Air Mata Bintang

kieva aulian
Chapter #17

Ketika Cinta Harus Memilih

Malam kembali menghitam. Matahari telah lama lelap dibalik Welirang[1]. Mahkota Trembesi[2], mengatup lelah, selepas memayungi anak-anak manusia, sejak siang hingga sore tadi. Kini ia meminta bayaran. Ia sibuk menghirup oksigen, berebutan dengan anak-anak malam memenuhi kantung paru-parunya. Akarnya berselonjor letih hampir menyentuh trotoar hitam putih, lelah sudah ia seharian berdiri. Pohon tua yang dibesarkan di pinggir Embong Brantas[3]tak kurang dari satu abad lalu. Pohon renta yang mensejarah. Ia begitu setia menamani manusia kota hidup, tumbuh dan berganti generasi.

 Jangkrik hitam mulai unjuk suara, ditingkahi katak yang bersuka cita karena hujan hadir sore tadi. Kecipak anak-anak katak, berenang di genangan taman kota yang remang. Garengpung yang kemarin riuh semalaman, entah kemana, malam ini ia tak terdengar suaranya. Mungkin ia takut dihardik hujan. Ia memang berkawan dengan kemarau dan bermusuhan dengan hujan.

Malang, kota harapan. Malam ini kan kutitipkan padanya sejuta asa untuk merengkuh penyatuan. Padanya kan kutitip cinta dan rindu. Sejak ujung senja tadi, telah kuminta dia menjadi saksi atas pertalian yang akan segera membuhul. Aku dan Tiara akan bertatap kening untuk kedua kalinya. Aku tak sendiri, ayah dan ibu turut menemani.

Malam itu, ba’da Isya aku dan kedua orang tuaku sampai di rumah Tiara. Malang yang sejuk menyambut kami dengan ramah. Sempat hatiku ciut, saat melihat kemegahan rumahnya yang berdiri kokoh di hadapanku. Sebuah rumah megah namun tak kehilangan keasrian dan kesejukannya. Cabar hatiku sirna manakala kudapati sambutan keluarga besar Tiara yang begitu ramah alami. Tak ada laku semu, semua berasa natural.

. Dari obrolan Ayahku yang seorang guru Aliyah dengan Ayahnya Tiara, baru aku tahu, bahwa Ayahnya Tiara adalah seorang guru besar di salah satu perguruan tinggi di kota Malang. Ibunya seorang pendakwah yang rajin mengisi pengajian-pengajian ibu-ibu di seputaran kota Malang lewat radio dan majelis taklim dari masjid ke masjid. Sungguh sebuah keluarga religius yang indah tanpa ada kesan kekakuan didalamnya.

Mendengar itu semua, sejumput keraguan kembali menelisik keyakinanku. Tiara dan keluarga besarnya adalah mereka yang sangat kuat memegang spirit keilmuan, sementara aku hanya seorang mahasiswa tinggkat akhir yang tak kunjung kelar. Tapi semua kutepis dengan mempercayai bisikan yang tempo hari sempat hadir di benakku.

Keluarga Tiara adalah keluarga besar. Semuanya hadir di malam khitbah yang telah kurancang sepakat dengan Tiara . Paman dan bibi-bibi Tiara hadir. Rupanya ayahnya adalah anak sulung dari keluarga besar Raden Noto Prawiro. Kerendahan hati menutupi segala feodalisme struktural yang mereka miliki. Tak tampak kekakuan etika keningratan malam itu, yang tampak adalah kehangatan dan kesederhanaan. Aku sungguh bersyukur, nyali yang sempat ciut akhirnya bangkit kembali menatap masa depanku yang sudah menunggu di depan mata.

Setelah perkenalan yang cukup singkat namun hangat itu, Pak Prawiro, begitu beliau biasa disapa, memanggil Tiara untuk ikut dalam pertemuan keluarga yang tengah menanti saat-saat penuh kebahagiaan itu.

Tak berapa lama, Tiara pun hadir. Bidadari Mahameruku, berbalut jilbab coklat keemasan, serasi dengan baju muslimah coklat muda yang longgar menutupi auratnya. Bila saja tak segera kukuasai diri, maka akan kupuaskan mata ini memandanginya sepanjang malam.

“Nah, ini anak Saya Tiara, pak Ihsan....,” Pak Prawiro memperkenalkan Tiara pada Ayahku.

Subhanallah...nak, Tiara, perkenalkan, Bapak... Ihsan...ayahnya Bintang”, ujar ayahku yang tampak terkagum-kagum akan kecantikan Tiara dihadapannya. Begitu juga dengan ibuku.

“Saya Tiara Pak...maaf bila penerimaan kami kurang berkenaan di hati Bapak dan Ibu,” balasnya penuh kesantunan, sambil mengulurkan tangan ke arah kedua orang tuaku dan tak lupa mencium tangan keduanya.

Ibuku tak kuasa untuk menahan gejolak bahagia yang menyelubungi hatinya, dia memeluk dan mencium pipi Tiara, “Subhanallah...kamu cantik sekali anakku.” Merah merona wajah Tiara mendengar pujian ibuku.

Setelah kami semua duduk, Pak Prawiro pun membuka percakapan.

“Pak Ihsan, rasanya senang sekali kami kedatangan tamu agung dari Bandung nih...benar kata Tiara, mohon maaf bila penerimaan kami tidak berkenan di hati pak Ihsan , Ibu dan Nak Bintang”

“Masya Allah, justru kami yang meminta maaf sebesar-besarnya pak, kami hanya datang bertiga tanpa menyertakan keluarga besar kami. Saya benar-benar minta maaf Pak Prawiro”

“Ah...tidak apa-apa pak...kehadiran Nak Bintang dengan Bapak dan Ibu sudah lebih dari cukup. Di keluarga kami memang terbiasa untuk selalu berkumpul pada acara-acara penting keluarga seperti ini. Ngomong-ngomong...ayo Pak, Bu Nak Bintang...dicicipi loh makanan alakadarnya...ala...Malang...monggo silahkan”, selorohnya memecah kekakuan.

Alakadarnya yang beliau maksud itu adalah makanan-makanan yang aku yakini harganya mahal-mahal dan sudah pasti enak-enak. Kekakuan segera mencair setelah kami bersama mencicipi hidangan “alakadarnya” itu.

Ayahku memang piawai dalam berkomunikasi, karena Ayahku pun seorang mubaligh desa. Ayah pun memulai kembali pembicaraan.

“Begini Pak Prawiro , Saya atas nama anak Saya Bintang...mohon maaf atas kelancangan kami hingga berani datang berkunjung ke rumah keluarga besar Pak Prawiro tanpa membuat janji terlebih dahulu”

“Oh..ya ga pa-pa pak Ihsan, yang bikin janji cukup anak-anak saja...kita orang tua ini kan tinggal terima beres aja, ya kan pak..ha..ha..?” candanya amat hangat.

“Ya..ya Pak Saya setuju , kita sebagai orang tua hanya bisa bersikap tut wuri handayani, bukan begitu pak?”

“Setuju...setuju...kalau bukan kita yang mempercayai anak kita, lantas siapa lagi ya kan pak?”

“Benar pak” pembicaraan kami terhenti sejenak karena handphone Pak Prawiro memanggil. Ringtone gamelan jawa menggema.

“Waduh..nyuwun sewu lo pak, Saya angkat telepon dulu, ini dari adik Saya” pinta Pak Prawiro dengan penuh santun.

“Oh..tentu pak..silahkan..silahkan” balas Ayahku tak kalah santun.

Pak Prawiro sedikit beranjak dari tempat kami. Samar-samar terdengar pembicaraan mereka.

“Kamu dimana toh dik?...yo wis...cepetan ini acaranya sudah mau mulai...hati-hati di jalan dik!...wa’alaikum salam.” Pak Prawiro pun segera kembali ke tempat duduknya.

“Maaf loh pak, itu tadi adik Saya, lagi di jalan menuju kemari. Dia itu pamannya Tiara yang paling sayang sama Tiara”

“Oh begitu pak, ya sudah kalau begitu bagaimana kalau kita tunggu saja pak?”

“Oh ya jangan toh pak, kita terus aja, adik Saya bilang acara jalan saja”

Lihat selengkapnya