Kemarau demikian bengis. Guratan retak-retak di hamparan kebun kangkung tengah kota yang pekak, telah tuntas ia tunaikan. Akar kangkung yang biasa dimandikan air hujan, kini harus berpuas diri hanya sekedar cuci muka dengan air hitam dari selokan pinggir kebun. Bahkan beberapa kali harus puas dengan bertayamum dengan debu kota yang mampir diantar angin.
Capung kuning hijau sesekali hinggap di dedaun kangkung yang layu. Entah mengejek atau menghibur. Ia terbang dekat, lantas kembali hinggap di daun yang sama. Simeut (belalang kecil), hijau menyaru diantara batang kangkung, sesekali melompat keatas lumpur hitam yang pekat. Anak-anaknya sesekali terperangkap genangan air yang tersisa. Sebagian lolos dari perangkap alam itu, sebagian lain tewas kehabisan nafas.
Damat knalpot motor tanpa adab beberapa kali lewat, meneriaki nasib kebun kangkung yang kontras. Betapa tidak, ia berdiri sunyi di tengah kota, diantara jalan-jalan raya kota yang teramat bising. Entah apa yang menyebabkan dia bisa bertahan. Anak-anak sesekali dengan nakal menginjak batang-batang kangkung saat mengejar layangan putus yang akan mendarat di landasan lumpur kebun.
. Kebun kangkung itu tak luas, tak lebih dari 300 meter persegi. Menghiasi kota dengan pemandangan unik. Hijau diantara belantara bangunan kumuh dan berdebu. Kebun itu tak jauh dari tempat kostku.
Siang itu, Mang Abas ditemani dua keponakannya Atang dan Endi tengah sibuk memetik batang-batang kangkung, diikatnya setiap 10 batang menjadi satu ikatan besar. Matahari yang asyik menusuk-nusuk tak mereka gubris. Bau matahari yang membekas di tubuh-tubuh kurus bercampur lumpur yang diairi air selokan hitam tak mereka hiraukan.
Begitulah hari demi hari mereka lalui. 35 tahun lebih Mang Abas, setiap harinya bercengkrama dengan lumpur dan batang-batang kangkung. Sementara Atang dan Endi baru sekitar 3 tahun mengikuti Mang Abas, setelah ijazah SMP mereka tak lagi laku di kantor-kantor yang angkuh mentereng memamerkan arogansi. Ikatan-ikatan kangkung itu seminggu sekali diambil oleh pesuruh ko Aliang pengusaha rumah makan cina megah di seputar jalan Setiabudi yang mahsyur.
Lahan yang tak luas itu bukan milik Mang Abas, dia harus membayar sewa 500 ribu rupiah setiap bulannya pada H.Ahmad sang pemilik lahan, juragan tanah yang katanya tak lama lagi akan menjual kebun itu pada seorang taipan dari Jakarta, karena harganya sudah melangit. Sebuah ancaman bagi hidup Mang Abas dan keluarganya.
Mang Abas memiliki dua orang putri. Anak sulung, Siti, sudah menikah dengan Kang Ujang, seorang buruh bangunan yang baru akan membawa pulang uang bila ada orang yang menyuruhnya. Bila tidak, maka Mang Abas dengan penuh cinta, berbagi dengan anak menantunya itu. Sementara putrinya yang bungsu, Atika, baru berumur 11 tahun tapi sudah putus sekolah. Atika ikut dengn pamannya di Jakarta berjualan mainan anak di emper-emper pertokoan Jakarta yang garang.
“Assalaamu’alaikum Mang...” sapaku hangat.
“Wa’alaikum salam” jawab mereka serempak.
“Eh gening cep Bintang...kamana wae cep..damang?” (Kemana aja? Sehat?) sapa Mang Abas lebih hangat dari matahari pagi tadi.
”Alhamdulilah Mang...pangesto (baik). Kamu apa kabar Tang, Ndi...?”
“Oh alhamdulillah kang Bintang...baik-baik saja sih tapi...ya gitulah,” jawab Atang tidak jelas.
“Kamu gimana Ndi, keliatannya ga bergairah gitu?” Tanyaku pada Endi yang sedari tadi menekuk mukanya.
” Ah gimana mau bergairah atuh Kang...panas-panas begini malah mandi lumpur metikan kangkung...kawas eweuh deui pagawean...mending mun jadi beungharmah...ieu mah kalahkah hideung teu pararuguh” ( Seperti tak ada lagi kerjaan, mending kalau jadi kaya, ini malah makin hitam tidak jelas,) cerosos Endi menumpahkan resahnya dalam bahasa sunda yang kental.
“Hus...nanaon teh...jangan ngomong sembarangan!” Mang Abas mengingatkan.
“Cing ah...kataku seraya melepas sandal dan ikut turun memasuki lumpur hitam. Suatu hal yang sudah biasa ku lakukan disaat kejenuhan mendera.
“Ih..ulah atuh Cep, kotor...” cegah Mang Abas. Cegahan yang dia sendiri tahu tidak akan bisa menahanku untuk mandi lumpur di siang hari Bandung yang gahang. Aku yang memang sudah cukup mahir, segera saja memetik batang-batang kangkung itu dan mengikatnya dalam ikatan 10, begitu mereka menyebutnya.
“Ih si kang Bintang mah aneh...masa mahasiswa panen kangkung, malu atuh Kang..” Atang remaja tanggung itu menggodaku.
“Ha..ha..mahasiswa comberan Tang...” jawabku mencoba lebih membaur. Sekepal kecil lumpur kulemparkan ke punggungnya. Si Atang yang tengah asyik membungkuk membelakingiku. Ia pun celingukan mencari si pelempar, dan aku terus saja menunduk memetik batang-batang kangkung.
“Huh..saha atuh kehed teh, maneh nya Ndi...” (siapa sih, sialan...kamu ya Ndi?) songotnya pada Endi. Dengan dingin Endi mengelak
“Ih naon atuh teu puguh-puguh”. (Ih..apa ga jelas)
Mang Abas yang melihat kelakuanku tak tahan menahan senyum sambil melirik ke arahku. Rupanya senyuman dan lirikan matanya itu tertangkap oleh mata si Atang, dan dengan segera ia menyemburkan kata-kata yang tak jelas bercampur tawa ke arahku “Ah...dasar si kang Bintang...angger aing ma lah...dasar mahasiswa comberan” cerocosnya sambil bergerak menjauh dariku.
Lagi segenggam kecil lumpur ku lempar ke arahnya, kali ini pundaknya yang menjadi sasaran. Kembali Atang mengeluarkan kata-kata tak jelas sambil terbahak seperti anak kecil. Begitulah kami seringkali melewati saat-saat memetik kangkung dengan canda tawa sekedar untuk menepis panas dan galau hati. Lompatan seekor anak katak yang merasa terganggu dengan polah kami, ke tepi galengan, menandai tuntasnya ritual petik kangkung siang itu.
Tuntas memetik kangkung, kami berempat duduk selonjoran di bawah pohon nangka di pinggir kebun kangkung itu. Pohon nangka besar milik H.Ahmad itu rupanya cukup untuk memayungi kami dari terik matahari Bandung yang semakin menyengat.