Air Mata Bintang

kieva aulian
Chapter #10

Amanah Yang Berat

Kampusku membara. Beringsang oleh matahari siang yang tajam menusuk-nusuk kulit kepala, ditambah panasnya hawa pemberontakan yang menghembus bagai angin ke segenap penjuru kampus. Sabtu, dan beberapa hari-hari sebelumnya, kampus dipanaskan oleh rencana demonstrasi besar-besaran yang digagas oleh para aktivis dan para penggiat demonstrasi. Isu yang tengah panas berhembus adalah isu kesenjangan. Jurang antara si miskin dan si kaya semakin menganga. Sekelebatan ingatanku merahap pada teriakan Bacon (Francis Bacon) Money is like muck, not good except it is be spread ̶ Uang seperti kotoran, tidak baik kecuali ia menyebar.

Janji penguasa yang telah susah payah dipilih oleh rakyat melalui para wakil mereka di MPR, tak kunjung jadi nyata. Isu demokrasi menentang tirani pun jadi bara panas yang siap digelegakkan dalam aksi demonstrasi kelak.

Melambungnya harga kebutuhan pokok menjilat langit, pengangguran bertambah tak terkendali, antrian panjang masyarakat berharap seliter minyak tanah, distribusi raskin yang tak berkeadilan, korupsi yang semakin merajalela, kampanye aktor-aktor politik yang semakin tidak lucu dan tak tahu malu. Semua menyatu dalam bara emosi jiwa yang membahana di dada para aktivis. Agenda telah dirancang, koordinasi dengan kampus-kampus seluruh negeri telah usai digagas, tinggal menunggu hari ‘h’ aksi di lapangan. Ya hari Senin, kami sepakat turun ke jalanan Ibu Kota dengan kekuatan masif dari berbagai kampus di seluruh penjuru negeri.

Hari ini, Sabtu, rapat persiapan terakhir telah usai dilakukan. Seperti biasa, ruang sekretariat yang sempit telah menjadi saksi bisu kesepakatan aksi yang akan dilaksanakan Senin lusa. Aku keluar dari ruang sekretariat dengan semangat yang sama, yang mungkin juga membara di dada para aktivis. Tenggorokanku terasa kering. Ingin rasanya ku banjiri dengan segelas es teh, minuman favoritku. Segera ku menuju kantin kampus yang berada di wing satu kanan kampus. Belum genap lima langkah, suara parau itu keburu memanggil,

“Kang Bintang ...Assalaamu’alaikum” kupalingkan leher yang pegal sedari tadi, mencari sumber suara itu.

Waalaikum salam, Eh...kamu Mad...ngapain sampe main ke kampus segala, lagakmu tuh dah kaya aktivis aja...he..he..”,

“He...he jangan gitu kang, gini-gini aku lebih pinter dari mahasiswa terpintar disini loh.” Canda angkuhnya mulai keluar.

“Wah kamu itu sombongnya nggak ilang-ilang Mad...eh...Mad kamu nyariin aku ya....?

“Ya...nyari Akang lah...masa nyari mahasiswi “

“ Oh...kirain lagi nyari-nyari calon ....ya udah kita ke kantin yuk haus neh...”

“Wah boleh Kang...tidak baik menampik rezeki...pamali kata abahku”

“Halah...pake pamali segala...bilang aja haus...”

“Eh enak aja...haus...lapar lagi Kang..” elaknya cerdas

“Halah...kamu ini, yu kita makan baso tahu and es teh...pasti sueger tuh...”

“Sip lah...eh..emang punya duit Kang...?”

“Haduh kamu ini Mad, udah miskin sombong pula...”

Kantin kampus itu cukup luas. Ruangannya setengah terbuka. Atapnya dari genting jatiwangi sementara setengah pinggirnya ditutupi bilik bambu khas Sunda berwarna hitam kecoklatan. Dindingnya coklat krem muda menambah asri kantin favorit para mahasiswa. Atapnya berangka kayu balok sebesar-besar paha pria dewasa, dibiarkan terbuka auratnya tanpa penutup. Dilengannya bertengger beberapa kipas angin, menambah kesejukan kantin.

Kami pun duduk di bangku yang cukup renggang dari para mahasiswa lain yang sedang makan dan minum atau sekedar kongkow dengan sesama temannya. Hari Sabtu, biasanya kantin memang tidak terlalu ramai, lain dengan hari-hari biasa, dimana jadwal kuliah sangat padat. Paha hari kuliah, kantin biasanya penuh sesak dengan mahasiswa-mahasiswa yang kelaparan. Kami memesan baso tahu dan dua gelas es teh . Kamipun menikmati hidangan yang sangat mengundang nafsu hewani kami, kami menyantap hidangan surga itu dengan lahap.

“Mad...ngomong-ngomong ada apa sih kamu sampe nyariin aku ke kampus segala?”

“Gini Kang...Akang inget nggak pembicaraan kita di Ar-Rahmah dulu?”

Ingatanku terbang sesaat ke Ar-rahmah dan menemukan gambar kejadian yang dikatakan Ahmad.

“Oh...iya waktu itukan kamu bilang kamu sudah nggak betah tinggal di panti, tapi waktu itu kamu belum sempet jelasin alasan kamu kan?” Mendengar ocehanku, wajah Ahmad tiba-tiba surut seperti pantai tersapu angin darat.

“Yah...Kang...waktu itu aku masih bisa menahan diri tapi sekarang aku sudah tidak kuat Kang. Akang lihat aku bawa ransel besar, ini aku bawa semua pakaianku. Aku mau pulang kampung aja Kang.”

“Weit....tunggu dulu Mad, kamu serius mau ninggalin panti, sebenarnya ada apa sih?”

“Ya Kang...aku serius aku mau keluar dari panti itu, meski sangat berat meninggalkan anak-anak itu, tapi....aku udah ga kuat lagi Kang...”

“Ya...kenapa?”

“Kang..aku mencoba bertahan tapi kejadian itu terus berulang, dan kemarin itu aku pamitan sama Ustadz”.

 “Jadi kamu udah pamit sama Ustadz?”

 “Sudah Kang...dan Ustadz mengizinkan”

“Oh...jadi gitu toh...trus apa sih yang sebenarnya terjadi?” ujarku menekan kepenasaran.

Kulihat dia menelan ludah, sepertinya lidahnya kelu menahan beban yang sangat berat. Nafasnya sedikit tersengal, beberapa kali ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya seperti melepas beban berat yang menggunung di dadanya. Kubiarkan saja dia mengatur sendiri kapan harus bicara dan kapan harus diam untuk berfikir.

“Aku minta maaf Kang, aku hanya mau bercertia ini sama Akang, tidak sama yang lain, karena hanya Akang yang aku percaya, meski aku pun sadar Akang mungkin tidak akan percaya, aku cuma pengen curhat Kang...”

“Ya udah...curhat aja jangan pake sungkan segala...” aku mulai kehabisan kesabaran.

“Kang, Akang kan sudah lama kenal Ustadz Rahman, Akang tahu kan luar dalam pribadi beliau?”          

“Ya..sebenarnya sih aku tidak terlalu tahu sampai dalam-dalamnya tapi kamu juga tahu kan aku sangat dekat dengan beliau dan aku adalah seorang pengagumnya...kamu tahu itu kan..?”

“Ya Kang...aku tahu..aku juga mengaguminya...tapi itu dulu..itu dulu Kang”

“Hah...maksud kamu Mad?” selidiku bercampur kaget.

“Kang...” desisnya setengah berbisik. “Aku sendiri tak akan pernah percaya kalau aku tidak mendengar, melihat dan merasakannya sendiri”

“Ah...kamu ini berbelit-belit amat...bikin penasaran pembaca nih...eh...maksudku bikin aku penasaran aja”

“Begini Kang..awalnya suatu hari dulu... aku ga inget percisnya, secara tidak sengaja aku mendengar pembicaran Ustadz dengan salah seorang tamunya, kalau tidak salah namanya Pak Rudi, pengusaha Real estate dari Bekasi, waktu itu aku dengar Pak Rudi bermaksud menyumbangkan uang 250 juta untuk panti...tapi...”

“Tapi apa Mad...?” bentakku sangat penasaran. Menyadari perbendaharaan kesabaranku habis Ahmad pun segera melanjutkan.

Lihat selengkapnya