk Kak...”
“Ok thanks ..apa kabar Na?”,
“Alhamdulilah, Kakak sendiri bagaimana?”
“Oh..baik..aku baik-baik saja...eh...ngomong-ngomong gimana, ortu kamu ada kan?”
“Oh ada Kak...silahkan duduk , sebentar Na panggilin Bapak”
Alina masuk dan hatiku mulai berdebar kencang, tsunami di hatiku mencampurbaurkan segala rasa. Ada gelisah disana, ada harap disana, ada takut disana ada pula khawatir, tapi ada rasa senang juga disana.
Kupandangi seisi rumah, tembok putih bersih dihiasi beberapa kaligrafi yang indah menggambarkan kepribadian sang pemilik rumah. Nah...itu dia foto keluarga besar Alina, aku coba menebak, itu mungkin H. Burhan, gagah berwibawa dengan jas hitam dan kopiah putihnya, itu mungkin Ibu Hajah Burhan, tipikal perempuan desa yang bersahaja dengan sorot mata teduh bagai lautan cinta tak bertepi. Itu mungkin Rasyad kakaknya Alina yang santri pesantren Quran Raudhatul Jannah. Perawakannya tegap dengan garis wajah yang tegas menandakan orangnya kuat berkarakter. Yang satu lagi pastilah Alina bidadari belahan jiwaku.
“Assalaamu’alaikum...” tiba-tiba suara laki-laki bagai halilintar memecah kesunyian lamunanku.
“ Wa’alaikum salam Pak”
Tiga sosok yang terpampang di foto kini muncul dihadapanku dengan sosok aslinya. Ku berdiri, kuulurkan tangan dan tak lupa kucium tangan H. Burhan dan Ibu haji calon mertuaku. Kami pun berkenalan dan sambutan khas keramahan desa yang kurindui segera kureguk. H. Burhan begitu hangat menerima kedatanganku, begitu juga Ibu Haji. Aneka hidangan khas Cianjur pun segera memenuhi meja tamu, dengan risih dan malu aku dipaksa mencicipi semua jenis makanan itu. Lumayan perbaikan gizi gumamku dalam hati. Buat anak kost seperti aku, mendapat hidangan gratis seperti itu, mahal rasanya, meskipun hanya makanan desa, semua seperti hidangan langit Nabi Isa bagi para muridnya yang lapar.
Setelah tegur sapa dan saling memperkenalkan diri, pembicaraan pun melaju menuju titik tujuan kehadiranku di rumah mereka.
“Begini Nak...Bapak dan Ibu...ehm...senang ada yang mau kenal sama anak Bapak ...Alina, apalagi anak muda yang berilmu tinggi dan berakhlak mulia seperti Anak ini”. Syur....jiwaku terbang ke langit ke tujuh. Anak muda berilmu tinggi dan berakhlak mulia, wah geli juga aku mendengarnya.. Beliau memanggilku dengan sebutan Anak, meski telah kuperkenalkan namaku padanya. Ada rasa geli dan aneh setiap kali beliau memanggilku dengan sebutan “Anak.”
“Tapi maaf Nak...kalau Bapak dan Ibu lancang menanyakan....sejauh mana keseriusan Anak sama putri bungsu Bapak ini?”
Aku berfikir sejenak, mencoba mengkristalisasi keberanian yang sedari tadi masih terserak tak karuan.
“ Oh...begini pak bu, sebenarnya...terlebih dulu Saya harus minta maaf kepada Bapak dan Ibu, karena tanpa seizin Bapak dan Ibu Saya telah lancang berkenalan dan lebih jauh...eh....mencintai putri Bapak itu...tapi Saya serius pak...Insya Allah...” sebuah kata yang sudah lama tak pernah ku gunakan.
“Oh...jadi begitu...syukurlah kalau begitu, Bapak dan Ibu sih ikut bahagia kalau ada yang mencintai Alina dengan serius...”
Sang ibu yang anggun, yang sedari tadi diam membatu akhirnya turut berujar,
“Ya pak.... Ibu mah ngiringan kumaha saena we.” (Ibu ikut gimana baiknya aja) tipikal perempuan desa yang bersahaja tanpa kehilangan kharismanya.
“ Yaa syukurlah kalau Ibu juga sependapat sama Bapak, ...eh...kamu sendiri kumaha Na..?” bidadariku tertunduk malu tapi gairah cintanya tak terbendung hingga akhirnya kepala itu mengangguk pelan tanda setuju meski tanpa satu patah kata pun terucap.
“ Yah...syukurlah...kalau begitu” pungkas H. Burhan seraya tersenyum melihat tingkah laku putri tercintanya.
Hening sejenak, ada angin bahagia memasuki pori-pori kulitku, menerbangkan jiwa ke langit malam gelap yang ditingkahi bintang-bintang yang asyik menggoda dan rembulan dengan kemayunya.
“Tapi ...kalian kan masih kuliah..” tiba-tiba suara H. Burhan mengganggu lamunanku. “Bapak sih berharap kalian menyelesaikan kuliah kalian dulu baru menikah...begitu kan Nak?” tanyanya pada ku
“Oh tentu Pak...kami sudah sepakat bahwa kuliah kami adalah nomor satu, setelah itu kami baru memikirkan untuk menikah”.
“Nah...baguslah kalau begitu meski Bapak sih pengen kalian resmi dulu secara Islam teruskan kuliah...nah setelah lulus baru menikah secara negara....bukan begitu Nak”. Tanyanya padaku.
“Oh ya...Pak Saya setuju dengan pendapat Bapak..”
“Ah..baguslah kalau kalian berdua setuju, berarti benerkan yang Bapak bilang, Anak ini orang yang berilmu tinggi dan berakhlak mulia....ya kan Alina...?” godanya.
“Ah tidak begitu Pak, Saya ini hanya anak kuliahan biasa Pak, yang masih bodoh dan masih harus banyak belajar memperbaiki diri Pak..”
“Nah kerendahan hati seperti itu yang menunjukan siapa kamu sebenarnya.. .ya kan, Alina?” godanya lagi pada putri bungsunya itu sembari terkekeh melihat tingkah putrinya yang tersipu salah tingkah.
Tak berapa lama terdengar adzan Isya dari masjid yang tepat berada di seberang rumah H. Burhan, menurut cerita Alina masjid itupun dibangun oleh H. Burhan sebagai wakaf untuk warga Desa Nangela.
“Alhamdulilah sudah Isya. Bapak ke Masjid dulu...Anak barangkali mau ikut ke masjid berjamaah?” blam...! tiba-tiba jiwaku dihantam meriam. Sesuatu yang kutakuti kini nyata menimpaku tanpa ampun. Bagaimana aku harus menjawab ajakan H. Burhan, sementara dia telah memujiku setinggi langit, namun kini aku dihadapkan pada ajakannya yang teramat berat...yaa ajakan untuk shalat. Sesuatu yang sudah lama aku tinggalkan bahkan dalam hatiku mentertawakan sesuatu yang menurutku hanya rutinitas tanpa manfaat sama sekali. Bagiku semua itu hanya nostalgia, hanya kenangan masa kecil yang tak lebih dari lembaran memori tanpa makna, yaa....bagiku semua itu hanyalah masa lalu.
Melihat kebingunganku H. Burhan tersenyum bijaksana,
“Yaa sudah...mungkin Anak ini masih cape setelah perjalanan jauh, lebih baik istirahat saja dulu disini, toh waktu shalat Isya masih panjang. Oh....atau mungkin karena di perjalanan Anak sudah menjama shalat Isya dan Maghrib tadi yah....?”.
Merasa mendapat angin segar, segera kujawab meski terbata
“Iya pak....tadi Saya sudah menjamanya di perjalanan”.
“Yaa...baguslah itu lebih utama. Berarti Anak ini faham fiqih...maaf ya Nak Bapak tinggal dulu...”
“Oh iya pak...silahkan...”. Ibunya pun turut pamit.
Merah, tampak wajah Alina mendengar semua jawabanku. Dia tahu aku berbohong, dia tahu siapa aku sebenarnya dan itulah yang dia takutkan manakala kedua orang tuanya mengetahui semua rahasia itu.
Melihat mendung di wajah Alina aku merasa tersiksa dengan semua kebohonganku. Aku di persimpangan. Ragu yang mendera nyaris tanpa jeda. Kucoba mencari sebentuk jawab atas keraguan ini. Tapi tak kutemukan jawab, di dalam jiwaku, hanya ada ambigu yang meracik jiwa jadi kelabu. Keruh jiwaku menentukan pilihan, antara harus jujur atau tetap mendusta kata.
Aku dihadapkan pada pilihan sulit. Aku sangat mencintai Alina, meski ku tahu dia berbeda denganku. Dia adalah seorang muslimah yang taat, muslimah pelantun Quran yang indah. Quran yang bagiku tak lebih dari sebuah buku, buku yang telah kutelanjangi di depan forum-forum diskusi, karena menurutku Quran hanya berisi kata-kata seorang Muhammad, laki-laki gurun yang sederhana tapi melegenda.