Air Mata Bintang

kieva aulian
Chapter #11

Robohnya Sebuah Tembok

“Jamaah yang dirahmati Allah, berulangkali kita diingatkan oleh para alim ulama tentang firman Allah bahwa sesungguhnya dunia itu tak lain adalah permainan dan senda gurau semata, berkali-kali pula kita diingatkan janganlah kita tertipu oleh gemerlap dunia. Alhaakumut takaatsur.... peringatan itu terus terngiang di telinga kita ? namun apa lacur, hari demi hari kita semakin tenggelam oleh gemerlap perhiasan dunia yang sudah kita tahu adalah permainan birahi dunia belaka, padahal kita tahu semua itu adalah tipuan semata.”

“Allah tidak melarang kita memiliki dunia, tapi jangan tenggelam karenanya, ingat saudara-saudaraku yang ku cintai, kita perlu dengan segala pernik dunia tapi jangan lupakan bagian yang jauh lebih penting dari itu, yakni kehidupan kekal di akhirat kelak.” Hening jamaah tenggelam dalam lautan hikmah Ustadz Rahman.

“Jamaah kekasih Allah, mari kita sama-sama renungkan, heningkan jiwa, dinginkan fikiran. Sekali lagi mari kita renungkan! Seberapa dalam kita telah tenggelam dalam gemerlap dunia yang fana ini, seberapa jauh kita telah menempuh jalan buntu bernama dunia sampai kita meninggalkan jalan keselamatan akhirat menuju cintaNya...cinta Allah yang hakiki.”

“Renungkan saudara-saudaraku yang dirahmati Allah, berapa jam dalam sehari semalam kehidupan kita, kita berikan untuk dunia dan berapa jam kita berikan untuk Allah. Kita berikan hampir 24 jam hidup kita untuk menyelami dunia dan sisanya beberapa detik saja kita berikan untuk Allah, Dzat yang memiliki dunia ini, dzat yang menggengam kehidupan, dzat yang dengan segala kemurahannya menitipkan pada kita dunia ini. Tapi begitu sedikit waktu yang kita berikan untuk mencurahkan cinta kita padaNya...ah..sungguh sebuah ironi.”

“Saudara-saudaraku, coba perhatikan saat kita sujud dalam shalat kita....terasakah kita sedang sujud dihadapan sang pemilik dan penggenggam dunia ini?, atau justru sujud kita disesaki oleh dunia yang semu itu?”

“Saudara-saudara ku yang mengharap kasih Allah, kalau kita tidak mampu merenungi dan menghitung seberapa jauh kita telah tenggelam oleh gemerlap dunia, mari Saya ajak jamaah untuk mentafakuri pertanyaan berikut ini”

“Salah satu ciri orang telah tenggelam oleh gemerlap dunia adalah dia tidak pernah perduli dari mana dia mendapatkan rizki, apakah dengan jalan halal atau dengan jalan haram. Orang yang telah tenggelam adalah orang yang dengan senang hati memakan harta hak orang lain, membenamkan harta dunia itu jauh ke dalam perutnya tanpa peduli apakah itu haknya atau bukan”

Blam...! jiwaku kembali berdebam. Gundahku menggelisah. Debur samudera hatiku mengombak kencang menghantam karang imanku.

“Jamaah yang dirahmati Allah, tak ada satu pun yang luput dari penglihatan Allah, tak ada satu pun yang luput dari pendengarannya, tak ada yang terlewat dari pencatatannya dan ingat...tak ada yang terlewat untuk dimintai pertangunggjawaban oleh-Nya. Camkan ini baik-baik!, semua perbuatan kita, semua ketidakpedulian kita, semua kepura-puraan kita, itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, dzat yang maha Menghisab. Saudaraku, hamba Allah yang terkasih...tidakkah kita takut di hari penghisaban kelak? Kita akan terkulai luluh tak mampu memberi jawaban akan semua pertanyaan Allah?”

Isak tangis mulai terdengar bersahutan dari para jamaah yang tertunduk. Mungkin mereka sedang sibuk memikirkan segala cabar diri. Sementara relungku dipenuhi tanya, Tidakkan dia sendiri takut akan semua kebohongannya?. Tapi kutepiskan, tak mungkin orang yang begitu mendalam pemahamannya, begitu fasih bertutur tentang cinta Allah akan tega menghianati perkataannya sendiri apalagi perkataan itu disampaikannya pada ratusan, ribuan bahkan jutaan orang jamaahnya.

Sejumput ragu menyusup perlahan di relungku. Mungkin Ahmad yang berdusta, mungkin Rani juga turut berbohong. Mungkin mereka bersekutu untuk menjatuhkan nama baik Ustadz Rahman. Tapi sisi lain hatiku berontak. Apa untungnya buat Ahmad dan Rani bila mereka berbohong. Bukankah kehidupan mereka sendiri telah terangkat, dengan diajaknya mereka mengelola rumah yatim piatu itu. Kalau mereka sepakat melakukan permufakatan jahat berarti mereka merugikan diri mereka sendiri, menenggelamkan hidup mereka sendiri. Siapa yang lebih pantas dipercaya. Siapa yang berdusta, dan siapa yang berkata kebenaran?...aku tak tahu.

“Saudara-saudaraku seiman, jangan persekutukan cinta kita pada Allah dengan apa pun. Jangan melihat orang lain, lihat diri kita sendiri.. Apakah Tuhan kita masih Allah, atau sudah berganti dengan uang, wanita, berganti dengan kekuasaan, berganti dengan kesibukan, dengan mobil, atau rumah mewah? Tak ada mahluk yang paling malang di dunia ini selain manusia yang telah mengganti Allah dengan Tuhan-Tuhan lain yang penuh dengan kelemahan dan kehinaan. Allah Maga Agung, tak ada cela baginya, tak ada kelemahan pada dirinya. Saudara-saudaraku, hanya Allah yang pantas kita perTuhankan.”

“Jamaah yang dirahmati Allah, bersegeralah...bersegeralah kembali pada Allah, kembali kepada kesejatian cinta, kembalilah ke pangkuan-Nya, kembalilah ke jalan keselamatan-Nya. Sekarang...saudaraku, ya...sekarang... jangan menunda lagi...sekaranglah waktu yang tepat untuk kita kembali! Palingkan jiwa dari dunia, uang, wanita, kekuasaan. Palingkan hati dari segala gemerlap dunia, luruskan wajah kita hanya pada Allah...Allah...Allah saja.

Isak tangis semakin memenuhi ruangan masjid. Isak tangis dan dzikir menggema menembus langit-langit masjid terus melesat menembus langit tujuh. Tangis memenuhi dada jamaah, melesak menikam kerongkongan, riuh rendah memenuhi ruang kosong rumah Tuhan. Tapi hatiku sunyi hampa. Hanya sekelebatan saja gemuruh itu ada, tapi gemuruhku bukan gemuruh dzikir, tangisku bukan tangis dzikir. Gemuruhku adalah amarah, tangisku adalah tangis kebingungan.

Ketika doa-doa usai dipanjatkan, pengajian Duha Ahad pagi itu usai sudah. Menyisakan tanya yang amat menyesakkan dadaku. Kusaksikan para jamaah antri bersalaman dengan Ustadz Rahman. Cium tangan tanda ta’zim sudah menjadi ritual tak tertulis bagi para jamaah. Hatiku miris menyaksikannya. Apakah tangan itu layak untuk diciumi? Apakah tangan itu layak untuk ditakzimi? Tidakkah tangan harum itu memendam bau busuk yang menjijikan? Tapi ku coba meredamnya, kukembalikan kepada niat awalku. Niatku adalah tabayyun. Jiwaku tak boleh kuserahkan pada setan suudzhon yang memenuhi rongga dada. Kualirkan bening dan jernihnya huznuzhon ke sungai jiwaku, agar kudapati kemurnian dan ketulusan niatku.

Setelah suasana semakin lengang kuhampiri Ustadz yang saat itu akan memasuki CRV silver miliknya dan agak menjauh dari kerumunan jamaah. Kuhampiri orang yang sangat kukagumi dan kuhormati itu. Kuhampiri tembok imanku itu dengan rasa segan, takut dan tanya yang bercampur aduk.

Assalaamu’alaikum Ustadz”

“Hei...wa’alaikum salam akhi...akhi Bintang apa kabar?” jawabnya hangat.

Tak kuasa diriku menahan diri ini untuk tidak mencium tangannya seperti yang dilakukan oleh jamaah lain. Tapi sekejap kemudian ia memelukku menandakan kerinduan dan kehangatan seorang sahabat.

Alhamdulilah baik Ustadz”

Setelah pelukannya lepas.

“Hei..sepertinya akhi kurang sehat...sedang sakit ya? Wah jangan-jangan hatinya sedang sakit nih...sakit cinta yaa?” ujarnya bercanda mencairkan kebekuan yang tak mampu ku sembunyikan.

“Ah..tidak Ustadz, secara fisik Saya sehat tapi...mungkin benar kata Ustadz jiwa Saya sedang sakit..tapi bukan karena patah hati...”

“Wah bila jiwa yang sakit maka hanya satu obatnya...dzikrullah..perbanyak dzikir akhi...niscaya hati akan tenang dan segala keluh kesah jiwa akan pudar seperti matahari mengusir kabut di pagi hari” ujarnya puitis.

“Terimakasih Ustadz, begini Ustadz...eh..bila tidak mengganggu , Saya ingin bicara dengan Ustadz, itu pun bila Ustadz ada waktu dan tidak mengganggu jadwal istirahat Ustadz.”

“Wah ...nampaknya serius yah...eh...kebetulan Saya mau ke Ar-Rahmah, barangkali Akhi mau ikut. Kita bisa bicara panjang lebar disana. Saya baru ada jadwal ceramah lagi nanti sore ba’da asar. Kayanya akhi juga jarang kesana ya?, apa ga rindu sama anak-anak yang sangat manja sama akhi?”

“Oh..kebetulan kalau begitu Ustadz, bagaimana kalau kita bertemu disana?” jawabku agak segan.

“Akhi bawa kendaraan? Kalau tidak, kita bareng aja...mari” ajaknya ramah.

Meski enggan aku terpaksa mengikuti ajakannya. Kupikir dari pada jalan kaki atau naik angkot ke rumah panti Ar-Rahmah yang letaknya cukup jauh dari masjid Ar-Raudah ini lebih baik aku ikuti saja ajakannya. Lagian, kapan lagi bisa naik mobil mewah kalau tidak sekarang pikirku.

Tak sepatah kata pun meluncur dari mulutku selama dalam perjalanan. Selain enggan dan risih karena ada pak Zul supir pribadi Ustadz Rahman, juga Ustadz terus menerus menerima telepon lewat hpnya. Ada yang minta jadwal ceramah, ada yang konsultasi masalah agama, ada yang berniat menyumbang ke yayasan dan banyak lagi lainnya yang tak sengaja ku dengar.

Sesampainya di panti, tampak Rani sedang sibuk dengan komputernya di ruang tunggu tamu. Melihat kedatangan kami wajahnya yang biasa sumringah berubah merah dan kusut. Tampak ketakutan di rona wajahnya. Kami duduk di ruang kerja Ustadz yang asri dan sejuk.

“Jadi apa yang bisa Saya bantu Akhi?” sapanya memberi ruang padaku untuk memulai pembicaraan.

“Terimakasih Ustadz atas waktunya” ujar ku pelan sekedar berbasa basi.

“Ah..Akhi ko jadi sungkan gitu sih...jangan sungkan lah..kita kan sudah lama kenal, lagian sudah tugas Saya sebagai seorang Ustadz untuk melayani umat ...ya kan?”

Lihat selengkapnya