Namanya, Mutiara Islamiy Putri, Tiara nama kecilnya. Puncak Semeru menjadi saksi perkenalan singkat kami, namun ternyata berlanjut, berkelindan indah merajut asa akan indahnya cinta. Awalnya aku iseng belaka, ku cukup tahu diri, siapa aku dan siapa dia. Dia yang kukuh memegang norma-norma Islam, sementara aku adalah orang yang tak kunjung menemukan samudera imanku yang hilang. Dia yang rendah hati, aku yang angkuh menantang Tuhan. Dia dengan aura kecantikan lahir batinya, aku dengan aura kelam lahir dan batinku.
Tak bisa kupungkiri, pertemuan di puncak Mahameru adalah momen terindah yang pernah kualami. Mata air cinta itu mengalir deras ke sungai hatiku. Aku coba menepis namun tak mampu. Sejuta tanya menyesakkan kalbu, apakah aku mencintainya karena kecantikannya belaka atau aku sekedar kagum akan keanggunan sikapnya, bahkan secara jujur harus kuakui mungkin kecintaanku padanya adalah ‘dejavu’. Cinta pertama yang dulu kurasakan, rindu yang dulu kurasakan bersama seseorang yang telah pergi entah kemana, kini terasa hadir kembali dengan indah.
Keisengan yang diawali sebuah email-ku padanya. Menanyakan keadaannya dengan sejentik basa-basi dan kemudian melontarkan ajakan untuk lebih saling mengenal. Dengan segala kesantunannya dia membalas ajakanku. Sedikit demi sedikit dia mau membuka diri. Aku jadi lebih mengenal dirinya. Namun dalam hal keluarganya dia sedikit tertutup. Ketika hal itu kutanyakan, dia menjawab bahwa dirinya adalah anak dari keluaga yang Insya Allah baik-baik. Ia ingin lebih dikenal sebagai pribadi secara utuh tanpa banyak menyangkut-pautkan dengan keluarganya. Namun dari Antik, temannya yang juga ku kenal di Semeru, ku tahu bahwa Tiara berasal dari keluarga terpandang, hanya itu. Semua itu semakin membuatku kagum akan kepribadiannya yang mandiri, santun namun penuh percaya diri. Ah...sungguh sebuah keisengan berbuah manis pikirku.
Demikianlah komunikasi di dunia maya itu kami jalin. Menurutnya komunikasi ini lebih baik dari pada harus bertemu fisik, hal itu hanya akan menimbulkan fitnah dan juga berarti membiarkan nafsu manusiawi menguasai diri. Meski tak pernah berjumpa secara langsung namun hubungan kami semakin dekat. Tapi sejauh ini tak pernah ku berani menyatakan cinta, ku bendung semua keinginan cinta itu dengan bercermin, siapa aku siapa dia. Hingga suatu malam dia berkirim pos-el padaku. Setiap kali menerima email darinya hatiku berdesir , namun malam itu hatiku berdebur kencang entah kenapa.
Semoga Allah senantiasa menaungi kita semua dengan keindahan Inayah dan Rahmat-Nya.
Sebuah kalimat pembuka yang indah namun menyisakan sedikit trauma di hatiku. Mungkin trauma itu berasal dari serpihan ayat-ayat setan yang pernah kubaca.
Semoga Kang Bin selalu dalam keadaan sehat lahir dan batin.
Kang..beberapa hari belakangan ini, hati Tiara dilanda gelisah yang sulit sekali diredam. Segenap dzikir untuk meraih ketenangan sudah Tiara lakukan. Alhamdulillah sedikit demi sedikit kegelisahan itu mulai mereda, meski masih tersisa dan masih terasa mendera.
Tiara mencoba merenunginya, menyelami dalamnya lautan hati hingga akhirnya Tiara temukan sumber kegelisahan itu. Maafkan sebelumnya kalau Tiara harus berkata jujur bahwa sumber kegelisahan yang melanda jiwa Tiara itu ternyata hadirnya seorang ikhwan bernama “Bintang” dalam kehidupan Tiara.
Antara senang dan cemas aku membacanya perlahan. Kuhirup huruf demi huruf.
Sekali lagi maafkan Tiara ya Kang. Tiara lancang menghadirkan sosok Kang Bin dalam hari-hari Tiara tanpa izin dari Kang Bin, tapi semua itu bukan keinginan Tiara. Tiara sendiri tak pernah mengerti mengapa dalam hari-hari Tiara, sosok Kang Bin harus selalu hadir.
Terus terang Kang, segenap cara telah Tiara lakukan untuk menepis semua itu, namun jiwa ini terlalu lemah dan tangan hati ini lunglai untuk bisa mengusir sosok Kang Bin, sekali lagi maaf yah Kang.
Jiwaku melayang, menembus ketinggian. Meraba langit dengan suka cita. Pelangi yang tiba-tiba melengkung, kutitipi dengan asa. Pendarnya marak meriuhi tawang.
Ah..Tiara, kau bilang aku hadir dalam hari-harimu. Seandainya kamu tahu, kau pun telah hadir dalam setiap hariku, bahkan engkau telah masuk dalam kamar jiwaku, menghantui setiap desah nafasku. Engkau bilang kau coba menepis bayang-bayangku dari jiwamu, sementara aku justru menikmati segenap kehadiranmu dan tak pernah mau menepis sekejap pun wajahmu dari jiwa ini. Ah...andai saja kamu tahu Tiara.