Pagi meredup. Matahari murung meski tetap gahang. Mendung menutupi bias putihnya dengan rakus. Tak seulas senyumpun di sunggingkannya menyambut hari. Wajah mentari perlahan memuram, lantas ia pun menangis. Menangisi hari bersejarah. Sejarah kelam hidupku. Tak ada semburat kuning keemasan yang biasa ia pertontonkan. Pendarnya kini cenderung hitam.
Awan berpencar membentuk gambar-gambar. Semua gambar beraura sendu. Mereka tak berani untuk sekedar mengulum senyum. Rupanya mereka berempati pada rasaku. Mereka tak ingin menyinggung perasaanku yang dirundung pilu. Begitu juga dengan angin, ia bersembunyi di balik lengan beringin. Ia hanya sesekali meniup dedaun setengah hati. Kepodang enggan bersolek. Ia tampil polos. Pun tak mau ia berceloteh. Ia sangat menjaga perasaanku.
Hari ini, hari aku diwisuda. Hari bersejarah. Hari istimewa bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagiku. Hari ini nestapa begitu menyelimuti hatiku. Semua perjuanganku selama bertahun-tahun, terasa hampa tanpa makna.
Hari ini seperti puncak perayaan dari rentetan nestapa hari-hari yang kulalui. Setelah kehilangan Boyo sahabatku, disusul Ustadz Rahman, Ahmad,Rani, Ervan, dan tentu saja Tiara.
Peristiwa gagalnya malam khitbah itu membekaskan luka di hati ayah dan ibu. Ibu jatuh sakit. Hari-harinya dilalui diatas ranjang peninggalan kakek. Sementara ayah seperti kehilangan sinar kehidupan. Ia seperti tak perduli lagi dengan hidupku, meski kata-kata bijak masih sesekali keluar dari mulutnya. Masih kuingat kata-kata Ayah setelah pertengkaran hebat kami malam itu.
“Ya sudah kamu sudah dewasa. Masalah agama adalah masalah keyakinan yang tidak bisa dipaksakan, Ayah dan Ibu sudah memberikan nasehat, selebihnya terserah kamu.”
Semua beliau ungkapkan dengan terbata-bata. sudut matanya disesaki kaca-kaca air mata yang siap luruh kalau saja ia tidak mencoba menjaga harga dirinya sebagai seorang ayah.
Semua harus terjadi. Aku tak lagi bisa menyimpan segala gundah yang lama mendera hati. Malam itu, pada ayah dan ibu tercintaku, aku ungkap siapa aku sekarang ini. Aku, Bintang yang tak lagi yakin dengan segala pernak-pernik agama dan bimbang menentukan pilihan hidup.
Semenjak peristiwa malam itu, hubungan kami merenggang. Tali kasih yang dulu terikat kuat hampir tanpa jarak, kini sarak dan berjarak ribuan bahkan jutaan mil.
Lengkap sudah nestapa hati. Tapi nestapa yang paling membuatku pilu adalah kehilangan imanku yang dulu begitu kuat ku genggam, iman yang dulu ku reguk dalam-dalam di setiap tarikan nafasku. Kini hilang ditelan tanya yang tak terjawab.
Kini di hari wisudaku, kesendirian menghantam palung jiwaku dengan bengis, mengoyak-ngoyak sisa-sisa ego diri. Jiwaku berserakan bagai serpihan cermin retak yang lantak diterpa badai kehidupan.
Tak ada ayah dan ibu yang bangga, tak ada Boyo yang pasti minta ditraktir sehabis ritual wisuda, tak ada Ervan yang akan menyambut hari kemenangan ini dengan suka cita, tak ada Ahmad yang pasti bakal menghadiahiku puisi, tak ada Tiara yang mendampingiku melangkahi detik-detik wisuda yang bersejarah ini. Tak ada lagi iman yang akan menuntunku dan menyelamatkanku dari terpaan angin dunia yang menyesatkan.
Ratusan ucapan selamat dari rekan-rekanku berlalu seperti angin, berlalu begitu saja tanpa sempat menitipkan puisi dan mencoretkan lukisan cinta di hati. Tak kuasa kumenahan bulir-bulir air mata membasahi pipi. Air mata yang sedari tadi menggelayut di sudut mata. Aku menangis dalam kesendirian, aku menangis dalam hiruk pikuk kebahagiaan yang sedang menaungi orang-orang disekitarku.
Disudut teras masjid kampus aku terduduk. Menyaksikan dari kejauhan riuh rendah pada wisudawan yang dikerubuti sanak saudaranya. Ada yang duduk-duduk dibawah pohon yang rindang menaungi. Beralaskan tikar dan bertemankan hidangan yang sengaja mereka bawa dari desa sebagai tanda syukur anak-anak mereka telah berhasil lulus dari bangku kuliah, mereka asyik masyuk berbagi cerita dan bersulang kebahagiaan.