Air Mata Bintang

kieva aulian
Chapter #15

Bidadari Mahameru

Senja merayapi kaki Semeru. Jingga semburat oranye. Pedestrian dilumuri kabut putih membisikan sunyi. Sunyi yang dalam tak terselami. Bercak mozaik hening, diantara putih kabut, nampak di kejauhan mata. Rasa apa yang bisa menukil keindahan senja Semeru? Puisi mana yang bisa melukis keelokan senja Semeru? Sungguh tak ada, tak kan pernah ada. Pastilah, senja Semeru dilukis Tuhan saat Ia terharu.

Kawanan kelelawar terbang berlawanan arah dengan manusia. Manusia menuju gunung, kelelawar menuju kota. Manusia mencari hening gunung, kelelawar mencari gemerutuk makanan kota. Manifesto keseimbangan mungkin? atau jangan-jangan sebuah maklumat ironi atas kehidupan yang semakin pincang.

Sore berpaling, malam menyingsing, senja perlahan menghilang dari perbatasan. Hanya nampak punggung jingganya, samar, di ujung garis horizon. Gelap mulai merambati bumi, menapakan jejak-jejak hitam di kaki Semeru. Seruling malam ditiup angin Mahameru yang gigil menusuki bumi. Rembulan masih pasi, termenung di halaman belakang senja. Hanya semburat kuning emas disisi kirinya. Selamat datang Mahameru!

 Jam setengah enam sore, kami sampai di pos desa Ranu Pani yang merupakan desa terakhir di kaki Semeru. Senja baru saja usai mempertontonkan sensualitasnya. Aku teringat puisinya Lucky Maud Montgomery  Twilight drops her curtain down, and pins it with a star ̶ Senja menjulurkan tirainya ke bawah, dan menghiasinya dengan bintang. Ya...senja memang begitu indah dengan durasi yang teramat pendek. Di ujung horizon malam menunggu.

Kami putuskan untuk bermalam di pinggir danau Ranu Regulo yang luasnya kurang dari satu hektar. Hawa Semeru mulai menusuk-nusuk kulit. Dengan ketinggian 2.200 mdpl, rasa dingin terasa membekukan pori-pori kulit kami yang manja. Bersama Ramdan dan Halim, kami bertiga telah merancang agenda pendakian menuju puncak Semeru. Esok pagi kami akan mulai melakukan pendakian. Kami rencanakan empat hari untuk naik dan turun Semeru.

Setelah mendirikan bivak, Ramdan dan Halim masih sibuk dengan acara santap mie yang sudah menjadi makanan pokok kami. Aku berdiri di tepi Ranu Regulo, bening air regulo menjadi cermin ajaib bulan yang mulai sabit. Semakin malam wajahnya semakin membulat. Tak terperikan keelokannya. Bulan seperti super model semesta yang tengah berlenggak lenggok diatas catwalk langit gelap yang amat kontras. Decak kagum batinku tak mampu kusembunyikan...alangkah indah wajahmu ...bulan.

Entah sudah berapa lama aku berdiri di tepi Regulo. Tatapku tak putus dari wajah bulan yang memendar senyum. Ku coba menyelami makna tersembunyi dibalik senyum indahnya, namun tak mampu. Setelah lelah mata, kualihkan pandangku ke riak yang merayap dari kejauhan, perlahan mendesir ke tepi Regulo dititipkan angin Semeru. Desiran yang membentuk umpakan-umpakan kecil yang anggun.

Saat angin hening, wajah Ranu Regulo tampak bening mengumbar aura tenang yang dalam. Kucoba mencari wajahku di cermin Regulo, tak kutemui utuh wajahku, yang kudapati hanyalah wajah kosong tanpa makna, hanya hampa menyemburat, mengombak-ombakan air Regulo yang tenang. Tanya mulai meracau, mengombang-ambing pikiran yang tak mau diam.

Kenapa bening air Regulo tak sudi mencerminkan wajahku di ketenangannya yang menghanyutkan? Bening Regulo rupanya tak sudi dikotori oleh wajah jiwaku yang najis. Tapi sudahlah...ku palingkan pandangku pada bulan...ah...dia masih tersenyum...rupanya masih ada seulas senyum untuk jiwaku yang kotor. Akhirnya pegal mendera kaki dan leherku.

Aku yang tengah mendaki keanggunan Mahameru, mencari makna dibalik kata kebebasan. Semesta... aku sedang menempuh pembebasan. Bebas dari segala persoalan iman yang meletihkan!. Tapi, tiba-tiba kesunyian menyergapku. Aku yang sedang mencari kebebasan, namun yang kudapat adalah kesunyian. Seketika aku terkekeh sendiri, menertawakan kebodohanku sendiri. Ingatanku jatuh pada kalam Rumi, Ketika kebebasan engkau raih maka bersama itu kau akan raih kesepian.

Kutinggalkan sunyi duduk sendiri di tepi Regulo. Kuputuskan untuk tidur. Ramdan dan Halim sudah lama tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. Ku rebahkan jiwa, kuluruhkan raga agar esok kuat menempuh perjalanan berat yang membentang menantang. Sebelum kupejamkan mata, kupandang puncak Mahameru yang meski samar namun tampak angkuh menantang untuk ditaklukan, menggoda hasrat untuk menjamahnya, merayapinya hingga tunduk sang puncak Mahameru, dan kusiap meneriakan puisi kemenangan di kemunca sana.

Esoknya sekitar pukul empat pagi, ketika langit Semeru masih kelam dan mentari masih tertidur lelap dibuai bulan, kami memulai pendakian. Jalur awal terasa cukup landai, menyusuri lereng bukit yang didominasi alang-alang. Sorot lampu senter kami meraba-raba jalan yang cukup terjal, tidak ada tanda penunjuk arah jalan, tetapi terdapat tanda ukuran jarak pada setiap 100 meter. Banyak terdapat pohon tumbang dan ranting-ranting diatas kepala kami.

Setelah berjalan sekitar lima kilometer menyusuri lereng bukit yang banyak ditumbuhi Edelweis, kami pun sampai di Watu Rejeng. Dinamakan Watu Rejeng karena disini terdapat batu terjal yang amat indah. Sebuah pahatan alam yang eksotis. Tak akan ada tangan manusia yang mampu memahat batu seelok itu. Entah berapa kali kami berhenti untuk sekedar memutar badan mereguk keindahan pandang ke arah lembah dan bukit yang ditumbuhi cemara dan pinus. Sesekali kepulan asap putih puncak Semeru mewarnai lazuardi langit.

Kurang lebih lima kilometer lagi kami akan sampai di danau legendaris, yang namanya tak bisa dipisahkan dari keanggunan Semeru, Ranu Kumbolo.

Kami sampai disana saat matahari masih malu-malu terbit dari sela-sela bukit. Sebuah cara menampakan diri yang amat elegan. Seberkas sinarnya mulai mewarnai air Ranu Kumbolo dengan gradasi warna yang elegan. Lukisan yang tak kan pernah tercipta oleh tangan seniman dari species jenius manapun. Ranu Kumbolo, pantulan surga di muka bumi. Nyata sudah kebenaran cerita-cerita tentang keindahan Ranu Kumbolo. Air yang bersih bening seperti bayi yang baru lahir. Danau yang terhampar luas sekitar 14 ha dengan hawa dingin sejuk khas ketinggian 2.400 mdpl.

Enggan sekali kami meninggalkan keindahan alam yang amat menakjubkan ini, rencana yang telah disusun rapi pun berantakan sudah. Setadinya kami tidak akan berlama-lama di Ranu Kumbolo, kini, tak seorang pun dari kami yang berani mengingatkan rencana yang telah disusun. Kami hanyut oleh biru, bening, hijau Ranu Kumbolo yang memabukan. Hingga tengah hari kami disana, sampai kami tersadar bahwa pendakian kami masih panjang.

Dengan penuh sesal kami lanjutkan perjalanan. Mendaki bukit terjal. Langkah demi langkah kami jejakan ke depan, namun hati kami tertinggal di sejuknya Ranu Kumbolo. Hingga kami sampai di Oro Oro Ombo. Padang rumput hijau yang segar luas membentang, bak permadani menghampar tanpa cela. Hamparan hijau itu dikelilingi bukit pinus yang anggun berdiri menjadi latar belakang potret keindahan Oro-Oro Ombo.

Polesan kuas akrilik Tuhan, nampak jelas disitu. Sejauh mata memandang, hijau. Hanya bercak partikel kuning memozaik hijau Oro Oro Ombo. Kami tenggelam dalam hijau mozaik kuning. Luruh sudah daki kehidupan kota yang angkuh. Lebur dalam hijau Oro Oro Ombo yang santun.

Lagi langkah kami terhenti. Kembali kami tergoda dengan cumbu rayu alam yang tak tertepiskan. Setelah sekian lama mengendus-endus wangi rumput segar Oro-Oro Ombo, kami pun mulai memasuki Cemoro Kandang. Hutan cemara yang dihuni burung dan kijang. Sayang, hari itu tak satu pun kijang pemilik syah Cemoro Kandang kami temui. Cemoro kandang pun kami lalui dengan rasa takjub yang tak kunjung hilang. Sampailah kami di tepi hutan cemara. Letih pun tak tertahankan lagi, kami rehat, bergelimpangan di padang rumput Pos Kalimati. Rencana untuk sekedar rehat sebentar kami ralat dengan keputusan untuk bermalam di Pos Kalimati.

Malam itu bulan kembali menampakan wajah anggunnya. Kami duduk mengelilingi tumpukan ranting kering yang menggeretas terbakar api. Kehangatan api unggun itu berpadu dengan hawa dingin Semeru yang menembus tulang. Dengan bangga kami saling mencurahkan kekaguman akan penampakan alam yang tadi kami lewati. Hingga akhirnya rasa kantuk pun menggoda, dan kami tertidur tanpa tenda pelindung. Bergeletakan di padang rumput luas dengan tubuh menggigil meski tubuh terbungkus sleeping bag. Bila saja ada orang yang memandang kami dari bukit terjal diatas sana, maka akan tampak betapa kami seperti tiga noktah kecil di tengah kemegahan permadani alam yang menakjubkan.

Lihat selengkapnya