Sehelai hari di musim kemarau. Senin yang gahang, terik membakar setiap kepala mahasiswa yang turun ke jalan. Membakar emosi yang membuncah tak terkendali. Hari makin panas, saat puluhan panser menghadang bagai tembok baja. Pasukan anti huru hara berbaris rapih memagar jalan menuju gedung DPR MPR. Mulai dari jembatan Semanggi hingga gerbang gedung DPR MPR penuh oleh ribuan mahasiswa. Hari itu aksi besar-besaran menjadi kenyataan. Kami dari Bandung dengan menggunakan 8 bus, datang disaat suasana sudah ramai oleh teriakan-teriakan pemberontakan. Gulungan kawat berduri bagai ombak yang siap melalap siapa pun yang berani menerobosnya. Moncong senjata berderet rapi dengan sadis siap memuntahkan isinya.
Situasi emosional yang ditingkahi elusif matahari yang mengigit mengakibatkan bentrok fisik tak terhindari. Tak ada lagi orasi, tak ada lagi dialog. Dimulai dengan saling dorong, sampai saling pukul dan saling kejar antara demonstran dan aparat tak terhindarkan.
Tak lama kemudian bunyi peluru karet yang dimuntahkan pasukan anti hura hara dan polisi berpakain preman pun membelah langit Jakarta menjadi hingar bingar. Putih mematikan, gas air mata menjadi kabut tebal di tengah terik matahari Ibu kota yang meriaki insiden itu dengan beringsang. Ribuan demonstran berhamburan tak tentu arah. Banyak tubuh terinjak. Jerit tangis menggema di seantero Semanggi. Darah mulai tercecer, entah darah siapa dan dari pihak mana.
Sebenarnya pada awalnya, semuanya berjalan damai, hingga muncul beberapa orang yang aku tak kenal mengibar-ngibarkan bendera merah putih, dan kemudian merobek dan membakarnya. Sejak itu suasana damai berubah menjadi perang. Para demonstran dengan tangan kosong mencoba melawan pasukan bersenjata yang tersulut emosi melihat penghinaan yang menginjak-injak nasionalisme mereka. Hari itu menjadi saksi. Senin kelabu, Senin berdarah.
Ketika hari menjelang sore, secara kasat mata suasana mereda namun tidaklah demikian sejatinya. Pasukan intel terus melakukan pengejaran terhadap beberapa demonstran yang diduga melakukan perobekan dan pembakaran bendera merah putih.
Tanpa sempat berkoordinasi dengan rekan-rekan mahasiswa dari Jakarta, kami, sore itu juga pulang ke Bandung menggunakan bus kami yang kacanya pecah berantakan. Menjelang tengah malam kami tiba di kampus. Tim medis sibuk menolong korban luka-luka. Para organisator mencoba menghitung jumlah demonstran. Tepat tengah malam, Tono, koordinator aksi mengumumkan tiga nama mahasiswa peserta demo yang hilang. Aku yang lelah, tak terlalu perduli dengan semua itu.
Para organisator aksi, tanpa menunggu esok hari dan tak perduli dengan rasa lelah yang mendera, segera membentuk tim pencari korban. Malam itu juga mereka bergerak melakukan koordinasi dengan aktivis dari kampus-kampus lain. Sementara tim pencari bekerja, tim medis membawa yang terluka ke rumah sakit terdekat.
Dalam keletihan yang tak terperikan kami duduk berselonjor di halaman kampus tanpa perduli dingin malam Bandung yang menggigit tulang. Kami semua terguncang dengan apa yang terjadi. Aksi damai yang dirancang luluh lantak oleh darah dan kehilangan. Sebenarnya perancangan jaringan aksi telah sukses dilakukan, agenda orasi telah tunai dilaksanakan, hanya satu yang gagal, yaitu mencegah penyusup masuk dalam agenda aksi. Aksi hari ini berakhir sudah dengan darah dan kehilangan.
Aku pulang ke kostanku dengan rasa was-was bercampur geram. Luluh lantak rasanya tubuh dan jiwa ini. Kuhempaskan tubuh diatas kasur lusuh yang setia menemani mimpi-mimpiku. Karena letih yang mendera aku pun tertidur, namun terbangun ketika hpku menjerit meminta untuk diangkat.
“Hallo Bin..”
“Ya Ton...ada apa?” tanyaku antara penasaran bercampur dengan rasa letih yang membaur menjadi satu.
“Eh..kamu sekost dengan Ervan kan, coba deh kamu cari dia, aku khawatir dia termasuk salah satu dari teman kita yang hilang. Yang dua sih udah ditemukan. Satu di Bekasi satu lagi di Bogor. Rupanya mereka saking kalut jadi nyasar gitu.”
“Hah..tunggu-tunggu Ton...kamu serius Ton...?”
“Serius Bin...coba kamu cek dulu deh. Kita juga masih nyari dan koordinasi dengan temen-temen lain. Ntar kamu telepon aku yah...”
“Ok...ok Ton..”jawabku ragu dan cemas.
Ervan...kemana dia?
Tak sempat ku basuh wajahku yang lusuh, aku datangi kamarnya. Tak tampak sesosok tubuh pun disitu. Aku mulai khawatir. Baru saja tadi malam kami berbincang-bincang merayakan kemerdekaan kami, haruskah kini aku kehilangannya. Rasa khawatir tiba-tiba saja menyergap. Ah...tidak mungkin pikirku.
Seketika aku terkesiap, saat teringat kami berdua bersama menuju kampus menjelang keberangkatan kami ke Jakarta, menaiki sepeda motor bututku. Motor dia ditahan oleh Rasyad dan kawan-kawannya. Lantas pada aksi siang itu, aku juga sekelebatan melihat sosoknya tak jauh dari tempatku berdiri. Dia baik-baik saja, bahkan kutahu tempatnya berdiri cukup jauh dari aksi bakar berdera yang dilakukan para penyusup.
Mungkinkah Ervan tertangkap, atau diculik, atau dia sedang sembunyi di suatu tempat. Entahlah, aku teringat nomor hpnya, kucoba hubungi berulang kali namun sia-sia, dia tak bisa dihubungi. Rasa khawatir semakin deras meninju-ninju langit jiwaku. Kemana aku harus mencari Ervan. Bertanya pada Alina, ah..rasanya tidak mungkin. Setelah Ervan bercerita tentang hancurnya kisah kasihnya dengan Alina, tak lagi ku dengar lantunan indahnya di masjid kampus, tak pernah lagi kulihat sosok anggun itu menghiasi kampus. Ku dengar Alina dipindahkan kuliah oleh orang tuanya dan dikirim ke sebuah pesantren di Cianjur. Tidak, Alina tidak mungkin tahu.
Aku mencoba mengingat-ngingat kepada siapa kiranya aku bisa bertanya. Ah..aku baru ingat, orang tua Ervan di Jakarta. Aku pernah diberi nomor telepon rumahnya. Tapi aku takut itu justru membuat mereka cemas. Tapi aku tak punya pilihan. Kucoba hubungi nomor itu, dengan berpura-pura menanyakan kabar Ervan karena lama tidak berjumpa. Dari Ayahnya kudapati kabar bahwa sudah seminggu Ervan tidak pulang ke rumah, katanya sedang sibuk-sibuknya kuliah. Kusimpulkan berarti kedua orang tuanya tidak mengetahui keberadan Ervan.