Air Mata Bintang

kieva aulian
Chapter #12

Labirin Iman

Purnama, simetris diatas kepala kami. Sungguh elegan, sebuah presisi tanpa cela. Langit sedang berbaik hati. Hitam eksotik dihamparkan untuk pertunjukan tunggal sang bulan. Erotis, bulan melenggak lenggok diatas catwalk langit. Wajahnya tak henti berpendar, bak lampu tidur pengantar anak manusia menuju peraduan.

Awan kapas putih-putih, merajuk. Sesekali minta waktu untuk tampil. Tapi bulan sedang egois. Ia bersekutu dengan angin yang meniup awan putih keluar dari panggung saat sesekali datang menginterupsi untuk ikut tampil. Daun-daun bambu beradu kulit, bergesek mengisi ruang kosong yang telah lama ditinggalkan senja. Anjing tanah[1] sesekali riuh menggumamkan asmaragama. Gesekan sayapnya menstridulasi[2]. Meresonansi, mengisi ruang hampa langit yang sunyi. Ah...andai saja ada pelangi malam, tentu akan sangat indah dan kontras, bisik fantasiku melayang tak tentu.

Aku dan Ervan, setelah peristiwa malam gila, berdua, bersulang kata diatas dak rumah kost yang sempit namun terasa begitu dekat dengan langit.

“Van..kenapa sih kamu memilih jadi seorang ateis?” tanyaku memulai obrolan malam itu.

“Lah...kamu sendiri kenapa milih jadi seorang muslim, atau mungkin menjadi muslim bukan suatu pilihan buat kamu?”

“Ah..kamu Van..ditanya malah balik nanya”

“He..he..sorry..sorry.. ehm kamu nanya apa tadi Bin?”

“Wah..kayanya filsuf kita sudah termakan umur nih...baru aja aku ngomong dah lupa...jangan-jangan kamu dah pikun Van..” ledekku.

“Ha..ha..ha...itu bukan karena faktor umur Bin, tapi itu ciri orang patah hati”

“Oh..jadi kamu masih patah hati diputusin Alina?”

 

“Bukan dia yang mutusin, tapi bokapnya cuy...tapi sama aja sih..toh aku dah ga bisa ketemu dia lagi..hah...” helanya panjang sekali.

Seperti mendapat jalan, kupikir inilah saatnya aku ledekin dia.

“Hey...jangan cengeng gitu lah...masa filsuf cengeng...apa kata dunia? Ledekku tajam.

“Halah...gampang kalo cuma ngomong. Coba kamu rasain sendiri!” jawabnya datar. Tak ada gurat ketersinggungan sama sekali diraut wajahnya.

“Udahlah Van...kamu liat aja sisi baiknya. Kamu masih inget tulisannya Irish Murdoch kan? Patah hati adalah hal yang mencerahkan. Untuk beberapa saat kita melihat dunia dengan cara pandang yang baru”...bener kan yang dia bilang?”

Dia mengangguk pelan...namun tetap membisu.

 “Udahlah Van...bukan cuma Alina di muka bumi ini..banyak cewek-cewek lain yang mau sama kamu”

“Hah...kamu bener Bin, sudahlah...malam indah seperti ini ga asyik dipake ngobrolin cewek, eh..kembali ke laptop...tadi kamu nanya apaan sih..? aku jadi beneran lupa gara-gara ngomongin Alina tadi”

“Hadeuh...begini Mr. Aristoteles, tadi aku nanya, kenapa kamu milih jadi seorang ateis, padahal dulu kamu seorang muslim yang taat dan keluarga kamu juga berasal dari keluarga muslim yang baik.”

“Oh itu..yah...begini Bin, dalam pikiranku, alur hidupku itu melihat, mendengar, berpikir dan menyerah.”

“Maksud kamu?”

“Yah..aku lahir di lingkungan Islam yang kuat. Ketika kecil aku melihat Ibu Ayahku rajin beribadah, kemudian aku mendengar dari petuah-petuah mereka tentang keindahan Islam. Setelah itu aku diperintahkan untuk merasakan keindahan Islam dengan mengikuti pengajian di masjid. Setelah beranjak remaja aku mulai berfikir tentang semua yang telah kujalani sejak kecil. Aku mulai bertanya, benarkah apa yang sudah aku lihat, kudengar, dan kurasakan. Akhirnya aku menyerah pada kebenaran, bahwa semua yang telah kujalani itu adalah sebuah kesalahan”

“Kesalahan?, kamu pakai kriteria apa untuk menentukan bahwa itu sebuah kesalahan?”

“Kriteriaku adalah sains, ilmu pengetahuan Bin...karena hanya dengan ilmu pengetahuanlah kita bisa menemukan benar dan salah. Tak ada jalan lain, selain sains maka semua itu takhayul, dongeng, atau mitos yang telah mengkristal atau dikristalisasi sejarah menjadi kebenaran faktual.”

Mulai deh...kata-kata yang membuat kepalaku melilit, dihadirkan di malam indah itu.

“Tapi Van...menurutku justru Islam itu selalu selaras dengan ilmu pengetahuan, jadi kalau kamu bilang standar kebenaran adalah sains maka mestinya kamu bisa menemukan kebenaran yang kamu cari itu di Islam”

“Ha..ha..ha...sorry Bin, jangan tersinggung yah...itu sih klaim usang Bin.”

“Hah...klaim usang, maksud kamu?”

“Ya ...klaim usang, tipikal muslim banget tuh, apa pun yang ditemukan dalam ilmu pengetahuan sejalan dengan Al quran yang telah diturunkan berabad-abad lalu. Itu namanya cocokolagi ha..ha...”

“Tapi itukan kata kamu dan guru-guru ateismu.”

“Oh tentu tidak Tuan Takur ...Imanuel Kant seorang Teis tapi mengakui bahwa sains dan kepercayaan itu tidak mungkin dipersatukan.”

Hening sejenak...kurasakan emosinya sedikit membuncah...sebelum akhirnya dia melanjutkan. Coba kamu baca Bertrand Russell peraih nobel sastra dari Inggris itu...dia pernah menuliskan kalimat yang sangat penting tentang bible.”

“Emang dia nulis apa Van?” potongku penasaran.

“Dia pernah nulis Sejauh yang kuingat, tidak pernah ada satu kata dalam Injil yang menghargai kemampuan berpikir.” Jadi sudahlah...akhiri saja klaim kuno kaum beragama itu”!

Hening sang malam kembali menelan kami berdua...hanya sesekali serangga malam menimpali dengan bebunyian alam yang indah.

“Van...terus terang aku juga pernah mengalami hal seperti itu”

“Maksud kamu mengalami keraguan gitu Bin?”

“Yoi...aku dulu...eh..sekarang..eh...mungkin....kelak...” tak jelas arah bicaraku.

“Halah..kamu itu Bin kagak jelas ...dulu..sekarang..kelak...apaan sih?” ledeknya

“Maksudku dulu aku juga pernah mengalami keraguan seperti kamu, tapi setelah aku membaca sebuah buku tentang keajaiban-keajaiban Al Quran , siapa yang nulis aku lupa, aku seperti menemukan jawaban, jadi coba deh kamu baca buku itu!” ujarku ragu.

Lihat selengkapnya